Kisah Tujuh Hari Perjalanan Tempuh 1.500 KM Dari Nepal Sampai Tibet Bercuaca Ekstrim
Karena cuacanya yang sangat ekstrim, Tibet belum tentu ada dalam daftar kebanyakan pelancong. Tapi wanita muda ini justru menikmati meski 'tersiksa.'
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Kalau ada istilah ‘mengejar mimpi’, mungkin hal tersebut pula yang terlintas di kepala seorang traveler bernama Feby Siahaan saat menginjakkan kaki untuk mengelilingi Tibet. Pikirannya menerawang saat ia berusia 10 tahun, Feby kecil masih berada di bangku kelas 4 Sekolah Dasar (SD). Saat itu mimpinya bukan soal cita-cita profesi tapi ingin menginjakkan kaki di Tibet.
Mungkin dulu, melakukan perjalanan ke Tibet bagai melakukan perjalanan yang utopis. Bayangkan, Tibet belum tentu ada dalam daftar kebanyakan pelancong. Tibet bukanlah pilihan destinasi, alasannya selain dana yang harus dikeluarkan relatif mahal tentu juga alasan risiko yang tinggi.
Tapi hobi melakukan travelling tak mematahkan semangatnya untuk melakukan perjalanan pun sampai di Tibet. Hingga selesai melakukan perjalanan, Feby tak lelah menuangkan kisahnya untuk menjadi sebuah buku rekaman perjalanan “7 Hari 1.500 Km Mengelilingi Tibet”.
“Buku ini menjadi pembuktian bahwa saya benar-benar sudah pernah melakukan perjalanan ke Tibet. Bukan hanya itu, Tibet mungkin dikenal dengan medannya yang berat tapi ternyata dapat ditaklukkan oleh saya dan teman-teman yang tergolong orang biasa bahkan berusia di atas 40 tahun,” ungkapnya.
Sempat ia mengisahkan, upayanya saat berkeliling Tibet. “Rasanya persiapan pakaian, obat hingga uang saja tidak cukup. Untuk sampai ke sana dibutuhkan mental yang kuat. Tapi segala pengorbanan terbayar sepenuhnya saat mendapatkan kepuasan pemandangan dan pengalaman perjalanan yang memuaskan,” tukasnya kembali.
Dalam buku setebal 270 halaman terbitan Penerbit Buku Kompas yang telah dipublikasi sejak 27 Oktober 2014 ini, mantan wartawati bidang ekonomi ini mengisahkan tentang perjalanan lima ‘orang kota biasa’ dengan lima profesi kerja (pekerja, perancang busana, pengusaha, dokter dan ibu rumah tangga) yang memiliki satu kesamaan yaitu tidak memiliki pengalaman hidup di ketinggian.
Sepakat melakukan perjalanan darat dari Kathmandu Nepal hingga Lhasa Tibet. Menempuh lebih dari 1.500 kilometer, melintasi jalan di tepi jurang tak berdasar hingga hal mengejutkan lainnya. Buku lebih hidup karena disertai foto-foto berwarna hasil dokumentasi pribadi.
"Tak seperti perjalanan biasa, untuk naik ke Tibet ada pemeriksaan tentara Tiongkok tiap 30 menit di wilayah pegunungan Himalaya. Kami juga sempat ambruk dan sakit parah karena kekurangan oksigen di awal perjalanan hingga akhirnya mewujudkan cita-cita lama untuk menetap di The North Face, Puncak Gunung Everest dengan mata telanjang dari ketinggian 5.150 meter. Ini jadi pembuktian bahwa Himalaya bukan hanya anak gunung dan petualan ekstrem tapi juga orang biasa,” ungkap Feby.
Bak Novel Travel
Feby Siahaan dan buku kisah perjalanannya ke Tibet.
Menariknya, Feby mengemas bukunya bukan seperti buku perjalanan populer saat ini yang sarat dengan tips atau narasi dari satu kisah tokoh saja. Ia detil menceritakan kisahnya bak sebuah novel travel dengan gaya penulisan ringan. Selayaknya novel, Feby memakai banyak dialog, penggambaran karakter dan penokohan yang kuat. Drama tentu saja menjadi bagian penting dalam buku yang berlatar belakang lokasi Tibet ini.
"Perjalanan ke Tibet dilakukan bulan April 2014. Lebih dari itu, setia tahunnya saya memang harus melakukan perjalanan. Traveling hampir sudah menjadi kebutuhan di mana saya bisa mendapatkan waktu terbaik untuk kontemplasi," ujarnya lagi.
Setelah melakukan perjalanan ke Tibet, Feby justru dapat menyelesaikan penulisan buku ini hanya dalam waktu 10 hari. Perjalanan ke Tibet terekam jelas dalam pikirannya. "Cerita berkali-kali pun tetap semangat," ungkapnya sambil tertawa.
“Saya seperti menemukan rasa baru dalam buku perjalanan. Feby mengemasnya dengan sangat baik. Bagian pentingnya ialah penggambaran impian yang terwujud. Bagus sebagai inspirasi penulisan buku perjalanan ke depannya agar lebih berwarna,” ungkap Asita DK, seorang penulis buku yang turut mengemukakan pendapatnya. (Sri Noviyanti)