Nusa Kutu yang Eksotis, Terpisah dari Daratan Flores, Kini Dihuni Kambing
Karena gempa, Nusa Kutu di NTT yang dulu menyatu dengan daratan Flores itu terpisah. Kini cuma dihuni kambing.
Editor: Agung Budi Santoso
Laporan Wartawan Pos Kupang, Aris Ninu
TRIBUNNEWS.COM, MAUMERE -- Menyambangi Wair Nokerua tak lengkap rasanya bila tidak meringankan langkah menapaki pulau kecil nan eksotis di sisi baratnya.
Pulau yang tidak termasuk dalam gugusan pulau yang ada di kabupaten Sikka ini seakan luput dari perhatian.
Namun pulau mungil yang dulunya bergabung dengan daratan ini tampak bak seorang bayi diapit dua bukit di depannya yang bisa diibaratkan orang tua baginya.
Saat mengabadikan pemandangan di sekitar Wair Nokerua, Sabtu ( 2/01/2016) pagi Pos Kupang terpesona oleh sebuah pulau kecil yang terlihat hanya beberapa ratus meter di depannya. Pulau gersang yang ditumbuhi rerumputan dan beberapa pohon kecil ini terasa mempesona di sekitar hamparan sawah yang terendam air asin.
Wisatawan sedang selfie di Nusa Kutu (instagram: jalanjalanflores)
Uniknya pulau ini, jika air laut surut dari kejauhan terlihat beberapa pohon dan deretan pasir yang tersusun rapi bak jembatan menyatukan dirinya dengan daratan. Pasir putih dan bebatuan tersebut sebagai jalan penghubung antara daratan dan sang pulau. Ketika air pasang maka jembatan ini akan hilang dan tinggalah sang pulau menyendiri.
Hutan Bakau
Pulau Nusa Kutu berjarak sekitar 20 kilometer arah barat Kota Maumere, Jika dilihat dari kejauhan, Pulau Nusa Kutu berada di ujung daratan selat.
Di perairan selat tersebut dipenuhi keramba - keramba mutiara yang dibudidayakan. Di pesisir Pantai Nanga terdapat beberapa rumah darurat yang dibangun nelayan Bajo asal Wuring untuk melepas penat selepas melaut.
Kepenatan terbayar ketika menatap dua bukit Nanga yang gersang sambil memandangi genangan air laut di areal persawahan.
Rimbunan pohon bakau menjadikan aneka burung betah beterbangan memperdengarkan suara kicauan. Melepas penat sebentar dibawah puluhan pohon asam yang berjejer di pesisir pantai, perjalanan pun terpaksa dilanjutkan.
Berburu dengan waktu seraya memperhitungkan air laut yang sedang surut, perjalanan ke pulau Nusa Kutu pun dilanjutkan.Kita akan menyusuri deretan pasir putih dengan satu dua pohon di sekitarnya sejauh ± 100 meter hingga menginjakan kaki ke pulau Nusakutu.
Melanggar Pantangan
Gaudensia Gedo, warga Desa Kolisia yang ditemui Pos Kupang menuturkan, dahulunya pulau ini menyatu dengan daratan, namun setelah terjadinya gempa bumi dahsyat dan tsunami yang melanda Flores di tahun 1992, pulau ini terpisah dari daratan. Dulu Bukit Nanga bersatu dengan deretan pulau ini.
Lahan sawah yang diapit dua bukit di depannya sebut Gaudensia, juga dulu masih bisa ditanami. Namun setelah itu air laut naik hingga merendami areal persawahan dan bertambah tinggi dari tahun ke tahun sehingga areal ini tidak bisa ditanami dan dibiarkan terlantar.
"Kalau air pasang, jalan ini tidak bisa dilewati. Air laut akan masuk dari arah barat memenuhi hutan bakau. Air laut juga mengenangi hampir semua areal di depan dua bukit ini sehingga terlihat seperti kubangan. Kalau di deretan pohon asam sampai ke pesisir pantai sebelah utara tidak Tinggi air laut yang menggenangi areal ini bisa sampai selutut sehingga hampir tidak ada orang yang ke pulau Nusa Kutu kalau air laut sedang pasang, " tuturnya.
Ibrahim Nura dan Antonius Wangga, warga Kolisia yang merupakan pemilik tanah di sekitar pulau ini yang ditemui di desa tersebut menjelaskan dahulunya di sekitar pantai ada sebuah perkampungan yang berhadapan dengan laut utara Flores. Kehidupan masyarakat kampung tersebut berubah total setelah timbul sebuah malapetaka. Semua warganya secara tiba - tiba saja saja mengalami kebutaan total.
Kebutaan yang membuat panik warga setempat terjadi akibat pantangan yang telah diwariskan nenek moyang mereka dan ditaati secara turun temurun dilanggar. Kejadian berawal ketika dua perempuan buta usai mengumpulkan kayu bakar memanggil anjing seolah berbicara dengan manusia.
Akibatnya semua warga di kampung tersebut mengalami kebutaan. Hujanpun turun terus menerus selam beberapa hari. Air laut kemudian naik dan akhirnya menutupi kampung tersebut. Wilayah tersebut sekarang dikenal dengan nama Teluk Kolisia.
Dihuni Kambing
Selepas menapakai ketinggian pulau Nusa Kutu ± 6 meter dan mengitari pulau sepanjang ±15 meter dengan lebar ± 5 meter rasa-rasanya kaki ini penat.
Bukit - bukit terjalnya seakan menantang membuat penulis harus berkejaran dengan waktu karena sebentar lagi air laut akan pasang. Tak terasa, sudah sejam lebih kaki ini melangkah di setiap sudut pulau tandus ini, melompat dari bukit kecil ke bukit satunya yang lebih besar di depannya.
Margaretha warga Kolisia lainnya yang ditemui mengatakan, dulunya pulau Nusa Kutu dihuni ratusan ekor kambing yang dilepas oleh Aloisius Walo ( almahrum ) dan anaknya Kanisius Wisang.Kalau air laut surut, kambing - kambing tersebut kadang pergi sampai ke daratan dan kembali lagi kalau siang sebelum air pasang.
"Kadang juga mereka terlambat pulang sehingga ada yang sering mati tenggelam. Kalau mereka makan tanaman milik penduduk di sawah maupun pekarangan rumah ada penduduk yang membunuhnya. Sekarng juga masih ada tapi tinggal beberapa ekor saja " sebut Margaretha.
Emilinda Buka,warga Dusun Edo lainnya yang dijumpai Pos Kupang di tempat yang sama mengatakan tanah di sekitar pulau merupakan milik Bapak Lari, Bapak Nita selaku ketua adat dan juga kepunyaan bapak Ibrahim Nura dan Antonius Wangga.
Kalau hari minggu suka ada orang yangke pulau tersebut. Tapi kalau ke sana pinta Linda, harus tunggu air laut surut.Di sekitar pantai Magepire sambungnya, ada tinggal beberapa nelayan Suku Bajo dari Desa Wuring yang buat rumah darurat.
Jika ditata dengan baik tentunya tempat ini akan menjadi salah satu destinasi wisata. Ada baiknya lokasi wisata ini jadi satu paket dengan kunjungan ke Wair Nokerua yang berada beberapa ratus meter ke arah timur dari Nusa Kutu, bukit Tanjung dan pantai Kajuwulu yang mempesona.*