Jalan-jalan ke Magelang Tak Akan Puas Kalau Belum Mencicipi Getuk Gondok
Rasanya tiada lengkap pelesiran ke Magelang, Jawa Tengah, kalau belum mencicipi enaknya Getuk Gondok. Mau tahu rasanya?
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM -Pelesiran ke Magelang, Jawa Tengah, rasanya tak lengkap kalau tak mencicipi Getuk Gondok. Ya, salah satu getuk yang terkenal di sana adalah getuk Gondok yang dijualSri Rahayu (59) sejak 1985. Rahayu merupakan generasi ketiga dari getuk merek tersebut, meneruskan usaha warisan nenek dan ibunya. Kapan neneknya mulai berjualan getuk, Rahayu mengaku tak tahu. “Yang jelas, waktu saya masih kecil, belum sekolah,” ujar Rahayu saat ditemui di kediamannya.
Yang ia ingat, neneknya menderita penyakit gondok di lehernya. Itu sebabnya getuk buatannya dinamai Getuk Gondok. Setelah neneknya meninggal, ibunda Rahayu meneruskan usaha tersebut. “Ibu saya memiliki tujuh anak, lima di antaranya perempuan. Kelimanya lalu punya usaha getuk sendiri. Keponakan dan anak saya juga kini mengikuti jejak nenek,” kisahnya. Dulu sebelum berjualan sendiri, Rahayu hanya membantu kakaknya membuat getuk.
Lantaran ingin mandiri, ia berjualan sendiri. Awalnya, ia membuat 25-35 kg getuk per hari. “Berangkat jualan 07.00, pukul 14.00 sudah pulang karena masih menyusui bayi saya. Terkadang getuknya habis, kadang sisa,” kenang Rahayu yang awalnya menjajakan getuk di depan Toko Panorama. Setelah bangunan Pasar Rejowinangun jadi dan ditata rapi, semua penjual yang sebelumnya di pinggir jalan sekitar pasar termasuk Rahayu, harus masuk pasar.
Sayang, saat menempati kios di lantai teratas, getuknya tak laku. “Sehari, paling-paling laku Rp10.000. Beruntung, saya lalu mendapat kios di lantai dasar, satu di Blok B no 17, satu kios lagi di Blok C,” ujar ibu empat anak ini. Tahun 2007, karena harus menjaga suaminya yang sakit, Rahayu tak lagi menjaga kios, bahkan hingga sekarang meski sang suami telah meninggal. Kini, kios Getuk Gondok ditunggui anak-anaknya.
Tanpa Pengawet
Getuk Gondok dijual dalam kemasan kotak kardus dengan beberapa pilihan harga, yaitu Rp5.000, Rp10.000, dan Rp25.000. Sedangkan yang dibungkus dijual seharga Rp3.000 berisi delapan potong getuk. Getuk yang tiap malamnya dibuat pukul 01.00-07.00 ini ada tiga macam, yaitu 1, 2, dan 4 warna. “Saya lihat lapis beras menarik, berwarna-warni dan bertumpuk-tumpuk. Saya coba membuat getuk dengan cara itu. Kadang-kadang warna cokelatnya saya beri gula merah.”
Cara membuat getuk cukup sederhana. Agar menghasilkan getuk yang lembut dan enak, Sri sengaja memilih singkong yang masih mempur dengan usia 10 bulan.
Ia juga menggunakan gula pasir asli dan tak mau pakai pengawet. Itu sebabnya getuk yang dibuat harus habis hari itu. “Sebetulnya besoknya pun getuk enggak kecut dan ‘ngiler’, tapi saya enggak mau menjual makanan kemarin. Pertama, saya, kan, mangkal, jadi orang mudah menemukan saya kalau mau komplain. Kalau sampai pelanggan kecewa karena getuknya enggak enak, saya juga yang rugi. Apalagi, di pasar banyak saingan,” ujar Rahayu yang berhati-hati menjaga kualitas karena getuknya dikenal banyak orang.
Berkat ketekunannya, kini getuknya laku tak kurang dari 150 kg per hari. Bila ada pesanan, pembuatan getuk bisa sampai 300 kg dalam sehari. Pesanan datang tak hanya dari Magelang, melainkan juga dari kota lain, termasuk Kebumen. “Pesanan ini bukan untuk dijual lagi, melainkan untuk acara pribadi, misalnya pernikahan atau oleh-oleh untuk dibawa ke luar kota,”
Hasuna Lailatu