Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Segarnya Es Dawet Purworejo dan Rahasia Mengapa Cendolnya Berwarna Hitam Pekat Tapi Sehat

Es dawet Purworejo begitu segar. Hitam legam bukan karena pewarna tapi warna merah asli. Gula merah dan santan alami. Pantesan seger bener!

Editor: Agung Budi Santoso
zoom-in Segarnya Es Dawet Purworejo dan Rahasia Mengapa Cendolnya Berwarna Hitam Pekat Tapi Sehat
Dewi Puspasari/ Kompasiana.com
Es dawet Purworejo yang hitam legam karena unsur merang dengan gula merah dan santan alami. 

Es dawet Purworejo begitu segar. Hitam legam bukan karena pewarna tapi warna merah asli. Gula merah dan santan alami. Pantesan seger bener!

TRIBUNNEWS.COM - Menuju Yogyakarta dari Jakarta, akhirnya kami mencoba menyusuri jalan Daendels. Di sini sebagian jalanannya rusak sehingga kami berkendara bak off road.

Tapi kami terhibur oleh panorama muara dan segarnya es dawet hitam khas Purworejo.

Biasanya kami lewat Kota Kebumen dan Kutoarjo, tapi kali ini kami ingin mencicipi jalan kuno yang bernama Daendels ini.

Meskipun namanya sama dengan Gubernur Jenderal yang memerintahkan pembangunan Anyer-Panarukan namun ternyata jalan ini tidak ada hubungannya dengan proyek jalan mencapai 1000 km ini.

Malah jalan pantai selatan ini jauh lebih tua, diperkirakan sudah eksis sejak abad ke-14.

Jalanan lurus membentang dengan pepohonan dan diselingi sawah. Jalanannya tidak terlalu ramai dan paling banyak penggunanya adalah pengendara sepeda dan sepeda motor yang membawa hasil bumi dan rumput untuk ternak.


Es dawet Purworejo yang hitam legam karena merang dan manis karena gula merah (Dewi Puspasari/ Kompasiana.com)
BERITA TERKAIT

Diam-diam saya mengagumi hasil kerja keras nenek moyang dalam membangun infrastruktur jalan. Pastinya tidak mudah membuka jalan pada masa itu.

Jadi ingat ucapan Pak Velix waktu Kompasiana Visit Tol Cipali, bahwa infrastruktur itu penting dan membangun bangsa. Dengan adanya jalan Daendels maka hasil bumi bisa lebih cepat dikirim.

Jalan Daendels ini landai dan tidak banyak berkelok-kelok.

Sebenarnya enak lewat di sini karena rindang, ada banyak sawah dan pepohonan juga lumayan sepi.

Tapi jalanannya banyak yang rusak dan di beberapa bagian sedang dilakukan pelebaran jalan dimana saat ini saat ngepas untuk dua mobil.

Setelah melalui beberapa jembatan, cuaca semakin terik dan rasanya melihat fatamorgana.

Jika memandang jauh ke depan serasa jalanan basah oleh air, tapi ketika tiba di situ jalanan kering kerontang.

Di sebuah jembatan kami melihat beberapa pengendara motor yang asyik bercengkrama sambil menikmati pemandangan. Wah ternyata muaranya terlihat.

Di jembatan berikutnya kami turun. Kami melihat sungai sebagai muara dan lautan Indonesia samar-samar.

Rasanya agak deg-degan melihat muara yang berwarna kehijauan.

Apa ada buaya muara ya? pikir saya. Eh ketika ada mobil lewat, jembatannya bergoyang membuat dada berdesir takut nyemplung.

Setelah puas menikmati panorama muara, kami bergegas ke warung karena kepanasan.

Purworejo Kondang Akan Dawet Hitamnya

Karena Daendels ini juga melewati Purworejo maka ada beberapa warung dawet.

Kami singgah di Dawet Ibu Ngatmini, seorang nenek yang masih bersemangat berjualan dawet.

Sudah bertahun-tahun ia menjajakan dawet di kedainya yang sederhana.

Selain dawet, di situ ada berbagai kudapan. Kami langsung memesan dua mangkok es dawet hitam.

Es dawet ini dibuatnya sendiri. Untuk warna hitamnya ia menggunakan pewarna alami dari merang.

Ia tak tergiur menggunakan pewarna buatan meskipun prosesnya bakal lebih mudah.

Es dawetnya cantik disajikan dalam mangkok dengan paduan dawet hitam dan kuah santan putih yang alami bukan santan kemasan.

Setelah diaduk, kuah menjadi kecokelatan karena menggunakan gula merah.

Manis dan gurihnya pas...hemmm segar. Perporsinya cukup murah hanya Rp 3 ribu/mangkok.

Saat kami bersantap dawet, ada dua pemuda yang langganan dawet di tempat tersebut.

Kata Bu Ngatmini, beberapa langganannya akrab dengan dirinya, sambil maem dawet, nengok mbahe, ujarnya sambil terkekeh.

Kedai dawet sederhana ini menambah deretan kenangan saya akan perjalanan pantai selatan. Di Daendels jalan lewatkan dawet hitam.

Eh ada juga sate Ambal yang terkenal di kawasan ini. Terpaksa kami lewatkan karena sudah membungkus makanan dari Kebumen. Kami pun singgah ke Pantai Glagah sebelum mengarah ke Yogyakarta. (Dewi Puspasari)

Sumber: Kompasiana


Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas