Kain Tenun Buton Sungguh Murah Harganya, Padahal Bahannya Benang Emas Tipis
Kerajinan tenun Buton sungguh murah harganya. Padahal bahannya saja sangat mahal, yakni benang emas tipis.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Jika waktu memungkinkan, berburu kain tenun menjadi semacam pelarian yang menggairahkan setiap kali mengunjungi satu daerah tertentu.
Kesempatan itu datang pekan lalu ketika menyambangi Kelurahan Sula’a, Kecamatan Betoambari, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara.
Pagi menjelang siang. Saya menyusuri jalan yang kurang mulus tapi cukup lumayan untuk ukuran jalan kampung. Warga Baubau biasa menyebut Kelurahan Sula’a dan sekitarnya dengan nama Topa.
”Kalau mau cari kain tenun, yang paling dekat di daerah Topa,” begitu kata karyawan Hotel Rajawali. Tukang ojek sepeda motor di Baubau juga pasti tahu Topa yang terletak tidak jauh dari pantai.
Produk tenun Buton yang banyak disukai wisatawan (Kompas/ Susi Ivvaty Nurhayati)
Suara gesekan kayu dengan kayu, lalu kayu dengan benang, terdengar ritmis begitu memasuki daerah Topa. Suara itu muncul dari arah balai-balai di depan rumah warga.
Sudah pasti, itu suara gerakan orang menenun, yang dilakukan dengan sangat cepat. Tak tuk sreet tak tuk sreet.... Rupanya para perempuan di Topa memilih menenun di luar rumah. Embusan angin mengeringkan keringat yang belum sempat menetes.
Saya mendekati semacam pendapa berbentuk panggung di sisi kiri jalan. Tiga perempuan sibuk menenun dengan gerakan cepat.
Di salah satu sudut, seseorang mengayun-ayun bayi yang tidur di gendongan kain. Rumah panggung itu seperti ruang bermain sekaligus bekerja bagi para petenun.
Maria (54), petenun tertua di antara ketiga orang di sana, tersenyum lebar. Ia menawarkan sejumlah kain tenun yang digantungkan berjajar di sisi kiri pendapa. Kain berbentuk sarung itu bermotif sederhana, garis-garis dengan tiga warna.
”Murah, satu kain Rp 200.000, ada juga yang Rp 150.000, tergantung benangnya juga. Ada yang pakai benang emas tipis dan sulit membuatnya,” kata Maria.
Ia berhenti sejenak dari pekerjaannya. Iya, murah, batin saya. Beginilah kalau membeli tenun langsung ke perajinnya. Pasti dapat harga murah.
Maria dibantu Harwia tengah mengerjakan tenunan panjang bermotif garis dengan paduan warna asyik, yaitu merah, putih, hijau, dan hitam. Warna-warna itu disusun berselang-seling.
”Motifnya begini ini, sesuai rasa kami. Bikin yang beda-beda. Ada juga yang khas dari nenek moyang dulu,” ucap Maria.
Di sudut kanan rumah panggung, Nurhayati juga asyik dengan alat tenunnya. Ia membuat motif dekoratif yang tidak kalah indah dari Maria dan Harwia. Warna merahnya cerah.
”Setiap hari begini. Kami sedang ada pesanan,” katanya.
Perajin sedang menenun tenun dengan motif Buton yang sederhana (Kompas/ Susi Ivvaty Nurhayati)
Beginilah aktivitas perempuan Topa saban hari, menenun di sela-sela pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci, dan mengurus anak.
Mereka, toh, masih bisa bergaul dengan teman-teman, seperti tampak di satu balai bambu di ujung jalan. Di sana ada Hatia, Zaifah, Huslia, dan Asnam. Hanya Hatia yang menenun, sementara yang lain menemaninya sambil mengobrol.
Benang dan motif Buton
”Kami kehabisan benang. Ini baru dapat lagi saya tadi,” kata Zaifah, menunjukkan gulungan benang warna hijau. Berbeda dengan tenun di Lombok, Flores, atau Sumba yang menggunakan benang wol tebal, tenun di Baubau memakai benang jahit ekstra yang tebal. Untuk sentuhan gemerlap, digunakan pula benang emas yang lebih tipis.
Hatia menjelaskan mengenai motif Buton dan motif kreasi. Satu motif khas Buton yang lazim dikenakan warga adalah samasili atau motif garis dengan dua warna.
Sejak dulu hingga sekarang, motif dua warna ini digunakan untuk pelapis baju di pesta-pesta pernikahan. Belakangan, tenun dua warna dikenakan pula dalam berbagai kesempatan. Warna yang paling khas adalah hitam-putih, sangat simpel.
”Tenun ini untuk pelapis, dipadukan dengan kain polos katun atau sutra,” kata Hatia.
Motif lain adalah katamba ijo (katamba: nama ikan) dan dalima mangura atau buah delima yang berwarna merah muda. Masih ada lagi beberapa nama. Para petenun mengetahui nama-nama motif tenun itu secara turun-temurun dari nenek moyang.
Saya jadi teringat obrolan dengan La Ode Mohammad Budi Wahidin, pengajar mata kuliah Akhlak dan Kebudayaan Buton di Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau, sehari sebelumnya.
Menurut Budi, saat ini banyak orang Buton dari lima kabupaten dan satu kota di wilayah Kasultanan Buton tidak paham aturan dan nilai filosofi busana adat. Seharusnya pakaian bangsawan dan rakyat itu berbeda, bukan untuk membedakan derajat, melainkan sebagai simbol.
”Waktu ada festival keraton di Yogyakarta, para pejabat di sini asal pakai baju. Akibatnya orang bingung, mana yang raja. Pakaian kerabat, pejabat, dan umat itu beda,” katanya.
Sambil terus memainkan benang di alat tenunnya, Hatia mengisahkan perjalanan tenunnya yang sudah sampai Australia, Filipina, dan Eropa. Di dalam negeri, kainnya dibeli orang dari Jakarta dan Yogyakarta. Pesanan paling banyak dari Bali. Jika ada pesanan, Hatia dan teman-temannya ngebut. Sebulan dapat lima lembar.
”Saya juga membuat syal kecil-kecil seperti ini, cukup laris,” kata Hatia menunjukkan syal-syalnya yang dihargai per helai Rp 30.000.
Saya meneruskan perburuan, masuk ke beberapa rumah yang ternyata semuanya memiliki alat tenun.
Ada yang menjadikan tenun sebagai mata pencarian utama, tetapi tak sedikit yang menenun untuk mengisi waktu senggang. Muzunia (42), misalnya. Ibu lima anak itu hanya menenun jika ada pesanan tanpa diburu waktu.
Puas dengan tentengan kain di tangan, saya lalu meninggalkan Topa. Wastra Nusantara memang tiada duanya.... (Susi Ivvaty)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.