Susah Payah Menembus Surga Bawah Laut Raja Ampat di Papua
Keindahan surga bawah laut di Raja Ampat begitu menggoda penggemar diving dan snorkeling. Tapi perjuangan ke sana tidaklah ringan.
Editor: Agung Budi Santoso
Sadar ada kamera yang siap mengambil gambar, aku pun berusaha berpose. Sungguh sulit! Berpose di darat saja aku gagal. Namun, ketangkasan Harry berhasil membuat beberapa foto yang terlihat nyata, seperti tiga dimensi. Foto-foto yang dipuji (dan membuat iri) ratusan orang.
Sedikit lebih dalam, aku sempat terpana saat mata menumbuk sekitar 30 ikan sebesar dua telapak tangan berwarna kuning bergaris-garis hitam dan putih, sweetlips namanya.
Mereka berenang di sisi kiri terumbu karang yang beraneka warna, searah arus. Sungguh indah dan unik, karena mereka berenang tanpa berpindah tempat, nyaman bermain bersama kumpulannya.
Sayangnya, aku kerap gagal berfoto bersama sweetlips karena harus diam di titik tertentu sambil melawan arus. Aku hanya bisa memandangi Akbari berpose di depan kelompok sweetlips dengan penuh rasa iri.
Melihat wajah Harry yang terlihat puas di balik goggles-nya, aku yakin, foto Akbari itu pasti cantik!
Beberapa kali kami melihat black tip shark, atau ikan hiu dengan warna hitam di ujung-ujung siripnya. Revan, sang dive master yang setia mengikutiku ke mana-mana, sempat menunjukkan keanggunan ikan pari kecil berwarna putih yang berenang menjauh seakan menari di bawah laut.
Setelah puas menyelam, kami pun beristirahat dan makan siang di atas dermaga. Setiap kali kami menikmati makan di jetty, kami selalu menyebutnya, "Makanan termahal di dunia."
Sebetulnya, makanan kami hanya nasi, ikan atau ayam, tahu, telur, dan sayur sederhana. Kebersamaan, canda tawa, dan pemandangan yang tak pernah membuat kami bosan inilah yang membuat semuanya sangat "mahal".
Sebelum kami kembali ke Raja Ampat Dive Lodge, Harry meminta aku dan Akbari untuk berpose di dekat terumbu karang yang tumbuh di perairan dangkal. Kami masuk ke dalam air laut, namun masih bisa berdiri.
Harry kerap membenamkan diri ke dalam laut, lalu mengangkat kameranya yang dibungkus dengan housingyang besar, dengan bagian lensa ditutupi doom yang besar seperti mata alien, dan tangan-tangan penopang lampu flash yang panjang. Berat keseluruhan sekitar 8 kg saja.
Terus terang aku tidak mengerti apa yang ia lakukan. Ya, aku tahu, ia membuat foto over-under yang rupanya sedang tren sekarang ini. Tapi aku tidak terbayang bagaimana hasilnya. (Roxanna Silalahi/ KompasTV)