Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Perbedaan Kudeta di Mesir dan Indonesia
Setelah kudeta, otoritas Mesir menahan pejabat tingkat dua Ikhwanul Muslimin yang dekat dengan Muhammad Mursi
Penilaian senada diutarakan analis politik Fahmy Howeidi, kudeta militer adalah preseden buruk bagi masa depan demokrasi, dan malah sebaliknya militer Mesir telah merusak amanah konstitusi negaranya.
Prof Dr Syeikh Yusuf Qardhawy, ulama kharismatik yang sangat berpengaruh di Mesir dan dunia Islam yang bermukim di Qatar, juga mengutuk sikap militer yang melengserkan Mursi.
Menurut Cendekiawan berpengaruh yang kini memimpin Persatuan Ulama Islam Se-Dunia, agar militer secara legowo meminta maaf kepada rakyat dan membatalkan peta jalan militeristik serta memulihkan posisi Presiden Mursi.
Perkembangan Mesir diprediksi berbagai kalangan telah mengarah kepada terjadinya “civil war” seperti yang terjadi di Suriah. Civil war tersebut kemungkinan akan terjadi antara Ikhwanul Muslimin yang menyerukan pendukung Mursi di seantero Mesir untuk terus melawan penguasa baru Mesir dan dalam setiap unjuk rasanya selalu bertema tuntutan 'Pengembalian Keabsahan Presiden Mursi'.
Namun, sebaliknya oposisi yang nota bene kemungkina di dukung sejumlah negara maju juga menyerukan pendukungnya agar berhimpun di Bundaran Tahrir, Kairo. Dalam beberapa kali aksi unjuk rasa kedua kubu yang berseberangan ini, selalu diwarnai dengan adanya jiwa-jiwa yang melayang.
Tidak Akan Terjadi di Indonesia
Kudeta militer Mesir terhadap Presiden Mesir di berbagai pemberitaan atau informasi yang ditulis di media sosial (medsos) telah “dipelesetkan” oleh berbagai kalangan di Indonesia untuk melakukan hal yang sama (kudeta) di Indonesia.
Kelompok ini menilai kudeta di Mesir terjadi karena ada keterlibatan militer, dan militer melakukannya karena mereka peduli dengan nasib rakyat Mesir yang “tidak bahagia” dibawah kepemimpinan Mursi. Oleh karena itu, kelompok ini menilai jika militer Indonesia peduli dengan nasib rakyatnya, seharusnya memelopori kejadian seperti di Mesir.
Kudeta membutuhkan beberapa prasyarat. Pertama dan yang utama adalah situasi ekonomi dan politik yang sudah amat akut. Kedua, gelombang delegitimasi terhadap pemerintah sudah begitu besar dan sulit untuk dibendung lagi.
Ketiga, proses politik yang konstitusional tidak lagi dapat menyelesaikan krisis yang sedang dihadapi oleh negara tersebut. Keempat, kaum intelektual, khususnya mahasiswa sebagai kekuatan moral, sudah mulai bergerak, baik atas dasar kemauan sendiri atau pun ada kelompok-kelompok politik dan/atau militer yang menggerakkan serta melindunginya seperti yang terjadi di Indonesia pada 1965-1966.
Kelima, adanya penyatuan kekuatan antara kelompok intelektual, massa rakyat golongan miskin kota, kelompok-kelompok buruh, kekuatan kepentingan ekonomi dan politik, ditambah dengan kekuatan militer yang kemudian mengatasnamakan “kekuatan rakyat” atau people power.
Partai-partai politik yang ada di parlemen saat ini, kelompok sekretariat gabungan pendukung SBY-Budiono maupun PDI-P, Hanura dan Gerindra, tentunya tidak ingin sistem pemilu lima tahunan yang reguler untuk memilih anggota legislatif dan presiden terganggu oleh isu kudeta. Kudeta justru merusak sistem pemilu yang reguler ini dan menyebabkan kita melangkah mundur.
Kudeta hanya akan memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok yang tidak sejalan dengan demokrasi, sipil maupun militer, untuk mengembalikan sistem politik menuju ke era otoriter.
Apapun yang terjadi di Mesir tidak akan terjadi di Indonesia, antara lain karena, pertama, kekuatan aparat penegak hukum, militer dan intelijen tidak akan pernah mendukung langkah kudeta kelompok manapun.