Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Techno

Dialektika Digital atau Imperialisme?

Sony Subrata dalam pengantarnya bahkan menyebut belum ada studi platform di Indonesia seperti yang dilakukan Gusdib.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Dialektika Digital atau Imperialisme?
istimewa
Trilogi digital karya Agus Sudibyo; ‘’Jagat Digital, Pembebasan dan Penguasaan (2019), ‘’Tarung Digital, Propaganda Komputasional di Berbagai Negara’’ (2021), dan ‘’Dialektika Digital, Kolaborasi dan Kompetisi Antara Media Massa dan Platform Digital’’ (2022). 

Pengelola media massa tidak punya pilihan lain selain mengalah kepada platform digital untuk melakukan distribusi konten, penggalian data pengguna, dan layanan periklanan. Tiga hal itu menjadi nafas media massa, dan menyerahkan operasional tiga hal itu sama saja dengan menyerahkan leher kepada lawan.

Baca juga: Perluas Ekosistem Digital, Bank Aladin Gandeng ZA Tech

Itulah realitas yang terjadi sekarang. Trio FGA sudah menjadi penguasa dominan yang membuat para pengelola media harus rela berbagi kekuasaan. Mau tidak mau pengelola media harus masuk kedalam ekosistem yang diciptakan oleh platform digital untuk menjamin konten berita bisa dibaca oleh konsumen media.

Platform digital bertransformasi menjadi penerbit (bab 1 hal 15-46). Dalam praktiknya yang terjadi bukanlah transformasi tetapi kolonialisasi dan bahkan imperialisme. Perusahaan platform menjarah ranah yang selama ini menjadi milik penerbit. Perusahaan platform melalui search engine dan media sosial mendominasi distribusi konten. Mayoritas konsumen media mengakses berita dari platform media dan hanya sedikit yang mengakses langsung ke jaringan penerbit.

Perusahaan platform bukan hanya mengakumulasi berita, tapi sekaligus melakukan kurasi terhadap seluruh berita untuk disajikan kepada konsumen media sesuai dengan standar platform. Dalam proses ini perusahaan platform mempergunakan algoritma yang bekerja dengan logikanya sendiri, yang sangat berbeda dengan logika penerbit yang menerapkan standar kualitas jurnalisme.

Mesin algoritma bekerja dengan logika mesin. Perusahaan platform menguasai aturannya dan perusahaan media hanya bisa menyerah dan manut. Setiap saat perusahaan platform bisa mengubah standar operasional mesin algoritma, dan perusahaan media harus buru-buru menyesuaikan diri dengan standar baru.

Pendapatan dari iklan yang menjadi jantung kehidupan perusahaan media sekarang juga dikuasai oleh perusahaan platform. Dengan berbagai macam teknologi yang serba cepat, efisien, dan murah, para pengiklan lebih suka berhubungan langsung dengan platform digital daripada dengan penerbit. Perusahan platform kemudian mendistribusikan iklan melalui programmatic ads, googleads, dan program iklan lain yang semuanya diatur oleh platform dan penerbit hanya bisa pasrah.

Dalam tradisi media cetak sungguh tidak bisa dibayangkan jika ada seseorang datang kantor redaksi dan membawa materi iklan pada tengah malam menjelang deadline, dan kemudian dengan seenaknya membongkar halaman untuk dipasang iklan. Itu tidak akan pernah terjadi dalam praktik manajemen media massa konvensional. Tetapi dalam praktik media digital sekarang hal itu terjadi setiap saat.

BERITA REKOMENDASI

Data pelanggan adalah nyawa kedua bagi perusahaan media. Bisakah Anda bayangkan ada perusahaan lain yang mempunyai data seluruh pelanggan media Anda, dan Anda tidak diperbolehkan untuk melihat data pelanggan itu? Ini bukan hanya penghinaan, tapi penjajahan. Ini tidak pernah terjadi dalam praktik manajemen media konvensional. Tapi, itulah keadaan media sekarang.

Data pelanggan Anda dikelola oleh orang lain dan dikonversi menjadi bisnis triliunan dolar dalam bentuk artificial intelligence (AI). Anda yang punya data sama sekali tidak mendapatkan bagian dari bisnis itu. Data pelanggan itu tersimpan rapi di taman sari data yang tertutup yang disebut sebagai ‘’Data Walled Garden’’, dan mengintip pun penerbit tidak bisa (Bab 5, hal 207)

Platform digital mengumpulkan data pembaca dan menambang data itu lalu dikumpulkannya untuk kepentingan perusahaan platform. Perusahaan media protes dan bersatu membentuk ‘’Aliansi Login’’ untuk menekan perusahaan platform. Jerih payah ini membawa hasil lumayan. Perusahaan platform memberi sedikit konsesi melalui mekanisme ‘’third party cookies’’ (hal 209), tetapi mekanisme itu tetap timpang dan perusahaan media tetap tidak bisa mengendalikan data pelanggan sepenuhnya.

Ketergantungan ini begitu besar dan berbahaya, karena perusahaan media akan kehilangan identitas dari konsumen media dan dengan demikian akan kehilangan kredibilitas dari pemasang iklan. Para pengiklan lebih suka berhubungan langsung dengan platform media ketimbang dengan perusahaan media. Keberadaan media hanya dilihat dengan picingan mata.

Ketidakdilan yang sempurna. Sebuah perusahaan semacam CNN yang 30 tahu yang lalu begitu digdaya sebagai televisi berita terkemuka di dunia, sekarang bertekuk lutut terhadap platform digital. Perlawanan yang dilakukan menjadi lucu. Alih-alih bergantung kepada FGA, redaksi CNN kemudian menyebarkan distribusi konten pada 21platfom digital (hal. 29).

Entah bagaimana ceritanya Ted Turner bisa menjadi manusia naif seperti itu. Ini sama saja dengan menyerahkan leher kepada 21 orang alih-alih kepada tiga orang. Ibarat burung unta yang memasukkan kepala ke pasir dan menganggap persoalan selesai. Pepatah Inggris mengatakan, Don’t put your eggs in one basket. Ted Turner melakukannya dan meletakkan telur kedalam 21 keranjang, tapi semuanya milik orang lain.

Apa upaya yang dilakukan penerbit untuk mengatasi persoalan ini? Di Eropa aliansi penerbit pernah mencoba melawan FGA. Tapi, dengan sekali tebas saja penerbit sudah terjengkang. Platform digital yang digertak menyerang balik dengan memboikot penerbit. Akibatnya trafik pembaca melorot sampai 80 persen. Penerbit pun angkat tangan menyerah.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas