Pantai Batu Sungu di Buleleng Memang Belum Setenar Kuta, Tapi Inilah Cerita Pesona Kemolekannya
Pantai Batu Sungu di pesisir utara Bali, tepatnya di Buleleng, memang belum setenar Kuta. Tapi pesona keindahannya tak kalah.
Editor: Agung Budi Santoso
Laporan Wartawan Tribun Bali, Cisilia Agustina Siahaan
TRIBUNNEWS.COM, SINGARAJA - Buleleng, kawasan utara Pulau Bali memang tidak sehingar-bingar kawasan selatan yang telah dipenuhi wisatawan.
Jauh dari kerlap-kerlip, keriaan, dan padatnya hotel dan restoran khas pesisir selatan, tak membuat kawasan ini serta merta mati.
Pesisir utara Pulau Bali juga memiliki eksotisme tersendiri, yang tidak kalah, namun hanya belum banyak ter-ekspose dari segi pariwisata.
Satu di antaranya dapat ditemui di kawasan Pantai Batu Sungu yang terletak di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng.
Suasana di Pantai Batu Sungu, Buleleng, Bali (Tribun Bali/ Cisilia Agustina Siahaan)
Suara debur ombak yang tidak terlalu kencang menjadi lagu alam yang terdengar ketika berada di sini.
Aktivitas para warga desa pesisir ini termasuk anak-anak yang bermain lincah kesana kemari, akan menjadi pemandangan langka yang tidak ditemukan di perkotaan.
Kawasan pesisir yang terletak di sebelah timur Kabupaten Buleleng ini masih bisa dikatakan belum banyak dijamah oleh wisatawan.
Suasana yang masih sepi, ditambah dengan kehidupan warga desa yang sederhana, bisa menjadikan kawasan ini sebagai salah satu destinasi wisata bagi mereka yang mencari liburan yang menenangkan.
Tak hanya itu, pesona alam yang disuguhkan di sini makin memikat kala senja.
Seorang anak bermain di Pantai Batu Sungu di Buleleng (Tribun Bali/ Cisilia Agustina Siahaan)
Momen matahari terbenam alias sunset pun tak kalah cantik dengan yang ada di pesisir selatan pulau Bali ini.
Suasana sunyi yang hanya diiringi suara gemericik air laut disertai cahaya matahari temaram yang semakin lama semakin redup memberi kesan syahdu saat berada di sini.
“Belum banyak turis-turis yang datang ke sini, tapi sudah mulai ada yang berkunjung. Sesekali adalah wisatawan asing, tapi lebih sering dari orang Bali,” ujar Ketut Windra, satu di antara petani garam di Desa Les.
Untuk menarik minat wisatawan datang ke kawasan ini, organisasi yang bernama Sea Communities pun mengadakan beberapa kegiatan eco wisata dalam rangka pelestarian alam pesisir di kawasan Desa Les.
Seperti penanaman coral, bersih-bersih pantai, diving dan snorkeling serta yang lainnya.
"Kegiatan kami ada diving sambil bersih-bersih coral di dalam laut," ujar Gede Yudarta, dari Sea Communities.
Hal ini dilakukan guna melestarikan kembali terumbu-terumbu karang di sini yang sempat rusak karena sistem penangkapan ikan
yang salah.
Awalnya, cara tangkap yang dilakukan adalah dengan menggunakan jaring tradisional.
Namun kemudian berkembang menggunakan sianida.
Ini dikarenakan meningkatnya permintaan pasar serta merasa termudahkan dengan penggunaannya.
Akibatnya memang tidak langsung terlihat saat itu.
Pemakaian sianida dalam jangka waktu yang lama, akan mengakibatkan kerusakan pada terumbu karang.
Dari sanalah, semenjak tahun 2002-an, menurut Gede, sianida pun mulai ditinggalkan dan para nelayan di desa ini kembali pada pada penggunaan jaring tradisional.
Bahkan jaring yang digunakan pun dipilih yang lembut, agar tidak merusak coral.
Rehabilitasi terhadap terumbu karang pun dilakukan.
Dan, organisasi yang telah 3 tahun aktif ini cukup gencar menggalakkan kegiatan ini bersama para relawan dan juga nelayan serta penduduk lokal Desa Les.
Tak heran, desa ini juga cukup dikenal dengan kearifan lokalnya.
Nelayan membuat garam di pesisir Pantai Batu Sungu, Buleleng, Bali (Tribun Bali/ Cisilia Agustina Siahaan)
Yang mana, penduduk lokalnya sendiri bahu-membahu dalam menjaga kelestarian alam lingkungan tempat tinggalnya.
Jarak yang ditempuh untuk mencapai lokasi Desa Les memang cukup memakan waktu.
Kurang lebih 3 jam perjalanan jika dicapai dari pusat Kota Denpasar, atau kurang lebih 124 km.
Sementara dari jika datang dari ibu kota Kabupaten Buleleng, yakni Singaraja, Desa Les ini berjarak 35 km.
Panen Garam Tiap 3 Hari
Selain menjadi nelayan dan petani kebun, untuk mata pencaharian utama masyarakat Desa yang sebelah selatannya berbatasan langsung dengan Kintamani, Kabupaten Bangli ini, sebagian besar adalah petani garam.
Di tepian pantai akan tampak peralatan tradisional mereka untuk membuat garam tersebut.
Lahan dan peralatan dari bantuan pemerintah daerah setempat ini dimanfaatkan oleh Ketut Windra dan petani garam lainnya untuk mengolah air laut menjadi produk garam yang kemudian mereka pasarkan.
Bersama sang istri, Windra pun tampak sibuk mengumpulkan butir-butir garam putih yang telah berhasil dipanen, yang kemudian dimasukkan ke dalam karung-karung dan siap untuk dibawa.
Setiap 3-5 hari mereka dapat memanen garam tersebut.
Namun hal tersebut tidak menentukan berhasil tidaknya pengolahan garam.
Tergantung kondisi cuaca, yang mana menentukan berhasil atau tidaknya panen garam tersebut.
Umumnya, di masa musim panaslah waktu yang baik bagi mereka untuk membuat garam.
"Tergantung cuaca, kalau mendung susah. Biasanya malah suka gagal," tambah pria yang memiliki 4 orang anak ini.
Awalnya air laut dituang dalam sebuah wadah yang disebut tinjung yang juga sudah diisi oleh pasir terlebih dahulu.
Dari sana kemudian ditunggu sampai air meresap ke dalam pasir, dan mengalir ke dalam bak yang telah disediakan di bawahnya.
Baru setelah dari bak tersebut, kemudian tahap pengolahannnya berikutnya dibawa ke penjemuran.
Ditunggu hingga sekitar 3 harian, kemudian sudah berbentuk garam dan bisa dipanen.
"Garamnya ini enak, beda rasanya dari garam yang lain. Silakan dicoba," ujar seorang petani garam winata lainnya sambil menunjukkan garam hasil panenannya kepada Tribun Bali.