Pesona Keindahan Jam Gadang Terusik Oleh Makin Banyaknya Pedagang Kaki Lima dan Asongan
Pesona Jam Gadang yang jadi salah satu daya pikat pariwisata Bukit Tinggi makin terusik pedagang kali lima dan asongan di sekitarnya.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Makin membeludaknya wisatawan ke Kota Bukit Tinggi memang mendatangkan rezeki dan kebanggaan bagi kota ini.
Tapi kemacetan dan kesemrawutan jadi efek yang mengikuti.
Penataan kota menjadi pekerjaan rumah pemkot Bukit Tinggi. Jam Gadang yang dirancang arsitek Yazid Abidin atau Angku Acik dari Nagari Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, meski masih menjadi magnet utama wisatawan, tetap tampak semrawut.
Banyak pedagang makanan, mainan, dan kaus sepanjang hari bertebaran di area yang seharusnya steril dan kerap mendesak wisatawan.
Fasilitas parkir juga tidak memadai. Pemkot sudah membangun gedung parkir, tetapi belum dimanfaatkan maksimal. Akibatnya, setiap akhir pekan, kendaraan parkir di badan jalan dan menyebabkan kemacetan.
”Parkir tidak dikelola dengan baik. Warga dari wilayah terdekat Bukittinggi yang sering kesini merasa tak nyaman. Selain tempatnya terbatas, tukang parkir hampir ada di semua tempat. Biaya parkirnya juga mahal,” kata Marlin (57), warga Baso, Kabupaten Agam, Sumbar, yang beraktivitas di Bukitinggi.
Harga makanan dan barang juga sering menjadi sorotan. Tidak ada label harga membuat banyak wisatawan terjebak. ”Banyak tamu dari Malaysia yang dahulu ke Bukittinggi mulai beralih ke Bandung, Jawa Barat. Alasannya, harga barang di sana jelas. Di sini, sepertinya mereka tertipu saat belanja karena tak ada standar harga. Di toko A harga satu barang bisa Rp 200.000, tetapi ketika masuk ke toko B, mereka menemukan harga barang yang sama bisa setengahnya,” kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Bukittinggi Syafroni Falian.
Syafroni menilai, berbagai kondisi itu lahir tak lain karena selama ini perencanaan pariwisata Bukittinggi tak matang. Seringnya pergantian pucuk pimpinan di dinas membuat program pengembangan pariwisata tak pernah optimal.
Meski demikian, jelas Syafroni, pelibatan masyarakat secara penuh harus dilakukan. Itu untuk menjaga keberlanjutan sektor pariwisata yang menjadi bagian penting pembangunan Bukittinggi.
”Kami dari PHRI, sebagai salah satu pelaku di sektor ini, juga terus berusaha memastikan semua anggota memberikan pelayanan terbaik kepada tamu. Tentu itu tak cukup karena masyarakat juga harus berpikir dan melakukan hal yang sama,” tambah Syafroni.
Syafroni menilai, tiga dekade berlabel Kota Wisata seharusnya membuat Bukittinggi lebih dewasa mengelola potensinya. Jika tidak, lambat laun wisatawan akan lebih tertarik untuk datang ke obyek wisata lain selain di Kota Bukittinggi. (Ismail Zakaria/Amanda Putri N)