Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisah Berliku Masjid Ki Muara Ogan Palembang, Dua Kali Digusur Penjajah

Masjid Ki Muaro Ogan, Cagar Budaya Palembang.

Editor: Mohamad Yoenus
zoom-in Kisah Berliku Masjid Ki Muara Ogan Palembang, Dua Kali Digusur Penjajah
Sriwijaya Post/Zaini
Sebuah perahu getek melintas di depan Masjid Ki Muara Ogan yang terletak di pinggir Sungai Musi, Kertapati, Palembang, Rabu. 

Laporan Wartawan Sriwijaya Post/Yandi Triansyah

TRIBUNNEWS.COM, PALEMBANG - Salah satu destinasi wisata religi yang wajib disinggahi saat berkunjung ke Palembang adalah Masjid Ki Muaro Ogan di di Jalan Kiai Marogan, Kelurahan I Ulu, Kecamatan Kertapati, Palembang.

Masjid ini termasuk satu di antara beberapa masjid yang ditetapkan pemerintah sebagai cagar budaya, karena nilai sejarahnya.

Termsuk Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II di Jalan Jenderal Sudirman, Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang.

Juga Masjid Besar Al Mahmudiyah atau lebih populer dengan sebutan Masjid Suro di Jalan Ki Gede Ing Suro, Kelurahan 30 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II, Palembang.

Masjid Muaro Ogan
Imam Besar Masjid Nabawi, Syekh Ali Jaber mengisi tausyiah di Masjid Kiai Muara Ogan Palembang. Selain mengisi tausyiah Syekh Ali Jaber juga melelang Kiswah Kabah.(Tribun Sumsel/Fajri)

Pada dasarnya Ki Muara Ogan adalah julukan untuk Kiai yang bernama lengkap Masagus Haji Abdul Hamid bin Mahmud.

Berita Rekomendasi

Namun di kalangan masyarakat Palembang, sebutan Ki Muara Ogan lebih sering disebut Ki Marogan atau Kain Marogan.

Nama Kiai Marogan sangat terkenal di kalangan masyarakat Palembang.

Bahkan, saking populernya nama jalan, mulai dari simpang empat Musi II hingga Kertapati diberi nama Kiai Marogan.

Penelusuran tentang cerita ketokohan Kiai Marogan bisa dimulai dari Masjid Ki Muara Ogan dan Masjid Lawang Kidul.

Sebagai penguasa sukses, pada 1871 M, Kiai Marogan mendirikan masjid di lokasi pertemuan antara Sungai Musi dan Sungai Ogan atau di lingkungan masyarakat setempat disebut muara.

Masjid ini awalnya bernama Masjid Jami Kiai Abdul Hamid bin Mahmud.

Akan tetapi masjid ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan Masjid Kiai Muara Ogan.

Lama kelamaan penyebutan Muara Ogan berubah menjadi Marogan.

Saat itu pula nama Masagus Haji Abdul Hamid sering dipanggil Kiai Marogan.

Pada mulanya, masjid ini digunakan sebagai tempat salat dan belajar mengaji bagi masyatakat di sekitar Kampung Karang Berahi, Kertapati Palembang.

Sebagai ulama, Kiai Marogan banyak memiliki murid, termasuk Kiai Kemas Haji Abdurrahman Delamat (Kiai Delamat) pendiri Masjid Al Mahmudiyah Suro 32 Ilir Palembang.

Seiring waktu, jumlah jemaah Kiai Marogan terus bertambah, sehingga perlu untuk meningkatkan fungsinya.

Kemudian masjid tersebut semula milik pribadi, lalu diwakafkan pada tanggal 6 Syawal 1310 H atau bertepatan dengan 23 April 19893 H.

Setelah itu masjid Kiai Matogan digunakan sebagai tempat mengelar Salat Jumat dan ibadah-ibadah lain pada umumnya.

Masjid Muaro Ogan
Tampak depan Masjid Kiai Muara Ogan Palembang. (Sriwijaya Post/Yandi Triansyah)

Menurut keturunan keempat dari Kiai Marogan Mgs H Memet Ahmad SE, tanah milik Kiai Marogan jauh lebih luas dibandingkan bangunan yang ada saat ini.

Sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Musi, sebelah Timur berbatasan langsung dengan Pasar Kertapati, sebelah Utara berbatasan dengan Sungai Ogan dan sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Gelam (Keramasan).

Masjid Kiai Marogan sendiri pernah beberapa kali direnovasi, diantaranya tahun 1950.

Mustaka atau limas teratas yang berbentuk segi empat diganti dengan kubah bulat terbuat dari seng, sementara bagian depan di dak dan dicor beton.

Kemudian, renovasi kembali dilakukan secara besar-besaran pada tahun 1989 dengan meninggikan plafonnya dan kubah dari seng dikembalikan seperti semula limas.

Lantainya juga diganti dengan keramik, pintu jendela diganti dengan yang baru, namun tidak merubah unsur aslinya.

Sejak direnovasi terkahir pada tahun 1989 hingga saat ini belum pernah dilakukan renovasi lagi.

Namun akhir-akhir ini platfon bagian utama masjid terbuat dari kayu karena merupakan unsur aslinya sudah mulai bocor.

Waktu pertama kali dibangun berukuran panjang 25 meter dan lebar 20 meter.

Setelah mengalami renovasi sekarang menjadi 50 meter dan lebar 40 meter. Bisa menampung sebanyak 1.500 jemaah.

Walaupun terletak di pinggir Sungai Musi dan Sungai Ogan, masjid ini tidak pernah kebanjiran.

Terbukti pada tahun 2003 silam seluruh wilayah Kota Palembang dilanda banjir, namun Masjid Ki Muara Ogan tidak.

Sejak berdiri hingga sekarang Masjid Ki Muara Ogan pernah mengalami beberapa kali percobaan pengusuran. Hal ini disebakan karena letaknya yang strategis.

Muaro Ogan
Bagian dalam masjid. (Sriwijaya Post/Yandi Triansyah)

Pada tahun 1911 perusahaan Kereta Api ZSS (Zuit Spoor Sumatera) milik pemerintah Hindia Belanda melakukan perluasan stasiun kereta api, akibatnya tanah milik Kiai Marogan diambil dan tinggal yang ada sekarang sekitar 12.586 meter bujur sangkar.

Di atas tanah itulah dibangun sebuah masjid, tiga sekolah, makam Kiai Marogan dan zuriatnya (keturunannya) dan beberapa rumah zuriat Kiai Marogan.

Pada masa pendudukan Jepang, dilakukan pendalaman Sungai Musi persis di depan Masjid Marogan.

Juga untuk keperluan pengambilan bahan batu bara dari pusat pembagiam di Kompleks TABA Kertapati dengan menggunakan kapal-kapal besar.

Akibatnya tanah yang berada di pinggir sungai yang berbatasan dengan masjid sejak tahun 1943 hingga 1980 mengalami erosi terus menerus.

Baik oleh hempasan sungai maupun akibat curah hujan, sehingga tanah di depan masjid hanya tinggal sekitar dua meter dari pengimaman (mihrab).

Untuk mengatasi tanah longsor tersebut dimintakan bantuan kepada masyarakat maupum pihak tertentu.

Pada tahun 1969 dibentuklah sebuah yayasan dengan nama Yayasan Masjid Kiai Marogan.

Pengurus yayasan memgajukan permohonan kepada pemerintah untuk mengatasi tanah longsor.

Pada 1980 Presiden Soeharto memberikan santunan sebesar Rp 10 juta untuk menangulangi longsor.

Peranan Kiai Marogan dalam pengembangan agama Islam bukanlah pekerjaan ringan, baik tenaga maupun harta.

Banyak kalangan mengakui eksistensi perjuangan beliau.

Selain mengajarkan agama Islam, Kiai Marogan juga mendirikan atau memperbaiki masjid di tempat ia berdakwah.

Seperti di dusun Pedu, Dusun Pemulutan Ulu, Ogan Komering Ilir, Ulak Kerbau Lama, Pegagan Ilir, Mushola 5 Ulu Laut, Masjid Sungai Rotan Jejawi, Talang Pangeran Pemulutan.

Kiai Marogam meninggal pada 31 Oktober 1901 dan dimakamkan tepat disamping masjid Kiai Muara Ogan.

Makamnya termasuk salah satu peninggalan arkeologi di palembang.

Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh A Mujib Ali bahwa makam Kiai Marogan ditandai dengan dua buah nisan dari batu andesit bewarna hitam, tidak dibentuk layaknya menhir yang dipasang di atas makam bagian kepala dan kaki.

Para peziarah yang datang bukan saja berasal dari Palembang, tetapi juga dari kota lainnya seperti Jambi, Bengkulu, Lampung bahkan Jawa dan sekitarnya.

Jika Anda ingin ke sana, bisa menumpang bus kota jurusan Kertapati.

Atau jika ingin sambil menikmati keindahan Sungai Musi, Anda bisa menyeberang menggunakan perahu getek dari dermaga Benteng Kuto Besak (BKB) Palembang.

Sumber: Sriwijaya Post
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas