Kain Tenun Buton Sungguh Murah Harganya, Padahal Bahannya Benang Emas Tipis
Kerajinan tenun Buton sungguh murah harganya. Padahal bahannya saja sangat mahal, yakni benang emas tipis.
Editor: Agung Budi Santoso
”Setiap hari begini. Kami sedang ada pesanan,” katanya.
Perajin sedang menenun tenun dengan motif Buton yang sederhana (Kompas/ Susi Ivvaty Nurhayati)
Beginilah aktivitas perempuan Topa saban hari, menenun di sela-sela pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci, dan mengurus anak.
Mereka, toh, masih bisa bergaul dengan teman-teman, seperti tampak di satu balai bambu di ujung jalan. Di sana ada Hatia, Zaifah, Huslia, dan Asnam. Hanya Hatia yang menenun, sementara yang lain menemaninya sambil mengobrol.
Benang dan motif Buton
”Kami kehabisan benang. Ini baru dapat lagi saya tadi,” kata Zaifah, menunjukkan gulungan benang warna hijau. Berbeda dengan tenun di Lombok, Flores, atau Sumba yang menggunakan benang wol tebal, tenun di Baubau memakai benang jahit ekstra yang tebal. Untuk sentuhan gemerlap, digunakan pula benang emas yang lebih tipis.
Hatia menjelaskan mengenai motif Buton dan motif kreasi. Satu motif khas Buton yang lazim dikenakan warga adalah samasili atau motif garis dengan dua warna.
Sejak dulu hingga sekarang, motif dua warna ini digunakan untuk pelapis baju di pesta-pesta pernikahan. Belakangan, tenun dua warna dikenakan pula dalam berbagai kesempatan. Warna yang paling khas adalah hitam-putih, sangat simpel.
”Tenun ini untuk pelapis, dipadukan dengan kain polos katun atau sutra,” kata Hatia.
Motif lain adalah katamba ijo (katamba: nama ikan) dan dalima mangura atau buah delima yang berwarna merah muda. Masih ada lagi beberapa nama. Para petenun mengetahui nama-nama motif tenun itu secara turun-temurun dari nenek moyang.
Saya jadi teringat obrolan dengan La Ode Mohammad Budi Wahidin, pengajar mata kuliah Akhlak dan Kebudayaan Buton di Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau, sehari sebelumnya.
Menurut Budi, saat ini banyak orang Buton dari lima kabupaten dan satu kota di wilayah Kasultanan Buton tidak paham aturan dan nilai filosofi busana adat. Seharusnya pakaian bangsawan dan rakyat itu berbeda, bukan untuk membedakan derajat, melainkan sebagai simbol.
”Waktu ada festival keraton di Yogyakarta, para pejabat di sini asal pakai baju. Akibatnya orang bingung, mana yang raja. Pakaian kerabat, pejabat, dan umat itu beda,” katanya.
Sambil terus memainkan benang di alat tenunnya, Hatia mengisahkan perjalanan tenunnya yang sudah sampai Australia, Filipina, dan Eropa. Di dalam negeri, kainnya dibeli orang dari Jakarta dan Yogyakarta. Pesanan paling banyak dari Bali. Jika ada pesanan, Hatia dan teman-temannya ngebut. Sebulan dapat lima lembar.
”Saya juga membuat syal kecil-kecil seperti ini, cukup laris,” kata Hatia menunjukkan syal-syalnya yang dihargai per helai Rp 30.000.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.