Mengenal Buaian Kaliang, Permainan Tradisional Ala Bianglala Kegemaran Warga Pariaman
Permainan buaian adalah wahana semacam ayunan menyerupai bianglala mini yang terbuat dari kayu yang terdapat di Kota Pariaman, Sumatera Barat.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, PARIAMAN - Sumatera Barat memiliki banyak permainan tradisional yang hingga saat ini masih terus dilestarikan masyarakat. Satu diantaranya adalah wahana permainan buaian kaliang.
Permainan buaian kaliang adalah wahana semacam ayunan menyerupai bianglala mini yang terbuat dari kayu.
Dinas Pariwisata Kota Pariaman saat ini masih mengizinkan wahana permainan ini beroperasi meski sedikit berisiko bagi keselamatan penggunanya.
Salah satunya seperti buaian kaliang yang beroperasi di Pantai Gandoriah saat berlangsung festival pantai, khususnya saat libur Lebaran seperti sekarang.
Wahana ini juga bisa dijumpai di acara perayaan hoyak tabuik yang berlangsung setiap tanggal 10 Muharram tahun penanggalan Hijriah.
Harus diakui, keberadaan permainan tradisional ini kian berkurang tiap tahunnya. Tahun ini hanya ada delapan unit buaian kaliang di Pantai Gandoriah.
Buaian kaliang milik Rustam asal Kampung Balacan adalah salah satu yang masih bertahan.
Rustam punya tiga unit buaian kaliang. Ia sudah menjalani usaha ini sejak 18 tahun lalu. Butuh 6-7 pria dewasa agar bianglala yang terbuat dari kayu ini bisa berputar kencang.
Sekali jalan, kurang lebih selama 3-4 menit, pengunjung hanya merogoh kocek seharga segelas es tebu.
Wahana bermain ini lebih menyerupai kincir. Di tiap-tiap ujungnya dipasang tempat duduk menyerupai keranjang yang bisa muat untuk lima atau enam orang. Mereka duduk saling berhadap-hadapan seperti duduk di angkot yang penuh sesak.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat G-Swing Wahana Ekstrim Satu-satunya Di Canggu Bali
Buaian kaliang terbuat dari kayu ikia atau kayu ulin yang terkenal dengan ketahanannya. Sebagian orang juga menyebutnya dengan kayu besi.
Rustam mengatakan pada 1990-an jumlah buaian kaliang di Pantai Gandoriah cukup banyak. Pemiliknya berasal dari berbagai daerah di Sumatra Barat, bahkan ada yang dari Curup, Mandailing Natal hingga Padang Sidempuan.
Isal, 53 tahun, merupakan salah seorang operator buaian kaliang yang bekerja dengan Rustam.
Baca juga: Wisata Populer di Jakarta Ini Bisa Jadi Alternatif Libur Lebaran dengan Spot Foto Bernuansa Jepang
Meski usianya tak lagi muda, ia masih gesit mengerahkan tenaga untuk memutar bianglala ini.
Isal mengatakan buaian kaliang dulunya diperkenalkan oleh orang keling atau India di Pariaman.
"Makanya dinamakan buaian kaliang karena dulu orang-orang keling banyak menjalankan usaha ini," katanya, Minggu (23/4/2023).
Mestika Zed dalam buku Kota Padang Tempoe Doeloe, mencatat persinggungan bangsa India dengan beberapa kota pelabuhan di pantai barat Sumatra sudah terjadi sejak abad ke-9 Masehi.
Ketika itu orang India sudah melakukan kontak dagang di beberapa kota pelabuhan di sepanjang pantai barat Sumatra, seperti Padang dan Pariaman.
Baca juga: Restoran di Hungaria Patok Tarif Rp 2,2 Juta Per Orang, Tawarkan Sensasi Makan Malam di Bianglala
"Gelombang kedua kedatangan orang-orang India, yaitu orang Keling atau Tamil dari daerah Coromandel, India Selatan. Kebanyakan orang India Keling ini merupakan pedagang rempah-rempah dan kain dari negeri asalnya meskipun jumlah mereka tidak banyak," ujar Mestika Zed.
Persamaan agama Islam membuat orang-orang India ini cepat berbaur dan kemudian mendirikan pemukiman di Padang. Pemukiman tersebut kini dikenal dengan Kampung Keling, di Kelurahan Pasa Gadang yang masih dihuni oleh keturunan orang India.
Masjid Muhammadan yang diperkirakan didirikan pada dekade kedua abad 18, dengan arsitektur khas India, masih berdiri kokoh hingga kini di Pasa Gadang. Selain itu juga ada tradisi serak gulo yang dihelat saban tahun.
Sedangkan di Kota Pariaman, kawasan yang dihuni komunitas keturunan India saat ini berada di bilangan Pasir Lohong, Kecamatan Pariaman Tengah. Kawasan ini juga dinamai Kampung Keling.
Akan tetapi tak ada lagi bukti sejarah seperti bangunan khas atau tradisi terkait kebudayaan India di Pariaman selain wahana bermain buaian kaliang.
Siti Ramlah, 78 tahun, mengatakan ketika ia remaja, buaian kaliang di Pariaman masih dijalankan oleh orang keling atau keturunan India.
Ketika itu, kata Ramlah, buayan kaliang kerap dijumpai di pasar malam. Pada 1980-an, sarana hiburan ini mulai rutin diadakan setiap tahun, seiring penataan kawasan Pasar Pariaman dan Pantai Gandoriah menjadi objek wisata.
Laporan reporter Nandito Putra | Sumber: Tribun Padang