Hotel Amoy Singapura, Menapak Tilas Jejak Imigran Tiongkok Dalam Atmosfer Urban
Mari menapak tilas jejak-jejak imigran Tiongkok di Hotel Amoy, Singapura.
Penulis: Daniel Ngantung
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Pada 1824 silam, berdirilah kuil Fuk Tak Chi di Singapura. Adalah para pendatang dari Hakka dan Canton, Tiongkok, yang membangun kuil tersebut sebagai tempat berdoa untuk mengucap syukur atas keselamatan mereka selama mengembara.
Ratusan tahun kemudian, bangunan kuil tersebut masih tetap berdiri kokoh. Namun kini, kuil tersebut telah menjadi museum sekaligus gerbang masuk Amoy, sebuah hotel butik unik yang terletak di jantung kota Singapura.
Terletak di Far East Square, Telok Ayer, atau sekitar beberapa menit berjalan kaki dari pusat bisnis Raffles Place, Amoy bukanlah tipikal hotel yang biasa Anda temui di Singapura.
Berada di dalamnya, para pengunjung seolah diajak menapak tilas jejak para imigran Tiongkok.
Dari arsitekturnya yang bergaya peranakan, jejak itu sudah terasa.
Pemandangan di salah satu sudut Hotel Amoy, Singapura (Tribunnews.com/ Daniel Ngantung)
Bangunan hotel dulunya adalah kumpulan shop house atau rumah toko (ruko) yang dihuni para pendatang Tiongkok zaman dulu. Menyimpan nilai historis, bangunan ini masuk dalam cagar budaya yang dilindungi pemerintah.
Seiring bertumbuhnya sektor pariwisata di Singapura, pemerintah lantas berniat untuk "mengomersialkan" bangunan tersebut dengan harapan perekonomian di kawasan Telok Ayer ikut berkembang.
Far East Hospitality (FEH), salah satu jaringan hotel terbesar di Singapura, mendapat kepercayaan untuk merealisasikan program pemerintah. FEH boleh memugar bangunan tersebut, namun dengan catatan, tanpa menghilangkan identitas dan nilai historisnya.
"Oleh karena itu, museum Fuk Tak Chi tetap kami pertahankan," kata Christina Tan, Manager Communication Amoy Hotel, saat berbincang santai bersama Tribun di Amoy beberapa waktu lalu.
Keramik dan furnitur bergaya Tiongkok di Hotel Amoy, Singapura (Tribunnews.com/ Daniel Ngantung)
Perenovasian untuk area museum tidak terlalu siginifikan demi mempertahankan filosofi bangunan yang dianut masyarakat kala itu. Misalnya, lantai asli yang sedikit berundak sama sekali dibiarkan.
"Menurut kepercayaan mereka, lantai yang berundak adalah simbol kesuksesan," ujar Christina.
Tidak hanya itu, sumur yang dulunya para imigran pakai sebagai sumber air juga tetap eksis. Sumur tersebut kini hadir sebagai air mancur yang mempercantik lobi hotel.
Dari luar, bangunan hotel masih tampak seperti ruko para imigran dengan gaya arsitekur peranakan yang khas.
Tapi, begitu memasuki lobi hotel, gaya arsitektur peranakan mulai berpadu dengan sentuhan desain modern sehingga melahirkan nuansa yang kontemporer.