Harganya Kemahalan, GSMA Dorong Indonesia Kaji Ulang Strategi Pengembangan Spektrum Frekuensi 5G
Jika harga spektrum mengikuti perhitungan lama yang berlaku selama ini, Indonesia bisa kehilangan potensi ekonomi dari 5G sekitar Rp 216 triliun.
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia didorong agar segera menyiapkan peta jalan atau roadmap pengembangan spektrum frekuensi 5G demi mempercepat digitalisasi sekaligus memberikan dampak ekonomi yang lebih luas bagi Indonesia ke depannya.
Julian Gorman, Head of APAC Asosiasi Industri Seluler GSMA dalam paparan terbarunya berjudul "Membentuk bangsa digital yang kuat: proposal untuk masa depan Indonesia" mengatakan, spektrum frekuensi 5G di Indonesia tidak akan sukses dikembangkan jika Pemerintah memberlakukan biaya hak penggunaan frekuensi (BHP) yang mahal ke operator seluler.
Julian mengatakan, Indonesia bisa kehilangan sepertiga potensi pemasukan negara dari implementasi teknologi 5G jika tidak melakukan penyesuaian biaya pemakaian spektrum yang dikenakan ke operator.
Baca juga: Perluas Jaringan 5G, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Siapkan Insentif
"Jika harga spektrum mengikuti perhitungan lama yang berlaku selama ini, Indonesia bisa kehilangan potensi ekonomi dari 5G sekitar Rp 216 triliun dari PDB Indonesia di periode 2024—2030," ungkap Julian Gorman.
"Di industri ICT, sudah ada konsensus tentang apa yang harus dilalukan untuk mengembangkan industri ini. Tapi di internal pemerintah Indonesia masih ada ketidaksepahamanan," ungkap Julian.
Misalnya soal spektrum 5G yang oleh pemerintah yang akan dijual dengan sangat tinggi. Itu memberatkan operator dan itu akan menekan upaya pengembangan ekonomi digital.
GSMA berharap pemimpin Indonesia hasil Pilpres 2024 ke depan memliki visi pemgembangan ICT yang lebih bagus lagi.
Apalagi Indonesia akan jadi kekuatan 5 besar ekonomi digital di dunia.
Dia mengatakan, pengenaan BHP di negara berkembang sebesar 7 persen dari pemasukan operatoe dan di negara maju hanya 5 persen.
Di Indonesia harga spekstrum memgacu pada pertumbuhan penduduk dan inflasi dan ini tumbuh jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan industri telko. Menurutnya hal ini membuat harga spektrum frekuensi di Indonesia memjadi sangat mahal dengan kenaikan tinggi.
"Pengenaan BHP di Indonesia perlu diturunkan agar mendekati rata-rata kawasan. Jangan 12 persen seperti berlaku saat ini. Pemerintah harus tinjau ulang formula biaya hak penggunaan frekuensi ini," kata Julian.
Dia menekankan, penentuan biaya BHP di Indonesia perlu mengacu pada benchmark yang umumnya berlaku di internasional karena jika biaya BHP mahal hal itu akan membuat operator tidak bisa membeli spektrum frekuensi dalam jumlah banyak dari Pemerintah akibat tidak mampu membeli.
"Akibatnya layanan yang mereka bisa sediakan ke masyarakat menjadi lebih rendah. Upaya mendorong pertumbuhan ekonomi digital menjadi lebih rendah," ungkap Julian.