Mencicipi Kelezatan Sate Klatak Pak Bari, Cikal Bakal Sate Klatak di Bantul
Sate pak Bari yang terletak di Pasar Jejeran, Wonokromo, Pleret, Bantul ini sangat legendaris dan dapat dikatakan sebagai cikal bakal sate klatak.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, BANTUL - Sate merupakan salah satu makanan khas Indonesia.
Makanan berbahan daging yang dipotong kecil-kecil lalu ditusuk dengan lidi dan dibakar ini memiliki berbagai varian.
Jika Anda ingin merasakan salah satu varian sate datanglah ke Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.
Kompas.com
Nama sate asal Bantul tersebut adalah Sate Klatak.
Di sepanjang jalan tepatnya di Jalan Imogiri Timur, Anda akan menjumpai banyak warung-warung di pinggir jalan yang menyajikan menu sate klatak.
Namun, salah satu yang patut Anda coba adalah Sate Klatak Pak Bari.
Sate pak Bari yang terletak di Pasar Jejeran, Wonokromo, Pleret, Bantul ini sangat legendaris dan dapat dikatakan sebagai cikal bakal sate klatak di Imogiri Bantul.
"Aku ini generasi ketiga. Yang pertama adalah nenek ku, Mbah Ambyah," ujar Subari (38) pemilik Sate Klatak Pak Bari saat ditemuiKompasTravel, Minggu (29/5/2016).
Subari menuturkan, Mbah Ambyah sudah berjualan sate sejak lama, sebelum kemerdekaan.
Saat itu, sang nenek berjualan sate dengan berjalan kaki memikul krombong dan berkeliling. "Sebelum tahun 1945 sudah berjualan sate. Awalnya keliling tapi terus di bawah pohon Waru yang sekarang jadi Pasar Jejeran itu," ujar Subari.
Dia melanjutkan, sate yang dijual oleh neneknya menggunakan daging kambing. Berbeda dengan sate lainnya, sate Mbah Ambyah hanya menggunakan bumbu garam.
"Kalau aku bilang namanya sate ndeso(desa), hanya daging kambing dibumbu garam," urainya.
Sepeninggal Mbah Ambyah, usaha sate diteruskan oleh Wakidi, ayah Subari.
Berbeda dengan sang nenek yang berjualan di bawah pohon Waru, ayahnya mencoba menjajakan dagangannya dengan menyewa ruko.
"Pindah-pindah ruko. Soalnya pembelinya banyak, terus saat akan perpanjang kontrak, oleh pemiliknya tidak boleh," kata Subari.
Lelah mencari ruko, akhirnya sang ayah memutuskan untuk kembali berjualan sate dengan menggunakan lokasi yang dulu digunakan oleh Mbah Ambyah.
Namun, karena sudah dibangun pasar, maka Ayahnya menyewa los (kapling pasar) untuk berjualan.
"Aku setiap hari membantu jualan, sejak mulai umur 15 tahun," katanya.
Dari membantu itulah, perlahan-lahan sang ayah menurunkan ilmu resep warisan mengolah sate kepada Subari.
Mulai dari memilih kambing untuk bahan sate sampai dengan cara membakarnya.
"Kambingnya tidak boleh asal pilih, muda antara umur 8 bulan sampai 9 bulan. Harus gemuk, karena yang gemuk tidak banyak berotot," tuturnya.
Baru tahun 1992, usaha sate diteruskan oleh Subari. Meski tetap mempertahankan resep warisan namun ia mengubah nama dengan sebutan Sate Klatak.
Ide ini, lanjut Subari, awal mulanya di sela-sela membantu berjualan sate, dirinya sering mencari biji melinjo untuk dijual.
Uang hasil menjual mlinjo itu digunakannya untuk tambahan uang saku sekolah.
Suatu ketika, Subari menempelkan biji melinjo di daging sate kambing yang dibakarnya.
Daging melinjo di Imogiri sering disebut klatak. Dari situlah ia mulai menamai sate klatak.
"Ya aku tempelkan saja, tidak ada rasanya. Dari situ namanya jadi sate klatak," bebernya.
Nama itu pun akhirnya menjadi magnet bagi para pembeli.
Mereka berbondong-bondong datang ke Pasar Jejeran karena penasaran dengan rasa sate klatak.
"Awalnya penasaran apa sih sate klatak itu. Setelah mencoba, cocok dan ketagihan untuk kembali lagi," ujar Subari.
Tak hanya warga Bantul, orang-orang dari luar daerah pun menjadi langganan tetap sate pak Bari. Bahkan, artis-artis nasional, budayawan, seniman sampai pejabat sering datang untuk menikmati sate klatak pak Bari.
Kompas.com/Wijaya Kusuma