Benteng None yang Misterius di NTT, Kurang Diminati Wisatawan Lokal Tapi Disukai Turis Asing
Benteng None di Kabupaten Timor Tengah Selatan ini kurang diminati wisatawan lokal tapi disukai turis asing.
Editor: Agung Budi Santoso
Laporan Wartawan Pos Kupang, Jumal Hauteas
TRIBUNNEWS.COM, KUPANG -- Sekitar sembilan belas kilo meter arah timur Kota SoE, ibukota Kabupaten Timor
Tengah Selatan (TTS), kita akan menemukan sebuah plang penunjuk arah ke salah satu objek wisata budaya di Kabupaten TTS yakni Benteng None.
Letak benteng Raja Amanuban pada zaman kerajaan ratusan tahun silam ini sekitar satu kilo meter dari jalan trans Timor.
Namun karena ruas jalan masuk tersebut masih berbentuk jalan tanah, sehingga bagi pengunjung yang ingin mengunjungi dan mendapatkan informasi mengenai sejarah benteng tersebut harus berhati-hati saat menggunakan kendaraan sepeda motor maupun mobil untuk masuk ke lokasi benteng yang hingga kini masih dijaga dan dipelihara oleh para panglima perang raja amanuban.
Walau terkesan tak terabaikan oleh pemerintah daerah Kabupaten TTS saat ini, Benteng None ternyata sudah dikenal luas oleh masyarakat internasional, sehingga dalam buku tamu yang disediakan penjaga dan pemelihara benteng tersebut dengan jelas tercatat nama-nama pengunjung yang berasal dari mancanegara, diantaranya Swedia, Jepang, Taiwan, Inggris, Belanda, Korea, Filipina, Amerika, Singapura, Denmark, Hongaria, Australia, Italia, India, Uruguay, Swissland, Brasil, Cekoslowakia dan sejumlah negara lainnya.
Salah satu penjaga Benteng None, Nehemia Selan (Pos Kupang/ Jumal Hauteas)
Sedangkan dari wisatawan domestik, benteng ini juga sudah banyak dikunjungi oleh wisatawan domestik yang berasal dari Jakarta, Sulawesi, Bali, dan sejumlah daerah lainnya.
Benteng dengan ukuran 80 x 44 meter yang terbentuk secara alamiah dengan dikelilingi tebing batu ini berlokasi di wilayah RT/RW 24/06 Dusun C, Desa Tetaf, Kecamatan Kuatnana ini menurut penjaga dan pemeliharanya, Anderias Tauho dan Nehemia Selan yang ditemui Pos Kupang di lokasi benteng tersebut, Sabtu (9/4/2016) sudah berusia ratusan tahun.
Namun tidak diketahui secara persis tahun berapa lokasi ini dijadikan benteng. Tetapi pastinya benteng ini sudah dijaga dan dipelihara oleh sembilan generasi.
"Kami tidak tahu benteng ini ada sejak tahun berapa, tetapi sudah sembilan generasi yang jaga dan sudah hampir masuk 10 generasi," jelas Tauho dan Selan.
Mengenai kekhususan dari benteng ini sendiri, menurut Tauho dan Selan benteng ini berada di lokasi yang sangat strategis, karena merupakan bukit batu sehingga hanya terdapat satu jalan masuk ke lokasi benteng ini yakni dari arah selatan.
Sedangkan dari arah timur, barat, dan utara tidak bisa ditembusi oleh musuh karena merupakan tebing batu.
Tauho menuturkan, dibenteng ini sendiri terdapat tiga ritual adat yang harus dilaksanakan sebelum menyatakan perang terhadap musuh yakni pene (pengamatan), ote naus (mengukur kekuatan dan melakukan ramalan hasil perang), dan bol nu'ut (lubang intip).
Dimana untuk memulai perang, semua penglima perang atau dalam bahasa lokal disebut meo harus berdiskusi dan melakukan pengamatan guna melihat dari arah mana kedatangan musuh.
"Jadi memang sebelum keluar untuk berperang, semua harus kumpul dan bersepakat, kemudian melakukan pengamatan supaya mengetahui musuh datang dari arah timur, barat, utara, atau selatan," jelas Tauho.