Tumbambataq, Ungkapan Syukur Masyarakat Dayak Wahea
Persembahan Masyarakat Dayak sebagai ungkapan rasa syukur, yakni menari Tumbambataq.
Editor: Mohamad Yoenus
Laporan Wartawan Tribun Kaltim/Cornel Dimas
TRIBUNNEWS.COM, MUARA WAHAU - Alunan gong dan tabuhan gendang malam itu menggema di Desa Dea Beq, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur.
Dari hulu ujung kampung, para penari berlenggak-lenggok memasuki lapangan balai desa.
Saat itu lapangan balai desa Dea Beq merupakan titik kumpul penyelenggaraan Erau Bobjengea masyarakat Dayak Wehea.
Para penari terdiri dari, sesepuh, orang tua, hingga anak-anak yang turut memeriahkan lapangan dengan gerak tubuhnya.
Para penari menampilkan jenis tarian yang disebut Tumbambataq, Jiak Keleng, dan Ngewai.
Tarian Tumbambataq. (Tribun Kaltim/Cornel Dimas)
Kepala Adat Dayak Wehea, Helaq Tot mengungkapkan tarian tersebut sebagai ungkapan syukur dan kegembiraan masyarakat Dayak Wehea atas panen padi.
“Gerakan kaki kanan ke depan satu langkah, putar setengah badan, lalu balas kaki kiri maju satu langkah dan putarkan setengah badan, posisi tangan dan kepala menirukan gerak burung,” ujarnya.
Perlengkapan tari haruslah menggunakan pakaian adat lengkap.
Laki-laki menggunakan Kehpai, yakni baju adat yang bermotif batik lengan panjang, tapi berukuran setengah badan.
Ujung lengan dan bawahnya bermotif setrip yang warnanya berbeda dari baju.
”Biasanya yang dipakai itu yang cerah, seperti merah, kuning, biru tua, dan lain-lain. Misalnya, baju utama warnanya merah, nanti ujung lengan dan badannya berwarna kuning dan biru,” ungkap Helaq Tot.
Untuk bawahan sendiri menyerupai sarung yang disebut Kewing.
Warnanya hitam dihiasi motif ukiran tribal khas Dayak Wehea yang ujung bawahnya berumbai-rumbai.
Sementara itu, kepala laki-laki menggunakan penutup kepala yang disebut Lebung.
Semacam topi yang dihiasi penutup kain dan di atasnya terdapat bulu burung enggang atau bulu merak.
Menurut Helaq Tot, Lebung tidak bisa dipakai sembarang orang dan ditampilkan di acara apapun.
Lebung hanya boleh dipakai oleh orang yang sudah memiliki anak, dan anaknya sudah menjalani prosesi ndieman atau naik ayun.
Lagipula, Lebung juga wajib dipakai ketika acara-adat besar seperti Festival Erau Bobjengea.
Perlengkapan yang tak kalah pentingnya bagi kaum lelaki yaitu Kedhas, yakni rompi yang terbuat dari kulit macan atau kulit beruang.
Biasanya Kedhas hanya boleh dipakai oleh tetua adat dan sesepuh, terutama oleh mereka yang berdarah bangsawan Wehea.
Helaq Tot menambahkan, masyarakat Dayak Wehea tidak serta merta mendapatkan bahan rompi tersebut dari hasil berburu.
Hal itu dilakukan guna menjaga keseimbangan ekosistem di hutan adat Wehea.
“Kita bukan memburu, tapi kalau sekiranya beruang atau harimau itu sudah sekarat dan mati di hutan, itu yang kulitnya baru boleh diambil,” jelasnya.
Sedangkan bagi kaum perempuan, kostum yang dipakai adalah kebaya bermotif ukiran dayak, dan dihiasi aksesoris kalung manik.
Bawahannya hampir sama dengan Lebung, masyarakat setempat menyebutnya Tahas.
Penutup kepala perempuan disebut Klethok, yakni berwarna merah yang bentuknya menyerupai kopiah namun ukurannya lebih kecil.
Saking antusiasnya masyarakat merayakan Erau Bobjengea, tarian yang dimulai sejak pukul 20.00 Wita, berlangsung hingga dini hari.
Tari-tarian tersebut merupakan bagian kedua dari rangkaian puncak acara Festival Erau yang melibatkan 6 desa masyarakat Dayak Wehea di Kecamatan Muara Wahau.