Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Perbedaan Kudeta di Mesir dan Indonesia
Setelah kudeta, otoritas Mesir menahan pejabat tingkat dua Ikhwanul Muslimin yang dekat dengan Muhammad Mursi
Oleh Toni Ervianto
TRIBUNNEWS.COM - Kudeta militer akhirnya terjadi di Mesir pada 3 Juli 2013 setelah berakhirnya ultimatum yang diumumkan militer untuk presiden Mursi untuk menyelesaikan krisis politik Mesir.
Presiden, bersama seluruh rombongan seniornya antara lain Amir Ikhwanul Muslimin Mohammad Badie dan wakil Muris, Khairat al-Shater, dilarang meninggalkan Mesir, ujar penasehat keamanan nasional, Essam el-Haddad, seperti dilansir Reuters.
Setelah kudeta, otoritas Mesir menahan pejabat tingkat dua Ikhwanul Muslimin yang dekat dengan Muhammad Mursi, antara lain Kepala Partai Kebebasan dan Keadilan, Saad al-Katatmi yang merupakan sayap politik Ikhwanul Muslimin, dan wakil gerakan Islamis, Rashad Bayoumi dipenjara.
Disamping itu, berdasarkan laporan media massa setempat, Al-Ahram dan Al-Arabiya, sebanyak 300 anggota Ikhwanul Muslimin ditangkap.
Kudeta tersebut menghasilkan “outcome” berupa kurang lebih 35 orang tewas, ratusan terluka dan ribuan menjadi pengungsi ke beberapa negara di sekitar Mesir.
Beberapa waktu sebelum kejatuhannya, Mursi menyerukan sebuah pemerintahan koalisi untuk mengatasi krisis politik. Sementara itu, partai-partai oposisi menolak untuk bernegosiasi dengan presiden dan sebaliknya menemui kepala angkatan bersenjata, Jenderal Abdel Fattah al-Sisi.
Para pemimpin militer bertemu dengan pemimpin oposisi utama, Mohammed El Baradai, pemimpin Kristen dan gerakan protes pemuda, Tamarod (pemberontak) yang mempelopori protes anti-Mursi. Sementara itu, Partai Kebebasan dan Keadilan, lengan Ikhwanul Muslimin, menolak untuk bertemu Sisi dan mengatakan hanya mengakui presiden terpilih.
Pascakudeta, Kepala militer Mesir mengumumkan kepala Mahkamah Konstitusi Adly Mansour sebagai Presiden baru Mesir dan Mohammad El Baradei sebagai Perdana Menteri yang baru. Disamping itu, konstitusi yang telah diajalani pemerintahan Mursi akan dibatalkan.
Pemilihan presiden dan parlemen baru akan dilakukan dimana kabinet teknokrat tetap akan berjalan selama masa transisi. Namun, pengangkatan El Baradei sebagai Perdana Menteri mendapatkan penolakan dari pemimpin Tamarod (pemberontak), An Nour.
Yasser Haddara, seorang pembantu presiden, mengatakan Mursi masih bekerja di barak Garda Republik di Kairo, namun belum jelas apakah dia bebas untuk pergi.
Pesan presiden untuk pendukungnya adalah melawan kudeta militer dengan cara damai dan tidak menggunakan kekerasan terhadap pemerintah Mesir, ujar Haddara.
Banyak kalangan tokoh masyarakat Mesir menyerukan agar keabsahan Presiden Muhammad Mursi dikembalikan untuk menghindari tragedi kemanusiaan yang sedang mengancam negara itu. Menurut Prof Dr Sahar Khamis, pakar komunikasi dari University of Meryland, AS, dalam diskusi interaktif di jaringan televisi Al Jazzera mengecam langkah kudeta yang dilakukan militer terhadap Mursi yang merupakan presiden terpilih dalam pemilu paling demokratis pertama di Mesir, karena akan menimbulkan prahara politik dan konflik berdarah-darah berkepanjangan.
Menurut wanita berkerudung dan tidak berafiliasi dengan parpol manapun di Mesir ini, dengan alasan apapun, militer tidak boleh campur tangan dalam masalah politik. Militer itu digaji rakyat dan diberi alat perang untuk mempertahankan kedaulatan negara, bukan untuk bermain politik.