Tiga Destinasi Wisata Religi di Aceh: Masjid Raya Baiturrahman hingga Ziarah ke Makam Syiah Kuala
Nah! Jika anda melawat Banda Aceh, berikut tiga destinasi wisata reliji yang direkomendasikan Tribun Travel.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Nurul Hayati
TRIBUNNEWS.COM, ACEH - Sebagai daerah berjuluk Serambi Mekkah, Aceh kaya akan destinasi wisata reliji.
Tak heran, provinsi di ujung barat Indonesia itu merupakan pintu gerbang masuknya Islam ke nusantara, bahkan Asia Tenggara.
Menyisakan jejak kegemilangan Islam tempo dulu.
Ibukota provinsi, Banda Aceh tahun 2015 lalu ditasbihkan sebagai ‘world islamic tourism’.
Tercatat sebagai satu dari enam kota wisata halal yang ramah bagi wisatawan muslim yang ada di negeri ini.
Nah! Jika anda melawat Banda Aceh, berikut tiga destinasi wisata reliji yang direkomendasikan Tribun Travel.
1. Masjid Raya Baiturrahman
Bagi masyarakat Aceh, Masjid Raya Baiturrahman bukan sekedar rumah ibadah.
Masjid tersebut adalah simbol dari spirit perjuangan.
Pernah dibakar dan dibangun kembali oleh penjajah Belanda tatkala perang Aceh berkecamuk.
Di masjid ini pula lah salah seorang jenderal Belanda, Kohler meregang nyawa.
Ketika dari balik reruntuhan masjid seorang gerilyawan Aceh, Teungku Imum Luengbata (19) melesakkan besi panas tepat di jantung sang jenderal.
Sebuah peristiwa yang memukul mental serdadu Belanda dan menggemparkan Eropa.
Tak heran, Masjid Raya Baiturrahman yang dibangun pada tahun 1612 itu bukan sekedar rumah ibadah, melainkan benteng pertahanan.
Masjid yang dibangun pada abad ke-17 itu telah melawat melintasi zaman dari era kerajaan, perang kemerdekaan, hingga bencana maha dahsyat tsunami.
Tempat ini adalah destinasi 'wajib' bagi anda yang melakukan wisata reliji di Aceh.
Nah! Jika anda berkunjung ke Kota Banda Aceh sekarang, maka anda akan mendapati masjid kebanggaan sekaligus ikon Aceh itu sedang dipugar.
Perluasaan proyek meliputi landscape dan infrasruktur tersebut menurut target memakan waktu 700 hari.
Menurut rencana pekarangan masjid yang sudah berumur 4 abad lebih itu akan disulap layaknya Masjidil Haram di Mekkah.
Menegaskan simbol Aceh sebagai Serambi Mekkah.
2. Masjid Agung Al Makmur
Masjid Agung Al Makmur. (Serambi Indonesia/Nurul)
Masjid Agung Al Makmur, Lampriek-Banda Aceh menyimpan sejarah tersendiri.
Masjid yang menampung sekitar 2.000 jamaah tersebut merupakan hibah dari Sultan Oman, Qabus Bin Said.
Adalah musibah gempa dan tsunami yang meluluh lantakkan Bumi Serambi Mekkah pada Desember 2004 yang membuat Kesultanan Oman tergerak mengulurkan tangan.
Tak tanggung-tanggung, rumah Allah bergaya Timur Tengah itu menelan biaya hingga Rp 17 miliar.
Lantai dalam masjid dilapisi permadani dan dindingnya dihiasi dengan kaligrafi ayat Al Quran.
Menariknya lagi masjid ini dibangun memenuhi persyaratan respon gender di mana disiapkan kamar berwudhu dan bersuci khusus untuk kaum perempuan dan juga penyediaan tangga naik bagi penyandang cacat.
Dibangun mirip masjid di Timur Tengah yang memiliki 2 menara dan 1 kubah.
Masjid Agung Al Makmur atau yang belakangan populer dengan nama Masjid Oman berdiri di atas lahan 7.000 M2.
Lahan tersebut merupakan wakaf Pemerintah Kota Banda Aceh dan Tgk Hj Ainul Mardhiah Ali.
Masjid ini mengurai pasang surut dan melewati perjalanan panjang sebelum berdiri seperti sekarang.
Masjid itu ditetapkan sebagai masjid kota sehingga ditabalkan nama Agung di depannya.
Jika berkunjung pada saat Bulan Ramadhan, seperti halnya masjid-masjid lainnya Masjid Al Makmur atau Masjid Oman juga mempunyai tradisi khusus.
Buka puasa bersama rutin digelar setiap harinya.
Tak kurang dari 200 porsi makanan yang berasal dari sedekah warga setempat maupun dari para jamaah yang datang tersedia setiap harinya.
Makanan yang dimaksud bisa berupa nasi atau pun kanji rumbi (sejenis bubur ayam).
Warga yang datang berbuka puasa di sini sekaligus menjadi jamaah salat magrib.
Mengingat letaknya yang strategis, tak hanya warga di kemukiman setempat yang kemari, tapi juga mereka yang dari kawasan atau bahkan daerah lain.
“Kalau sehari-harinya yang rutin digelar adalah pengajian. Baik untuk kaum bapak, ibu-ibu, maupun anak-anak. Kami sering kedatangan jamah dari luar negeri, itu bisa dilihat dari mata uang yang disedekahkan ke dalam kotak amal,” terang Imam Besar Masjid Al Makmur, Drs Tgk H Muhammad Razali MM.
Salat tarawih digelar setiap malamnya dengan jumlahnya jamaah terkadang melampui kapasitas masjid yaitu 2.000 orang.
Jika datang pada 10 hari terakhir Ramadan, maka pihak panitia menggelar salat tahajud mulai pukul 3.00 WIB – subuh.
Panitia juga menyediakan sahur bagi para jamaah tahajud.
Tradisi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum muslim.
Karena keunikannya itu, Masjid Agung Al Makmur atau Masjid Oman kerab menjadi destinasi wisata reliji bagi pelancong muslim.
3. Makam Syiah Kuala
Kompleks Makam Syiah Kuala. (Serambi Indonesia/Nurul)
Sebagai gerbang masuknya Islam ke nusantara dan Asia Tenggara, selain masjid Aceh juga mempunyai sederetan ulama masyhur.
Salah satunya adalah Syeich Abdurrauf Bin Ali Alfansuri atau yang lebih dikenal dengan nama Syiah Kuala.
Ia adalah ulama besar yang memiliki pengaruh hingga semenanjung Asia Tenggara dalam menyebarkan Islam abad 17 Masehi.
Tak heran kalau kemahsyhuran sang ulama gaungnya tidak hanya terdengar di Bumi Serambi saja.
Syiah Kuala lahir tahun 1001 hijriah atau 1591 masehi.
Keluarganya adalah pengembara Islam dari Persia yang menetap di Singkil, Aceh sejak abad ke-13.
Semasa muda Syiah Kuala mengenyam pendidikan agama hingga ke tanah Arab.
Menurut riwayat, ia kemudian membuka dayah (pesantren) di Meunasah Dayah Kuala (sekarang bernama Desa Deah Raya) Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh.
Ia menurunkan ilmu ke murid-muridnya yang berasal dari berbagai daerah.
Semasa hidupnya, Syiah Kuala juga produktif menulis.
Kitab-kitab karangannya tersebar hingga berbagai negara dan menjadi rujukan bagi orang-orang belajar Islam.
Ulama kharismatik ini lantas dipercaya sebagai Kadhi Malikul Adil Kerajaan Aceh Darussalam selama 59 tahun.
Jabatan setara hakim agung itu diembannya selama masa kepemimpinan empat ratu: Sultanah Safiatuddin Syah (1641-1645 M), Sultanah Naqiatuddin Syah (1675-1678 M), Sultanah Zakiatuddin Syah (1678-1688 M), dan Sultanah Ratu Kamalat Syah (1688-1699 M).
Jasanya yang begitu besar dikenal lewat peribahasa “Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala.”
Syiah Kuala tutup usia pada 23 Syawal 1106 H (1696 M) dalam usia 105 tahun.
Sesuai wasiat ia dikebumikan di kompleks pesantren tempat dirinya mengabdikan ilmu.
Beberapa murid dan orang-orang terdekatnya juga dimakamkan di kompleks tersebut.
Makam Syiah Kuala mudah dikenali karena nisannya lebih tinggi dan besar di antara makam-makam di sekitarnya.
Sementara yang menjadi daya tarik wisatawan berkunjung kemari adalah ketakjuban dan kuasa Sang Pencipta pada makam ulama besar ini yang tidak rusak saat bencana gempa dan tsunami Aceh, 26 Desember 2004 silam.