Selain di Jakarta, Ini Opsi Kelenteng Bodetabek yang Bisa Dikunjungi Saat Imlek
Tak hanya masyarakat Tionghoa saja, masyarakat umum juga kerap mengunjungi kelenteng-kelenteng tersebut untuk merasakan suasana imlek.
Editor: Content Writer
Menjelang perayaan Imlek, masyarakat Tionghoa kerap berdoa di Kelenteng atau Wihara di sekitar tempat tinggal mereka.
Tak hanya masyarakat Tionghoa saja, masyarakat umum juga kerap mengunjungi kelenteng-kelenteng tersebut untuk merasakan suasana kemeriahan perayaan Imlek hingga Cap Go Meh.
Selain banyak kelenteng yang terkenal di daerah Jakarta, ternyata ada juga lho kelenteng-kelenteng ikonik di kawasan sekitar Jakarta yang bisa kamu kunjungi.
Kelenteng Pan Kho Bio, Kelenteng Tertua di Bogor
Kelenteng Pan Kho Bio menjadi tempat ibadah umat Tioghoa tertua di Bogor. Berlokasi di Pulo Geulis, kelenteng ini sudah berdiri sejak zaman Kerajaan Pajajaran, tepatnya pada tahun 1703 dan menjadi kelenteng pertama di Kota Bogor.
Konon katanya, kelenteng yang memiliki nama lengkap Vihara Maha brahma, Pan Kho Bio ini dibangun di Pulo Geulis karena dipercaya sebagai tempat peristirahatan bagi keluarga kerajaan Pajajaran.
Uniknya, tidak hanya umat Tionghoa yang beribadah di kelenteng ini. Ada sebuah mushola bercat hijau di bagian belakang altar kelenteng masih digunakan untuk beribadah oleh umat muslim dan sering digunakan untuk pengajian.
Masing-masing umat beragama pun menjalani ibadah mereka tanpa menganggangu satu sama lainnya. Keren ya!
Klenteng Bio Kanti Sara di Tangerang Selatan
Klenteng Bio Kanti Sara berlokasi di Kelurahan Bakti Jaya, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan dan sudah berdiri sejak 1711 masehi.
Kelenteng ini memiliki perpaduan nilai religi dan budaya pada bangunannya. Latar budaya Betawi, Sunda, dan Tionghoa melebur menjadi satu sehingga memberi daya tarik tersendiri.
Dengan kekayaan ornamen pada bangunannya, kelenteng ini juga menjadi salah satu kelenteng tertua di kawasan Tangerang.
Secara turun menurun, kelenteng ini diurus oleh keturunan Tionghoa asli dan telah mengalami renovasi 15 kali. Bahkan, kelenteng ini juga pernah didokumentasikan dalam sebuah film feature documenter yang berjudul “Naga Yang Berjalan di Atas Air”.
Kelenteng ini dapat menjadi salah satu tujuan jika kamu ingin merasa kemeriahan Imlek di wilayah Tangerang Selatan.
Klenteng Hok Lay Kiong yang Tertua di Bekasi
Kelenteng yang disebut-sebut sebagai kelenteng tertua di Bekasi ini beralamat di Jalan kenari, Bekasi Timur, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Dilansir dari Kompas.com, kelenteng yang digunakan sebagai tempat peribadatan pemeluk agama Konghucu ini diperkirakan berusia lebih dari 300 tahun. Namun, Ketua Yayasan kelenteng Hok Lay Kiong, Ronny Hermawan mengatakan tidak mengetahui secara pasti soal umur kelenteng tersebut.
Kelenteng Hok Lay Kiong sendiri memiliki arti istana yang mendatangkan rezeki. Tempat ini dipercaya bisa mendatangkan rezeki bagi siapa saja yang berkunjung
Biasanya dua minggu setelah perayaan Imlek, aka nada Cap Go Meh. Biasanya aka nada pawai rakyat dan masyarakat umum dapat menyaksikannya secara gratis.
Wihara Gayatri yang Punya 7 sumur Berkhasiat
Wihara Gayatri, menjadi salah satu tempat yang banyak disambangi masyarakat Tionghoa terutama warga Depok ketika perayaan Imlek. Wihara ini memiliki 7 sumur yang dipercaya memiliki khasiat masing-masing dan berlokasi di Cilangkap, Tapos, Depok, Jawa Barat
Ketujuh sumur itu memiliki nama dan khasiatnya masing-masing, yaitu Sumur Sri Ningsih untuk menerangkan lahir batin, Sri Waras untuk sehat dan sentosa, lalu sumur Sri Lungguh untuk kedudukan Derajat. Kemudian Sumur Sri Kunaratih Kumadjaya untuk cari jodoh, Sri Rezeki untuk usaha cari rezeki, Dewi Sri Mulyasari untuk pengobatan, dan Sri Pontjo Warno untuk menolak malapetaka.
Tradisi mandi di tujuh sumur ini sebagai simbol pembersihan diri dan mengharap rezeki di tahun yang baru. Selepas itu, pengunjung dapat berdoa dan juga melemparkan uang koin dengan harapan doanya dapat terkabul.
Melihat keunikan kelenteng-kelenteng di atas, tentu sangat sayang jika kamu tak mengunjunginya ketika Imlek nanti bukan?
Penulis: Nurfina Fitri Melina