Di Masjid Al Mashun Medan Ini, Nyata Terlihat Bayangan Almarhum Imam Besar Sultan Ma’moen Al Rasyid
Di Masjid Al Mashun Medan ini, nyata terlihat bayangan almarhum Imam Besar masjid ini yakni Sultan Ma’moen Al Rasyid.
Editor: Agung Budi Santoso
Laporan Reporter Tribun Medan, Silfa Humairah
TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Anda mungkin pernah melihat tayangan adzan magrib dengan latar Lokasi di Masjid Al Mashun atau yang lebih dikenal dengan Mesjid Raya Medan di sebuah stasiun televisi nasional.
Penasaran apakah kemegahannya sama dengan yang ditampilkan di televisi?
Jika berkunjung ke Kota Medan, tidak ada salahnya mampir wisata rohani dan melihat bukti sejarah mesjid yang berusia lebih dari seabad ini. Mesjid Raya berlokasi di Jalan Sisingamangaraja, Medan, Simpang Yuki Simpang Raya.
Kemegahan mesjid yang berada di jantung Kota Medan ini jadi buah bibir bagi siapa saja yang melihat.
Al Quran raksasa di Masjid Mashun, Medan (Sriwijaya Post/ Silfa Humairah)
Dibangun pada 1906, bangunan mesjid hingga ornamennya masih saja utuh dan kuat.
Tidak ada warna pudar di cat bangunannya, dan tidak berkarat di tiap lekuk ornamennya. Mesjid ini sangat dirawat oleh masyarakat.
Warisan kerajaan Islam Melayu Deli sampai sekarang masih menjadi kebanggaan masyarakat muslim Medan dan Sumatera Utara.
Masjid Raya Medan juga sebagai salah satu masjid bersejarah di Indonesia.
Masjid Raya Medan ini selalu ramai dikunjungi umat muslim untuk beribadah atau sekedar beritikaf siang atau malam. Khususnya di sholat Jumat, saf belakang hingga halaman mesjid bisa dipenuhi jamaah.
Apalagi kalau bulan Ramadan, pintu Masjid Raya Medan nyaris tidak ditutup selama 24 jam.
Kaya akan Ornamen Arsitektur Timur Tengah dan Eropa
Melihat dari jauh, kemegahan Mesjid Raya sudah membuat mata penasaran untuk melihat ke dalam.
ukan hanya karena warnanya yang menyejukkan hati, yakni didominasi cream dan hijau. Tapi juga karena ornamen bangunan dari luar sudah mencuri perhatian karena keunikannya.
Keindahan dinding marmer di Masjid Al Mashun., Medan
Masjid Raya Medan yang menjadi identitas Kota Medan ini, memang bukan sekedar bangunan antik bersejarah biasa, tetapi juga menyimpan keunikan tersendiri mulai dari gaya arsitektur, bentuk bangunan, kubah, menara, pilar utama hingga ornamen-ornamen kaligrafi yang menghiasi tiap bagian bangunan tua ini.
Keunikan lainnya, mimbar, keempat pintu utama dan 8 buah jendela serambi terbuat dari ukiran kayu merbau yang bergaya seni tinggi.
Lengkap dengan ukiran dan hiasan ornamen khas Melayu Deli pada setiap sudut bangunan, yang serta merta melahirkan nilai-nilai sakral religius yang teramat dalam bagi setiap muslim yang melihatnya.
Ahmad, penjaga Mesjid Raya menuturkan Masjid ini dirancang dengan perpaduan gaya arsitektur Timur Tengah, India dan Eropa abad 18.
Pilar dan tiang bergaya Prancis, kubah dan ornamen kaligrafi bergaya Timur Tengah dan mimbar serta lantai dari India.
"Ini merupakan peninggalan Sultan Ma’moen Al Rasyid Perkasa Alam, pemimpin ke 9 Kerajaan Melayu Deli yang berkuasa 1873 – 1924 . Di masa kejayaannya mesjid ini dibangun untuk jamaah muslim melakukan ibadah dan mendengarkan khotbah atau pidato Sultan. Mimbar beliau bahkan masih terawat dan diletakkan di bagian depan. Sesekali masih digunakan saat khotbah di bulan Ramadan setiap tahun," jelasnya.
Ada Bayangan yang Dipercaya Wajah Sultan Ma’moen Al Rasyid
Ada yang menarik di sebelah pojok kanan dinding di barisan tepat depan imam salat. Ada bayangan hitam yang berbentuk wajah jika diperhatikan dari dekat.
Ketika Tribun Medan menanyakan pada penjaga Mesjid, jawaban mengejutkan pun terdengar.
"Bayangan ini dipercaya merupakan bayangan wajah Sultan Ma’moen Al Rasyid. Mulai dari lekukannya hingga bayangannya persis sama. Bukan kebetulan tempat ini merupakan tempat ia salat menjadi imam di masa hidupnya, kini ia masih bersama jamaah tepat di tempat di mana ia biasa berada," katanya.
Mungkin anda bisa memastikannya langsung dengan datang dan melihat sendiri bentuk bayangan yang terlukis di dinding tersebut.
Al Quran Berusia Ratusan Tahun
Jika berkunjung ke Mesjid Raya, jangan lupa untuk melihatKitab suci Al Quran tertua yang dipajang di pintu masuk jamaah laki-laki.
Perhatikan tulisan Al Quran dari jarak dekat, karena anda akan terkejut melihat lekukan ayat Al Quran tersebut merupakan hasil tulisan tangan.
Walaupun sudah berusia ratusan tahun, Alquran tersebut masih utuh dengan bacaan yang masih jelas pula.
Al Quran itu terbuat dari kertas kulit yang sangat tua dan ditulis tangan oleh para pembuat maupun perancang yang berasal dari Timur Tengah.
Tulisan tangan tersebut dengan menggunakan bahasa Urdu dan Parsi.
Pengurus Masjid, Ahmad, ketika d mengatakan kitab suci yang berukuran besar atau "raksasa" itu, banyak dilihat masyarakat atau wisatawan yang berkunjung ke lokasi masjid.
Menurutnya, dari informasi yang diperolehnya dari orang-orang tua dulu maupun alim ulama, Al Quran itu masuk ke masjid tersebut, setelah enam tahun peresmian bangunan rumah ibadah itu.
"Jadi, Al Quran itu menurut ceritanya ada yang menyebutkan pemberian dari negara Arab Saudi, Pakistan dan Persia. Saya tidak bisa menyimpulkan secara pasti negara mana yang menyumbangkan kitab suci berukuran besar itu pada Masjid Al Mashun. Tetapi yang pasti adalah dari salah satu negara Timur Tengah," katanya.
Ada Bubur Pedas di Bulan Ramadan
Jika berkunjung ke Mesjid Raya pada bulan puasa, menu bubur pedas wajib ditunggu pada waktu berbuka.
Makanan tersebut merupakan makanan khas Kesultanan Deli yang kini disosialisasikan di lidah semua kalangan yang berkunjung secara gratis.
Kini, bubur pedas tidak hanya diminati dan dinikmati oleh masyarakat Melayu saja, tetapi juga bermacam suku di Sumatera Utara.
Menu bubur pedas ini selalu tersedia sekitar 400 porsi atau bahkan lebih 500 bubur pedas setiap harinya untuk menemani masyarakat Medan saat berbuka puasa.
Tradisi berbuka puasa dengan bubur pedas ini telah ada sejak masa Kesultanan Deli pertama tahun 1909 yang dipimpin Tuanku Sultan Makmun Al-
Rasyid Perkasa Alam Syah. Warisan ini diturunkan dan masih dilaksanakan sampai saat ini.
Bubur pedas terdiri nasi nasi yang dicampur dengan berbagai jenis rempah-rempah, udang dan bumbu-bumbu, sehingga terasa pedas.
Bubur pedas dimasak tidak menggunakan gas, tapi dengan tradisional yaitu dengan kayu bakar.
Walapun dimasak menggunakan kayu bakar, prosesnya tidaklah terlalu lama, hanya memakan waktu tiga sampai empat jam.
Biasanya dimulai sesudah salat Zuhur dan selesai setelah salat Ashar.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.