Masjid Sultan Suriansyah Banjarmasin, Tertua di Kalsel, Ini Cerita Menarik di Balik Pembangunannya
Masjid ini berdiri tahun 1526, tak lama setelah raja Banjar pertama, Pangeran Samudera yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah, memeluk Islam
Editor: Malvyandie Haryadi
Di antaranya adalah empat tingkatan bangunan masjid ini yang sarat dengan simbol keislaman.
Bagian bawahnya, berupa bangunan tempat salat menyimbolkan syariat berupa ilmu tentang Islam.
Tingkatan kedua, berupa badan masjid yang beratap melandai dan bangunannya yang persegi empat, merupakan simbol kerjakan syariat Islam.
"Ini menyimbolkan tarikat Islam. Setelah di tingkatan pertama menyimbolkan ilmu tentang Islam, artinya sudah diberi ilmu selanjutnya ya harus dikerjakan atau dipraktekkan ilmunya," paparnya.
Tingkatan ketiga, wujudnya sama seperti yang pertama dan kedua, namun ukurannya lebih kecil, menyimbolkan hakikat Islam, yaitu yang menolong.
Artinya, setelah dapat ilmu tentang Islam, sudah dipraktekkan, lalu untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari harus ada yang menolong.
Selain itu, arsitektur bangunannya ini menyimbolkan arti lainnya, yaitu adanya pengaruh besar Kerajaan Demak dalam penyiaran Islam di Kalimantan Selatan.
Tak hanya itu, jika dilihat di bagian dalam masjid ini, sarat dengan simbol-simbol Islam dan nuansa khas Banjar.
Simbol Islam bisa dilihat dari banyaknya ukiran kaligrafi Arab berupa ayat-ayat Alquran dan nama Allah.
Di banyak bagian lainnya, ada ukiran-ukiran khas Banjar seperti manggis, nenas, tali dan bunga.
Semuanya memiliki arti khusus tentang karakter orang Banjar.
Nenas misalnya, memiliki arti sebagai pembersih hati dan jiwa yang kotor dari nafsu-nafsu setan.
Hal ini sesuai dengan sifat nenas yang memiliki zat kimia yang mampu melunturkan kotoran sekeras apa pun yang melekat pada benda.
"Kalau manggis artinya lain lagi. Manggis di luarnya berkulit hitam, di dalamnya ternyata putih. Ini menyimbolkan seburuk-buruknya manusia, pasti ada baiknya juga. Artinya, kita tidak boleh menilai seseorang dari luarnya saja," sebutnya.
Kemudian, ada lagi simbol tali yang bermakna ukhuwah islamiyah atau persaudaraan sesama orang Islam.
"Kalau bunga itu simbol keindahan. Artinya orang Banjar sebagai bagian dari umat Islam harus indah dalam hal akhlaknya, tutur katanya, dan sebagainya," lanjutnya.
Di bagian tengah masjid ini, ada empat tiang guru yang masih asli sejak pertama dibangun.
Ada cerita menarik dalam peletakan tiang guru ini saat pembangunannya dulu.
Menariknya adalah, sangat sarat dengan budaya Banjar dan pengaruh Hindu di masa lalu.
Konon, dulu saat diletakkan, di bagian atas tiang guru ditaruh wafak, yaitu jimat khas Banjar berupa tulisan Arab yang dirajah berisi doa-doa.
Tujuannya sebagai media pelindung bangunan agar senantiasa damai dan selamat dari bahaya.
"Saya mendengar kisahnya seperti itu. Itu kan pengaruh budaya Hindu. Tapi karena ini masjid, kemudian ditambahi doa-doa permohonan kepada Allah agar masjid dan jemaah yang beribadah di dalamnya damai dan selamat," tuturnya.
Dari segi bangunannya, kendati banyak dipengaruhi arsitektur masjid di Demak, tak seluruhnya masjidnya bernuansa Demak.
Masjid ini bertipe panggung, seperti halnya bangunan-bangunan lainnya di Banjarmasin yang bertipe rumah panggung.
Hal itu disebabkan kontur tanahnya yang rawa sehingga diperlukan fondasi kuat bertipe panggung agar bangunan tak mudah roboh.
"Kalau masjid di Demak tidak bertipe panggung. Kalau di sini panggung," katanya.
Lokasi masjid ini sangat mudah dijangkau.
Letaknya di pinggiran kota Banjarmasin, tepatnya di tepi Sungai Kuin.
Bisa dijangkau dengan kendaraan umum seperti ojek dan becak maupun pribadi.
Bisa juga dengan perahu atau kelotok.