Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Mitologi Gerhana Matahari Yang Hidup di Masyarakat Indonesia

Meski tidak akan terungkap kebenarannya, mitos tetap bisa mewarnai, melengkapi dan memperkaya daya pikir

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Mitologi Gerhana Matahari Yang Hidup di Masyarakat Indonesia
Pixabay
Ilustrasi 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Meski tidak akan terungkap kebenarannya, mitos tetap bisa mewarnai, melengkapi dan memperkaya daya pikir manusia Indonesia.

Berbagai Mitos Gerhana Matahari di Masyarakat nusantara. Paling tidak setiap kali terjadi fenomena Gerhana Matahari, kisah mitologi Rau dan Rahu terkenang dalam masyarakat di Sumatera, pada umumnya dan Bangka-Belutung khsususnya.

1. Mitologi Rau dan Rahu

Syahdan, hiduplah raksasa bernama Rau di Pulau Bangka. Sang raksasa ingin mempersunting salah satu dewi di kahyangan sana. Namun hasrat Rau itu ditolak sang Dewi. Dari sana kisah bermula.

Tak terima penolakan itu, Rau berusaha memaksa sang Dewi. Deewa Surya (Matahari) dan Dewa Candra (Bulan) yang tak suka pemaksaan itu mengadukan Rau kepada Dewa Wisnu.

Wisnu akhirnya menghukum Rau. Ia memanah leher sang raksasa hingga terputus dari badan. Kepala Rau jatuh, masuk dalam Telaga Amerta berisikan air suci untuk keabadian para dewa. Ada pun badan Rau seketika mati dan jatuh ke tanah.

Berita Rekomendasi

Penghukuman itu membuat Rau marah. Kepala raksasa yang telah abadi berkat air suci pun terus berusaha mengejar sang Dewi idamannya. “Bulan dan Matahari menjadi tempat persembunyian sang Dewi sehingga Rau selalu berusaha memakan Bulan atau Matahari agar sang Dewi muncul dan terjadilah gerhana,” kata Akhmad Elvian, sejarawan Bangka, beberapa saat lalu (Kompas 17 Februari 2016).

Mitos Rau merupakan pengaruh budaya Hindu yang masuk Pulau Bangka sejak abad ketiga Masehi. Berabad-abad itu pula, “Rau menghantui” warga Bangka. Untuk mengusir sang raksasa, masyarakat biasa membuat keributan dan kegaduhan, memukul bermacam benda.

“Sampai gerhana matahari total 18 Maret 1988 yang melintasi Bangka, orang-orang masih ketakutan. Sebagian orang lari ke hutan, sedangkan sebagian lain bersembunyi di kolong ranjang,” ujar Elvian yang juga Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kota Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung.

Cerita rakyat yang hidup di Pulau Bangka sedikit berbeda dengan cerita aslinya dari India. Menurut Elvian, Rau yang disebut Rahu hendak mencuri resep keabadian para dewa di kolam Tirta Amerta agar ia bisa abadi seperti para dewa.

Mengetahui ulah Rahu, Dewa Surya dan Dewa Candra pun mengadukannya kepada Dewa Wisnu. Ketika itu, Rahu sedang meminum air suci untuk mengubah wujudnya menjadi dewa.

Wisnu yang marah pun menghukum Rahu dengan memenggal kepalanya menggunakan Cakra pusaka miliknya. “Kepala Rahu yang terpenggal masuk ke kolam Tirta Amerta sehingga bertahan hidup dan abadi. Kepala itu mengembara di langit dan selalu mengejar dan memakan Dewa Surya dan Candra,” katanya.

Di Jawa, Rau disebut sebagai Batara Kala. Meski demikian, dalam naskah Jawa Kuno Adiparwa berangka tahun 998 Masehi yang diduga sebagai naskah tertua di Tanah Air yang menceritakan mitologi gerhana, sang raksasa pemakan matahari atau bulan itu tidak bernama. Tidak disebut sebagai Rau, Rahu atau pun Batara Kala.

Dalam Bab VI Adiparwa disebutkan, seorang raksasa yang merupakan anak Sang Wipracitti dan Sang Singhika berubah wujud menjadi dewa dengan meminum air amerta. Sang Hyang Aditya (Dewa Matahari) dan Sang Hyang Candra (Dewa Bulan)yang mendahului ulah raksasa pun mengadukannya kepada Dewa Wisnu.
2. Mitologi Jawa

Dalam mitologi Jawa, Rau disebut sebagai Batara Kala. Meski demikian, dalam naskah Jawa Kuno Adiparwa berangka tahun 998 Masehi yang diduga sebagai naskah tertua di Tanah Air yang menceritakan mitologi gerhana, sang raksasa pemakan matahari atau bulan itu tidak bernama. Tidak disebut sebagai Rau, Rahu, ataupun Batara Kala.

Dalam Bab VI Adiparwa disebutkan, seorang raksasa yang merupakan anak Sang Wipracitti dan Sang Singhika berubah wujud menjadi dewa dengan meminum air amerta. Sang Hyang Aditya (Dewa Matahari) dan Sang Hyang Candra (Dewa Bulan) yang mengetahui ulah sang raksasa pun mengadukannya kepada Dewa Wisnu.

Sewaktu air amerta memasuki kerongkongan raksasa, Dewa Wisnu memenggal lehernya. Badan raksasa yang belum terkena air amerta mati dan jatuh ke tanah, teronggok bagai puncak gunung. Saat tubuh raksasa itu mengempas tanah, terjadilah gempa bumi saking beratnya bangkai badan sang raksasa.

3. Mitologi Bali

Gerhana Matahari Total (GMT) akan terjadi Rabu 9 Maret 2016 lusa. Munculnya fenomena alam langka itu, bertepatan dengan perayaan Nyepi Tahun Cak 1938.

Mengulas mengenai Gerhana Matahari, dalam mitologi pun menguraikan hal tersebut.

Ketua PHDI Provinsi Bali, Gusti Ngurah Sudiana menuturkan, dalam berbagai literasi (bacaan) terutama Adi Parwa menyebut, jika awal mula adanya Gerhana Matahari adalah dengan adanya pembagian Tirta Amerta (Air Suci) yang dibagikan oleh para Dewa.

Dalam pembagian Tirta Amerta itu, para Raksasa mendengar dan ingin mengambil Tirta. Dengan begitu, terjadilah perebutan Tirta antara para dewa dan raksasa.

Perebutan ini tidak dilakukan dengan peperangan antara Dewa dan Raksasa. Melainkan, para Raksasa menyamar menjadi seorang Dewa, saat para Dewa hadir untuk mengambil pembagian Tirta.

Dalam pembagian itu, para Dewa membawa sehelai daun, yang ukurannya hampir sama. Berbeda dengan Raksasa Kalarau, yang membawa Daun berukuran cukup besar untuk mengambil jatah Tirta Amerta.

Tak pelak, dengan apa yang dilakukan oleh Raksasa Kalarau yang menyamar dan membawa daun besar itu, menimbulkan kecurigaan bagi para Dewa.

Dua dewa, yakni Dewa Surya dan Dewa Bulan mencurigai bahwa Dewa yang membawa daun besar bukanlah sebenarnya Dewa.

Atas hal itu, Dewa Surya dan Dewa Bulan melaporkan kejadian itu kepada Dewa Indra. Dewa Indra yang sudah mengetahui kebenaran itu akhirnya memberikan laporan ke Dewa Wisnu.

"Akhirnya, Dewa Indra pun melapor ke Dewa Wisnu. Dewa Wisnu pun mengeluarkan Cakranya dan memenggal kepala Raksasa Kalarau yang terpisah dari badannya," ulasnya, Senin (7/3/2016) kepada Tribun Bali (Tribunnews.com Network).

Gusti Ngurah melanjutkan, usai memenggal kepala dan badan Raksasa Kalarau, kemudian Raksasa Kalarau mengucap sumpah.

Dalam sumpah itu, Raksasa Kalarau menyebut jika pada suatu saat akan memakan Matahari dan Bulan. Dan itulah yang terjadi ketika sumpah Raksasa Kalarau dilakukan, dan cikal bakal kepercayaan Hindu tentang Gerhana Matahari.

"Namun, karena badan dan kepala terpisah, setiap memakan Matahari dan Bulan selalu keluar lagi dari leher Raksasa Kalarau," katanya.

4. Mitologi Di Bumi Borneo

Di bumi Borneo, Masyarakat Dayak percaya, ketika gerhana matahari, Matahari dikuasai Jangkarang Matan Andau, manifestasi dari Hyang Ilahi. Gerhana adalah pertanda dari Jangkarang Matan Andau bagi keberlangsungan hidup manusia pada masa datang.

"Jika gerhana matahari terjadi pagi hari atau subuh, itu pertanda bagi mereka yang berusia muda, mulai dari baru lahir hingga usia dewasa, akan memperoleh terang kehidupan. Pada pagi hari terdapat kesegaran, kesejukan, dan kesehatan," kata Bajik Rubuh Simpei, rohaniwan Hindu Kaharingan, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Kompas 17 Februari 2016).

Selanjutnya, apabila gerhana terjadi siang hari, perlu diwaspadai akan terjadi bencana atau gejolak di kemudian hari. Sifat siang hari yang panas rentan menimbulkan gejolak yang harus diantisipasi pada masa depan. Jika gerhana matahari terjadi sore hari, masyarakat Dayak meyakini pada masa mendatang akan damai, aman, dan penuh berkat.

"Segala tanda dari fenomena alam itu untuk mendorong manusia mawas diri dan berhati-hati menghadapi masa depan," katanya.

Saat terjadi gerhana, puji-pujian pun dihaturkan melalui upacara adat oleh balian (dukun) dengan mendaraskan mantra dan doa dalam bahasa Sangiang atau bahasa leluhur. Ritual itu untuk menjaga keseimbangan alam semesta sekaligus ungkapan syukur kepada Tuhan.

"Yang penting diingat adalah alam telah membantu dan mendampingi manusia, tinggal bagaimana manusia melestarikan dan terus hidup berdampingan dengan alam," ujar Bajik.

Sementara itu, Ketua Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan Kota Palangkaraya Prada mengatakan, saat gerhana matahari tiba, terdapat energi negatif yang harus dihalau manusia. Karena itu, saat gerhana, remaja biasanya keluar rumah sambil menutupi kepalanya dengan wajan agar rambutnya tidak segera beruban.

Selain itu, dibunyikan juga gong, gendang, atau tabuh-tabuhan lain untuk mengusir energi negatif itu.

Budayawan Kalsel, Mukhlis Maman menambahkan mitos soal gerhana matahari tidak dapat dipungkiri masih ada di sebagian masayarakat Kalimantan Selatan.

Julak Larau, panggilan akarabnya mengatakan mitos-mitos terutama masih berlangsung di wilayah hulu sungai, bahkan hingga kini.

Mitos-mitos terutama berkaitan dengan hal-hal buruk dan marabahaya di luar saat gerhana matahari berlangsung.

"Jadi kalau gerhana matahari dulu harus di dalam rumah. Tidak boleh keluar. Mitosnya macam-macam bentuknya. Ada yang menyebut buta kalau melihat langsung, penyakit akan datang, tidak ada udara di alam luar saat gerhana dan masih banyak lagi," ujarnya.

Mitos seperti itu masih ada hingga kini terutama di masyarakat yang masih tingal di pehuluan dan sinkritismenya masih tinggi.

"Terutama di masyarakat yang masih hidup dengan budaya perpaduan antara kaharingan dan Islam yang kuat seperti dI daerah hulu," ujarnya.

Namun demikian, dari kajiannya selama ini munculnya mitosmacam itu sebenarnya memiliki tujuan untuk mengingatkan terutama pada anak kecil akan sejumlah efek negatif melihat gerhana matahari secara langsung.

"Beberapa penelitian menunjukkan melihat gerhana matahari secara langsung dengan mata telanjang memiliki efek tidak baik untuk mata. Sebenarnya mitos tadi muncul di masyarakat tradisional untuk menghindari itu. Secara logika kan begitu," ujarnya.

Beda dengan masyarakat Banjar secara umum dimana nilai religius Islami yang kental seperti di Banjarmasin dan Martapura, gerhana matahari sendiri banyak dimaknai dengan cara religius pula.

"Nah kalau masayarakat Banjar sendiri, lebih banyak mengaitkan gerhana matahari dengan religi islami."

"Dilakukan salat gerhana, berzikir dan sebagainya saat terjadi gerhana matahari. Mitos-mitos sendiri tidak begitu kuat," ujarnya.
Sementara itu, Dosen Fisika FKIP Untan, DR Leo Sutrisno mengungkapkan, pada tahun 1983 di Kalbar juga pernah ada sejumlah mitos saat terjadinya Gerhana Matahari.

Di antaranya, melihat bayangan gerhana di air yang ditempatkan dalam ember.

Bahkan, menurut kisahnya di sejumlah perkampungan juga ada warga yang memukul sejumlah benda, yang diharapkan dengan bunyi-bunyian tersebut, matahari yang ditelan dapat dimuntahkan raksasa atau naga.

"Mitos menurut saya, suatu catatan masa lalu oleh orangtua, bisa jadi peristiwa-peristiwa itu dampaknya memang terjadi di masyarakat," ungkapnya, Selasa (8/9/2016) malam.

Mungkin, lanjutdia, kebetulan pada saat itu, misalkan ada ibu hamil yang keguguruan. Hal itu bisa saja disebabkan karena suasana tiba-tiba gelap, lantas terkejut.

"Tapi karena belum bisa menjelaskan secara rasional, dibuatlah cerita-cerita itu untuk memudahkan menjelaskan saja," pungkasnya.

Dengan begitu, tak jarang warga melarang kaum ibu yang sedang mengandung untuk tidak keluar rumah. (Berbagai Sumber)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas