Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pak Ustad Terserat Korupsi
menambah panasnya suhu politik di Indonesia.
Editor: Rachmat Hidayat
Pilihan kepada agamawan sebagai corong gerakan antikorupsi menunjukkan bahwa agama sejatinya tidak hanya mengurusi persoalan peribadatan saja, tetapi lebih dari itu, ia berfungsi sebagai kekuatan maha dahsyat untuk memerangi korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan. Melakukan korupsi berarti mengkhianati ajaran agama serta mendekatkan api neraka ke tubuhnya.
Menurut ulama NU, korupsi merupakan pengkhianatan berat terhadap amanat rakyat. Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, keharaman korupsi melebihi dari tindakan pencurian (sariqah) dan perampokan (nahb). Korupsi dalam berbagai bentuknya misalnya suap (risywah), mark up (khiyanat), penggelapan (ghulul) dan pemerasan (muksu) adalah penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang demi menguntungkan diri dan kelompoknya serta merugikan negara dan rakyat banyak.
Hukumannya adalah ta’zir sesuai dengan berat ringannya kerusakan yang ditimbulkan dan bisa diperberat sampai hukuman mati. Bangunan fikih diatas menjadi landasan kuat bagi ulama NU untuk melakukan gerakan antikorupsi.
Fungsi kontrol sosial dari para agamawan untuk mencegah korupsi dilakukan dengan terus menerus mencermati kebijakan publik terutama melewati anggarannya, karena dari situlah sumber utama penyelewengan bermula.
Kontrol kebijakan paling vital ini demi menghindarkan pejabat publik dari penyalahgunaan untuk hal-hal yang merugikan rakyat dan melawan tuntutan keadilan.
Posisi PKS jelas menjadi rawan dan tidak aman, karena LHI adalah Presiden Partai. Suap sebesar Rp 40 miliar yang dibayarkan secara cicil itu akan terjadi di Kementerian Pertanian yang dijabat kader PKS Suswono. Masyarakat mudah menyimpulkan hal yang negatif.
Sebagai partai kader dengan citra “Bersih dan Peduli”, penangkapan Sang Presiden Partai akan meruntuhkan kepercayaan kader dan konstituennya serta masyarakat luas.
Dengan kursi DPR 10 % (57 kursi) dan menempatkan 3 wakilnya sebagai menteri dalam Kabinet Bersatu 2009-2014 (Mentan Suswono, Menkominfo Tifatul Sembiring, dan Mensos Salim Segaf Al-Jufri, serta Ani Matta, Wakil Ketua DPR 2009-2014) PKS akan kesulitan dalam pemilu 2014.
Bukan hanya PKS yang menurut Survei Charta Politika (8-22 Juli 2012) elektabilitas PKS di posisi keenam hanya mendapat pesepsi 3,9% Partai politik Islam lainpun diprediksi akan tergusur dari pusaran politik nasional pada 2014.
Kemungkinan pergeseran peta politik ini hasil jajak pendapat jika pemilu dilakukan awal Oktober 2012. Merujuk survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network, tak satu pun partai berbasis massa Islam masuk zona aman.
Justru ranking lima besar dimonopoli partai yang tidak memiliki konstituen tradisional Islam, yaitu Golkar, PDI Perjuangan, Demokrat, Nasdem, dan Gerindra (Fajar Riza Ul Haq, kompas.com).
Kegelisahan saya terletak pada politisasi agama. Di mana agama hanya dijadikan “komoditas” yang dijual untuk kepentingan syahwat kekuasaan dan kesenangan dunyawiyah.
Seharusnya, Dalam gerak perjuangan kader partai yang berbasis islam, seharusnya menjadikan politik sebagai ikhtiar dalam menyusun strategi kebudayaan yang adiluhung menuju sebuah tatanan masyarakat yang cerdas, berdaya saing, terbuka dan berkeadilan.
Dalam konteks Indonesia para politisi santri ini seharusnya mengusung gagasan strategis yaitu Mempertemukan sejumlah pemikiran kritis yang emasipatoris, eksploratif dan liberatif. Merekonstruksi nilai keberagamaan dan keberimanan dalam konteks yang lebih luas dan majemuk.