Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
RUU Ormas dan Proknastinasti
Rapat Paripurna DPR-RI pada 25 Juni 2013 belum sepakat untuk mengesahkan RUU Ormas menjadi UU
Kelompok yang menolak pengesahan RUU Ormas menurut penulis adalah kelompok yang asal waton suloyo (asal beda atau asal bunyi), karena rasionalisasi atas argumentasi penolakannya sangat lemah. Jika RUU Ormas dikatakan menabrak Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan berorganisasi, maka sebelum mengarah ke konklusi tersebut maka ada pertanyaan mendasar yang perlu dijawab oleh kelompok penolak RUU Ormas yaitu “pihak mana yang diberikan wewenang dan legitimasi oleh rakyat untuk mengatur agar pelaksanaan Pasal 28 UUD 1945 berjalan dengan baik, dan tidak merugikan hak dan kewajiban orang lainnya?”.
Jawabannya pasti jelas yaitu negara atau pemerintah yang sah hasil Pemilu.
Di negara manapun, kebebasan tetap harus “diatur” agar tumbuh menjadi kebebasan yang ramah, bertanggungjawab dan dewasa. Indonesia menurut penulis dalam mengatur kebebasan warganya masih cenderung lebih moderat dibandingkan negara-negara lainnya seperti misalnya Malaysia yang mempunyai Internal Security Act (ISA), Amerika Serikat yang membolehkan CIA menyadap kebebasan warganya ataupun New Zealand yang memiliki banyak UU terkait dengan intelijen dan keamanan nasional.
Sementara itu, penolakan RUU Ormas yang mempersoalkan jumlah pasal sebenarnya juga sangat dangkal, karena secara logika rasional jelas perkembangan lingkungan strategis (lingstra) global, regional dan nasional pada situasi dan kondisi UU No 8 Tahun 1985 dibuat dengan situasi dan kondisi saat ini dikaitkan dengan perkembangan lingstra di saat RUU Ormas dibuat jelas sangat berbeda bagaikan “bumi dengan langit”.
Sehingga wajar jika RUU Ormas memuat lebih banyak pasal dibandingkan UU No 8 Tahun 1985, karena sejatinya pasal dalam sebuah UU merupakan merepresentasi atau pengejawantahan dari aspek meminimalisir ancaman terhadap kepentingan nasional atau percepatan gerakan dinamika persoalan itu sendiri.
Pasal 61 RUU Ormas sudah jelas urgensinya, publik sudah pasti tidak menginginkan kehadiran ormas di era reformasi saat ini menjadi “distributor anarkisme”, sedangkan Pasal 16 soal pendaftaran ormas sejatinya dilandasi oleh semangat bukan untuk mengontrol ormas, melainkan dalam rangka pembinaan (jika penolak RUU Ormas menganalisanya secara obyektif bukan berdasarkan kepentingan politik praktis, maka akan mudah memahaminya). Last but not least, kehadiran RUU Ormas sebenarnya merupakan upaya kita bersama untuk menghindari terjadinya proknastinasti (policy of doing nothing) atau kebijakan tanpa berbuat apa-apa atau nihilisasi peran negara yang itu sangat berbahaya bagi konsolidasi demokrasi kita.
*)Penulis adalah alumnus pasca sarjana Kajian Intelijen Strategik, Universitas Indonesia dan Dosen STIN. Tinggal di Jakarta.