Satelit Elon Musk Masuk RI, Nasib Operator Seluler Bakal Padam? Budi Arie: Ini Revolusi Digital
Hadirnya satelit internet Starlink harus dipandang sebagai menjadi revolusi digital.
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masuknya satelit internet Starlink milik miliarder Elon Musk ke Indonesia bak pisau bermata dua.
Bagi Indonesia secara umum adalah era baru transformasi konektivitas, tetapi untuk pengusaha operator seluler bisa merugikan bisnis mereka.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan hadirnya satelit internet Starlink harus dipandang sebagai menjadi revolusi digital.
Baca juga: Sangkal Jadi Komplotan Rusia, Elon Musk Klaim Nonaktifkan Jaringan Starlink demi Cegah PD III
Budi Arie membantah apabila Starlink masuk di Indonesia akan mematikan bisnis operator seluler eksisting.
"Nggak lah, semua berkompetisi. Basisnya kita adalah yang terbaik untuk pelayanan masyarakat kita dukung," ujarnya dikutip Rabu (13/9/2023).
Dia menilai kehadiran Starlink sejatinya melayani masyarakat Indonesia di daerah pelosok Tanah Air yang belum terjangkau Base Transceiver Station (BTS).
Maka melalui satelit internet, masyarakat yang di daerah terpencil dapat merasakan jaringan internet yang stabil dan cepat.
"Semua (operator seluler, red) akan berkompetisi secara baik dan secara sehat," ucapnya.
Kemenkominfo telah memberikan Hak Labuh Satelit Starlink kepada PT Telkom Satelit Indonesia (Telkomsat), anak usaha PT Telkom Indonesia (Persero) yang bergerak sebagai penyedia layanan satelit dari hulu ke hilir berstandar internasional.
Kerjasama ini setelah proses penjajakan panjang sinergi antara Telkomsat dengan SpaceX selaku induk perusahaan Starlink berpusat di Amerika Serikat.
Selain dengan Telkomsat, Budi Arie menyebut Starlink sudah meneken kerjasama dengan Smartfren.
Hanya saja kemitraan tersebut dalam bentuk business to business (B2B) dan menjadikan Starlink sebagai backhaul mereka.
"Sampai sekarang masih dibahas soal Starlink. Siapa pun bisa berusaha di Indonesia asal memenuhi regulasi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, bagaimana nanti Starlink membentuk entitas badan hukum Indonesia," ujar Budi.
Lebih lanjut, Menkominfo mengatakan Starlink bisa melayani masyarakat Indonesia apabila sudah memiliki badan hukum Indonesia sebagai provider jasa internet atau Internet Service Provider (ISP).
"Kalau dia sudah memiliki izin sebagai internet service provider, dia bisa business to consumer (B2C). Saat ini masih berproses, seperti nomor induk perusahaannya," ucapnya.
"Sama PT Telkom, ini kan B2C, langsung ke konsumen, tapi kalau bukan perusahaan berbadan hukum di Indonesia mana boleh. Jadi, harus bikin perusahaan berbadan hukum di Indonesia," sambung Budi Arie.
Operator seluler eksisting seperti XL Axiata dan Indosat Ooredoo Hutchison mengkhawatirkan kehadiran Starlink bakal mematikan bisnis mereka yang sudah dilakukan sejak lama.
Mereka meminta pemerintah untuk turun tangan dan membuat iklim usaha industri telekomunikasi Indonesia berimbang seiring dengan adanya Starlink.
Rencana Satelit Low Earth Orbit (LEO) Starlink untuk menyediakan akses internet secara langsung ke masyarakat Indonesia juga mendapatkan dukungan penuh dari Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Menko Luhut sempat bertemu Elon Musk beberapa waktu lalu di antaranya membahas investasi Starlink di tanah air.
Purnawirawan TNI bintang empat itu memastikan Starlink berpotensi untuk masuk wilayah Indonesia untuk membantu ketersediaan akses internet di wilayah yang sulit dijangkau oleh infrastruktur telekomunikasi di darat.
"Kami juga berdiskusi terkait ketertarikan Elon untuk bekerjasama membangun jaringan internet murah di timur Indonesia lewat satelit Starlink-nya yang populer itu," ujar Luhut dalam postingan akun Instagramnya.
"Saya sampaikan bahwa manfaat yang ditimbulkan jika Starlink beroperasi di Indonesia amat besar, misalnya; infrastruktur kesehatan seperti akses internet di Puskesmas daerah terpencil bisa membantu tenaga kesehatan melaporkan data-data faskes secara real time," tuturnya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang juga bertemu dengan Elon Musk meminta untuk menyediakan akses internet untuk Puskesmas di daerah Terpencil, Terdepan, dan Terluar (3T).
Elon Musk pendiri Tesla Inc kabarnya akan menyambangi Indonesia pada Oktober 2023 sebagai realisasi investasi Starlink.
Dongkrak Konsumsi Telkomunikasi
Peneliti dari Center of Digital Economy and SMEs Indef Nailul Huda menilai satelit internet memiliki biaya operasional yang tidak murah dibandingkan serat optik dan internet BTS.
Sehingga ongkos besar itu menjadi beban bagi konsumen.
"Biaya operasional Satelit yang mahal dan sedikitnya kompetitor akan berimplikasi pada biaya untuk konsumen. Biaya langganan akan lebih mahal dibandingkan yang ada sekarang," kata Nailul kepada Tribun Network, Rabu (13/9/2023).
Dia menuturkan konsumen tentunya akan memilih tarif internet yang terjangkau dengan kecepatan koneksi wajar.
"Maka saya rasa konsumen kita akan memilih harga sesuai dengan willingness to pay konsumen. Dengan demikian bisnis internet BTS dan serat optik masih tetap ada ceruk pasarnya sendiri," tuturnya.
Nailul memandang Starlink dengan harga berlangganan yang beredar yaitu Rp 3 juta per bulan masih terlalu mahal untuk konsumen rumah tangga.
Namun beda halnya bagi konsumen ritel yang mungkin membutuhkan kecepatan download tanpa jeda maka akan memilih Starlink.
"Tapi mungkin bagi konsumen skala pelaku usaha rumahan masih bisa kejangkau. Bagi rumah tangga berpendapatan atas juga terjangkau yang punya keinginan internet cepat," ucap Nailul.
Baca juga: Korea Utara Kembali Gagal Luncurkan Satelit Pengintai Militer Kedua
Kehadiran Starlink sebagai variasi konsumsi internet masyarakat tentunya akan mendongkrak Produk Domestik Bruto (PDB).
Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa sektor informasi dan telekomunikasi tumbuh melambat 7,19 persen di triwulan I 2023 secara tahunan.
Pertumbuhan konsumsi telekomunikasi masih lebih baik di masa pandemi Covid-19 sebesar 8,75 persen pada triwulan I 2022.
"Bagi PDB, hadirnya Starlink bisa memperbanyak pilihan internet masyarakat. Harapannya harga internet bisa turun dan meningkatkan konsumsi produk telekomunikasi," beber Nailul.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi berpandangan Starlink dengan harga yang ditawarkan akan menyasar segmen korporasi.
Dibandingkan rata-rata tarif internet rumahan berkisar Rp200-Rp300 ribu per bulan maka harga internet berbasis satelit terlampau sangat mahal.
"Kalau masuk segmen perumahan terlalu berat bersaing dengan ISP (internet service provider) yang sudah ada bahkan kemahalan," ucapnya.
Menurutnya, segmen korporasi juga akan melihat berapa kecepatan yang didapatkan karena satelit internet membatasi kecepatan yang didapat.
"Dengan harga sama dipastikan kecepatan berbasis satelit akan lebih rendah karena itu yang bisa dimasuki segmen korporasi di wilayah 3T, non komersial, atau offshore," imbuh Heru. (Tribun Network/Reynas Abdila)