Percaya atau Tidak, Ini Kisah Mistis yang Ada pada Sulaman Arguci Khas Banjar
Sulaman khas Banjar ini sudah berusia ratusan tahun dan hingga sekarang masih lestari.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Banjarmasin Post, Yayu Fathilal
TRIBUNNEWS.COM, MARTAPURA - Sulaman arguci sudah sangat dikenal di Kalimantan Selatan.
Sulaman khas Banjar ini sudah berusia ratusan tahun dan hingga sekarang masih lestari.
Sulaman ini berbahan kain yang biasanya beludru dan manik-manik yang dirangkai dengan jalinan benang menjelma menjadi gambar-gambar atau tulisan yang indah dan penuh cita rasa seni.
Biasanya arguci dijadikan hiasan dinding, busana pengantin Banjar, dinding pelaminan, dinding ranjang pengantin Banjar hingga busana tradisional Banjar dan Dayak.
Sulaman arguci ini menjadi produk cinderamata andalan Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Perajinnya pun banyak ditemui di kabupaten ini.
Mereka tersebar di beberapa desa seperti Kampung Melayu Tengah, Akar Bagantung, Mawar dan Tambak Hanyar.
Mayoritas perajinnya adalah para remaja putri dan ibu rumah tangga yang tak bekerja di luar rumah.
Sulaman arguci. (Banjarmasin Post/Yayu)
Di sela-sela kegiatan mereka mengasuh anak dan mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, mereka menyulam arguci ini.
Ada yang menerima pesanan ada juga yang membuatnya untuk diri sendiri lantas dijual ke toko-toko.
Seorang perajin dan penjualnya adalah Hajjah Imur yang sudah sejak remaja menjadi perajin arguci.
Perempuan setengah baya ini biasa menjual hasil sulaman argucinya di tokonya di Pasar Batuah lantai dua, Jalan Ahmad Yani, Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Dia tak hanya menyulam arguci untuk dijadikan hiasan dinding, namun juga disulamnya di busana pengantin Banjar dan busana sehari-hari adat Banjar seperti baju nanang dan baju galuh.
Arguci ini dijualnya ratusan ribu per lembar.
Harganya berbeda-beda, misalnya hiasan dinding selebar 3x3 meter Rp 800 ribu, 3x1 1/4 meter Rp 400 ribu, baju nanang galuh dewasa Rp 800 ribu, busana nanang galuh cilik Rp 600 ribu, dan sebagainya.
Sulaman arguci. (Banjarmasin Post/Yayu)
Menurutnya, arguci di masa lalu sering digunakan para raja Kerajaan Banjar sebagai simbol kemewahan kaum bangsawan.
Sulaman arguci dulu kerap ada di baju kebesaran raja-raja Banjar.
Hiasan dindingnya juga berupa sulaman arguci yang kerap menghiasi dinding-dinding istana.
Di masa lalu, arguci juga sering dipakai untuk menghiasi ranjang pengantin Banjar.
Di pelaminan pengantin pun sering dipakai hingga sekarang sehingga menjadikannya sebuah ciri khas tersendiri dalam dekorasi pelaminan tradisional Banjar.
"Dulu, raja-raja Banjar sering memakai baju kebesaran mereka, sulamannya ya pakai arguci. Bajunya sepasang dengan ratunya. Dulu, hanya sering dipakai oleh para bangsawan," tutur warga Desa Kampung Melayu Tengah, Kabupaten Banjar ini.
Motif-motifnya pun beragam dan ada pakemnya, khususnya yang tradisional Banjar seperti kanas atau nenas dan tanaman batang garing.
Anehnya, di balik kemewahan sulaman arguci untuk para raja Kerajaan Banjar di masa lalu, terselip sebuah kisah mistis.
Konon, jika seorang raja Banjar tak memakai busana kebesaran berhias arguci dia akan kesurupan.
"Biasanya kainnya kuning yang memang sudah menjadi ciri khas orang Banjar. Entah benar atau tidak, namun begitulah mitosnya. Kalau mereka nggak pakai baju arguci, bisa kesurupan," terangnya.
Kerajinan arguci juga kerap dijumpai di hiasan-hiasan dinding sekarang ini.
Jika tidak bergambar bunga atau tanaman, biasanya bertulisan kaligrafi Arab yang berisikan ayat-ayat Alquran, dua kalimat syahadat, tulisan Allah dan Muhammad serta doa-doa yang bersumber dari ayat-ayat Alquran.
Membuatnya pun tak mudah dan tak bisa sembarangan.
Mereka kerap mengerjakannya di rumah mereka, biasanya dilakukan oleh para ibu rumah tangga.
Di antaranya adalah di Desa Mawar, Kecamatan Martapura Timur RT 5, Martapura, Kabupaten Banjar.
Karena dianggap suci dan agung, khusus arguci bertulisan ayat-ayat Alquran, perajinnya harus melakukan ritual tertentu sebelum membuatnya.
Hal itu dituturkan oleh perajin arguci lainnya, Ipah yang bermukin di Desa Mawar tersebut.
"Karena isinya ayat-ayat Alquran seperti Ayat Kursi, maka sebelum membuat argucinya kami harus berwudhu dulu," sebutnya.
Selain itu, jika perajinnya perempuan, haruslah dalam keadaan tidak haid.
Kalau sedang haid, mereka diharamkan menyentuh kain arguci apalagi sampai mengerjakan sulamannya.
Tujuannya tak lain adalah untuk menghormati firman-firman Allah yang dilukiskan dalam bentuk motif arguci tersebut.
"Itu kan dari ayat Alquran. Alquran kan dianggap suci dan mulia oleh umat Islam. Kalau tulisannya bukan ayat Alquran tidak perlu berwudhu seperti doa-doa berbahasa Arab, kalimat syahadat, lafaz Allah dan Muhammad. Walaupun lafaz Allah dan Muhammad juga ada di Alquran tetapi kebiasaan jamak di sini tidak perlu berwudhu dan yang haid juga boleh mengerjakan argucinya," sebutnya.
Sebelum diberi payet, arguci bertulisan ayat-ayat tersebut harus dilukis dulu sebagai sketsa awal motifnya.
Agar tak salah, apalagi tulisannya adalah ayat-ayat Alquran, maka mereka harus benar-benar teliti soal harakat dan huruf-hurufnya.
Terlebih lagi, tulisannya bergaya kaligrafi yang tak semua orang Islam bisa menulisnya.
Berbeda halnya dengan para perajin arguci ini, karena itu sudah pekerjaan harian mereka, tangan-tangan mereka sudah sangat terampil menulis kaligrafi Arab di sehelai kain arguci.
"Kalau takut salah biasanya kami meminta bantuan ke kenalan atau keluarga kami yang sekolah di pesantren. Biasanya mereka bisa menulis kaligrafi," paparnya.
Di busana pengantin, biasanya motifnya berbeda lagi.
Biasanya lebih ke simbol-simbol tradisional Banjar seperti naga dan halilipan atau kaki seribu.
Sementara untuk hiasan dinding bisa bermotif kaligrafi Arab bisa juga tumbuhan atau bunga.
Untuk hiasan dinding ini, harganya berkisar ratusan ribu rupiah.
Lama pembuatannya bisa mencapai seminggu, bahkan lebih.
Maklum saja, pengerjaannya masih secara manual.
Untuk manik atau payetnya mereka beli dari pasar-pasar di sekitar Martapura.
Demikian pula dengan kainnya.
Perajin arguci lainnya yang ada di desa ini, Nurliani, mengatakan kain arguci haruslah beludru karena tebal dan mudah disulami payet-payet sehingga arguci akan tampak lebih bagus.
Bahkan, busana raja Banjar di masa lalu biasanya berbahan beludru juga bersulam arguci.
Namun seiring dengan perkembangannya sekarang, banyak juga arguci beralas kain lain selain beludru, yaitu kinu yang permukaannya licin, lebih tipis serta ringan daripada beludru.
Sulaman arguci ini sekarang kerap juga dijumpai di perabotan rumah tangga seperti tempat tisu, bantal sofa, taplak meja, dan sebagainya.
Untuk motif argucinya tentu saja tidak berupa ayat-ayat Alquran atau lafaz Allah dan Muhammad, tetapi lebih kepada gambar bunga atau tanaman yang merupakan motif pakemnya. (Yayu Fathilal)