Semerbak Magis Ritual Pemanggilan Roh di Tengah Tradisi Piduduk Suku Dayak Kalsel
Semerbak magis ritual pemanggilan roh di tengah tradisi Piduduk Suku Dayak Kalsel.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM, BANJARMASIN- UPTD Taman Budaya Kalimantan Selatan pada Jumat (29/4/2016) malam menggelar Pergelaran Tari Spirit of Balian dalam rangka memperingati Hari Tari Sedunia di Gedung Kesenian Balairung Sari, Jalan Brigjen H Hasan Basri, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Acara itu menampilkan tiga tari, yaitu dua tari kreasi dan satu tari tradisional.
Uniknya, semuanya bernuansa tradisional Dayak, lebih khususnya lagi bertema balian.
Balian dalam tradisi suku Dayak di Kalimantan adalah seseorang yang dipercaya bisa menyembuhkan penyakit, atau kata lainnya adalah tabib atau dukun.
Seorang balian saat beraksi biasanya diiringi tradisi-tradisi khusus warisan nenek moyang mereka.
Nah, di acara ini, ada satu penampil yang menarik karena semuanya adalah orang Dayak asli, yaitu Dayak Ma’anyan dari Desa Warukin, Kecamatan Tatah, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.
Mereka bergabung dalam Sanggar Seni Bamelum, menampilkan tari tradisional suku mereka, yaitu Iruang Wundrung.
Sementara dua penampil lainnya bukan orang Dayak asli.
Sebelum tampil, mereka melakukan ritual adat membuat sesaji untuk memanggil arwah nenek moyang mereka.
Sesaji atau sesajennya disebut piduduk.
Dalam adat Dayak Ma’anyan, piduduk yang lengkap biasanya berupa beras, talam, sasangga, mangkuk, piring, gula, nyiur, sumbu dan benang lawai atau benang yang biasanya dipakai untuk menyulam.
Piduduk lengkap ini hanya boleh digunakan saat pelaksanaan ritual adat.
“Kalau untuk persembahan tari untuk sekadar hiburan tidak boleh lengkap, hanya boleh sebagian saja,” ungkap Tokoh Adat Dayak Ma’anyan Kalimantan Selatan, Andreas Bujje saat ditemui di Taman Budaya Kalsel.
Penggunaan piduduk saat ritual adat biasanya dipimpin seorang balian.
Biasanya ritual adat itu diselenggarakan saat orang Dayak memiliki hajat tertentu misalnya untuk pengobatan atau memenuhi nazar jika hajatnya terkabul.
Persyaratan piduduk harus lengkap, jika tidak diyakini akan ada yang kesurupan, pingsan atau kecelakaan.
Biasanya yang kesurupan atau pingsan adalah salah satu anggota keluarga pemilik hajat, pemilik hajatnya atau bahkan baliannya.
Saat menyiapkan piduduk, balian dibantu oleh asistennya yang disebut panganak hiyang.
“Saat membuat piduduk tak ada ritual khusus. Yang jelas harus lengkap persyaratannya kalau mau melakukan ritual adat,” paparnya.
Piduduk akan dimantrai saat ritual tarian adat digelar yang dilakukan oleh balian.
Kalau persyaratan piduduk kurang, biasanya balian akan tiba-tiba lupa mantra-mantranya sehingga ritual tidak bisa dilakukan kecuali jika persyaratan yang kurang sudah dilengkapi.
Seorang Balian Dayak Ma’anyan yang turut tampil malam itu, Inderman alias Unceh, menambahkan kalau mantra-mantra yang diucapkan dalam ritual adat tersebut tidak menggunakan Bahasa Dayak Ma’anyan melainkan Bahasa Dayak Bawu.
Itu sudah aturan baku dalam adat mereka yang diwariskan secara turun temurun.
Menjadi seorang balian pun biasanya dilakukan turun temurun dalam keluarga, artinya tak sembarang orang Dayak bisa menjadi balian.
Dan uniknya lagi, dia tak bisa merapalkan mantra-mantranya jika tidak sedang melakukan ritual.
Perlengkapan panggil arwah dalam tradisi Piduduk Suku Dayak di Kalsel. (BANJARMASIN POST/ YAYU FATHILAL)
“Kalau untuk sehari-hari kami berbicara Bahasa Dayak Ma’anyan, tetapi kalau sedang bamamang (merapalkan mantra) memakai Bahasa Bawu,” ungkapnya.
Lantas, apa saja isi dari mamang atau mantra tersebut?
“Isinya doa-doa untuk si pemilik hajat. Biasanya, dalam ritual adatnya balian membunyikan alat semacam peluit. Bunyi peluit itu dan keharusan memakai piduduk untuk memanggil roh-roh nenek moyang supaya ikut hadir di acara ritual. Makanya, kalau acara atau piduduk tak sesuai aturan biasanya akan ada yang kesurupan,” jelasnya.
Prosesi bamamang, piduduk dan meniup peluit itu ditampilkan dalam persembahan mereka kali ini.
Prosesi bamamang di ritual adat biasanya selama tiga jam nonstop, sedangkan untuk hiburan saja cukup 15 menit.
Dia juga pernah mengalami hal serupa saat berlatih tari Iruang Wundrung tersebut sebelum tampil di Banjarmasin.
Kala itu dia memakai piduduk lengkap, tiba-tiba saja dia setengah kesurupan.
“Kalau di adat kami, diyakini penyebabnya karena piduduknya yang lengkap. Kalau untuk sekadar penampilan tari buat hiburan kan tak boleh yang lengkap. Yang lengkap hanya untuk ritual adat,” paparnya.
Sekilas tentang tari Iruang Wundrung, merupakan tari adat Dayak Ma’anyan.
Iruang dalam Bahasa Dayak Ma’anyan daerah Barito berarti membatasi atau membuat suatu tempat pada sebuah ruang yang sama.
Tari ini merupakan perpaduan dari tari Wadian Bawo yang berarti dukun lelaki sakti, Wadian Dadas yang berarti dukun perempuan sakti dan Balian Bulat yang berarti balian yang bisa melipat-lipat anggota badannya.
Ketiga unsur tersebut menyatukan kekuatan magis guna mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa (Hiyang Piumbung Jaya Pakuluwi) setelah berhasil mendapatkan sebuah kesuksesan sekaligus menjaganya dari roh-roh jahat.
Ke depannya, selama 2016 ini, UPTD Taman Budaya Kalimantan Selatan masih akan menggelar banyak lagi agenda kesenian dan kebudayaan.
Di antaranya adalah Diskusi Budaya pada 19 Mei 2016 dan Pergelaran Sastra pada 27 Mei 2016 nanti.
“Setelah itu masih banyak lagi hingga akhir 2016 nanti,” ucap Kepala Seksi Pengembangan dan Pergelaran UPTD Taman Budaya Kalimantan Selatan, Syahriani. (Yayu Fathilal)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.