Kemeriahan Perayaan Imlek di Banjarmasin, Kembang Barenteng Khas Banjar Hiasi Kelenteng
Kelenteng itu itu tak hanya dipenuhi warga keturunan Tionghoa yang bersembahyang, namun juga warga lainnya yang berbeda agama dan bukan orang Cina.
Editor: Malvyandie Haryadi
Asap pun mengepul-ngepul, menyeruak menebarkan wangi hio.
Seorang di antara mereka, Lili, tampak menyalakan beberapa batang hio lalu memulai ritual ibadahnya sambil berdoa.
Ia terlihat menggerak-gerakkan kedua tangannya yang memegang hio ke atas dan ke bawah beberapa kali.
Hal itu dilakukannya beberapa kali di depan beberapa altar dewa.
Setelah itu, hio-hio itu ditancapkannya di sebuah guci di altar tersebut.
Usai itu, dia membawa serangkaian uang kertas Cina berwarna kuning yang dibelinya seharga Rp 10 ribu dari pengurus kelenteng ke pagoda di halaman kelenteng.
Dia hendak membakar uang tersebut.
Setelah menyulutkan api ke uang itu, dia menaruhnya ke dalam pagoda lalu berdoa sambil menangkupkan kedua telapak tangannya lalu menggerak-gerakkannya ke atas dan ke bawah beberapa kali sembari berdoa.
“Ini tahun monyet api, harapan saya semuanya berjalan lancar saja. Jangan ada musibah apa pun,” katanya saat ditemui BPost Online.
Dia pun menaruh harapan dalam uang kertas yang dibakarnya itu.
Katanya, di uang kertas itu sudah tertulis berbagai doa dalam Bahasa Cina untuk mereka yang membakarnya.
“Saya nggak mengerti bahasanya, intinya sih doa-doa untuk tahun ini. Harapan saya, dengan membakar uang ini sebagai persembahan ke dewa, semoga segala keinginan saya dikabulkan, sampai ke dewa di kayangan,” demikian harapannya.
Senada dengan warga keturunan Tionghoa lainnya, Mela yang tampak khusyuk beribadah.
Dia berharap dengan melakukan semua ritual ibadah warisan nenek moyangnya ini, dia sekeluarga bakal dihindarkan dari masalah apa pun di tahun monyet api ini.
Di kelenteng ini, tak hanya ornament khas Cina yang memenuhi altarnya saat perayaan Imlek, namun juga ada kembang barenteng khas Banjar.
Rentengan kembang yang terdiri dari melati, kenanga, mawar dan cempaka itu tampak digantung di guci-guci yang ada di hampir semua meja altarnya.
Bunga-bunga itu tampak segar, pertanda baru saja diletakkan.
Aroma wanginya tak terlalu tercium, kalah dengan semerbak wangi hio yang lebih mendominasi.
Walau begitu, pemandangan ini tampak unik karena menandakan sebuah perpaduan budaya peninggalan agama Hindu di masyarakat suku Banjar yang mendiami Kalimantan Selatan yang masih mengakar hingga sekarang dengan budaya Cina yang ada di kota ini.
Pengurus kelenteng ini, Tiono Husin, mengatakan kembang barenteng itu memang sengaja diletakkan di situ karena wanginya.
“Dalam kepercayaan orang Cina, dewa senang dengan yang serbawangi. Makanya ada adat membakar hio yang wangi, dengan harapan melalui asapnya itu, segala doa umat-Nya akan sampai ke kayangan dan dikabulkan,” paparnya.
Soal tradisi membakar uang, katanya, diyakini uang-uang itu akan bisa digunakan orang-orang Cina yang membakarnya saat mereka hidup di surga kelak.
“Kami meyakini itu semacam tabungan untuk biaya hidup di akhirat nanti. Selain itu untuk persembahan saban Imlek ke dewa di kayangan dan Dewa Tanah di bumi,” tuturnya.