Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Saat Wartawan Melihat Musibah, Harusnya Meliput Atau Menolong Dulu?
Ketika wartawan melihat musibah, harusnya dia meliput atau menolong dulu? Pertanyaan kritis mahasiswa UIN Jakarta.
Editor: Agung Budi Santoso
Oleh: Hendra Sunandar, Mahasiswa FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
TRIBUNNEWS.COM, TANGERANG SELATAN - Saat melihat sebuah musibah atau kecelakaan di depan mata, apa yang seharusnya dilakukan seorang wartawan? Apakah lebih mendahulukan hati nuraninya menolong korban, atau meliput peristiwa tersebut?
Pertanyaan bernada 'kepo' (penasaran) itu mengemuka dalam "Pelatihan Karya Ilmiah Artikel dan Jurnalistik" yang digelar para mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Sabtu 5 Oktober 2013.
"Bukankah wartawan juga punya hati nurani? Jadi, sebaiknya dia menolong atau meliputdulu?" tanya Ahmad Nurcholis, Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Politik UIN Jakarta. Nurcholis mencontohkan, seorang fotografer bernama Kevin Carter pernah dicaki-maki banyak orang lantaran ia memotret seorang anak penderita busung lapar di Sudan dalam kondisi sekarat.
Pada saat sekarat itu, si anak sudah diintai burung pemakan bangkai (burung condor) yang hinggap di belakang si bocah. Nah, foto hasil jepretan Carter itu lantas menangdalam kompetisi penghargaan foto Pulitzer tahun 1994.
Tapi Kevin dikecam banyak orang karena dianggap tidak berempati terhadap si bocah.Hanya mengambil gambar, lalu pergi.
"Bagaimana dengan wartawan kita? Apakah harus mencontoh Carter?" tanya Nurcholis, menggarisbawahi.
Agung Budi Santoso dari Divisi Pendidikan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakartayang menjadi narasumber pada pelatihan jurnalistik itu memberi jawaban.
Pada kondisi seperti itu, tetaplah seorang jurnalis harus mendahulukan tugas jurnalistiknya memotret korban dan meliput kasus kelaparan tersebut.
Namun setelah tugas jurnalistik selesai, tentu tidak ada larangan untuk menunjukkan empati dan hati nuraninya menolong korban. Bahkan secara manusiawi, sangat dianjurkan ikut menolong korban.
"Mengapa tugas jurnalistik didahulukan? Karena itu juga untuk kepentingan yang lebih besar, yakni menyuarakan kasus kelaparan kepada dunia agar menolong, tidak hanya si bocah, tapi juga rakyat Sudan seluruhnya," kata Agung Budi.
Seperti diketahui, Carter bunuh diri pada 27 Juli 1994 beberapa pekan setelah meraih Hadiah Pulitzer dengan cara menutup diri di dalam mobil pickup-nya, lalu mengalirkan gas knalpot ke dalam.
Ia bunuh diri karena depresi pada kenyataan hidup yang kejam dan keras. Carter jugamenangisi kematian sahabatnya, Ken Oosterbroek, sesama fotografer jurnalistik, yang meninggal saat meliput sebuah kerusuhan.
Namun juga ada yang berspekulasi, menduga-duga, kalau Carter bunuh diri karena tidak tahan dengan kecaman dunia terhadap dirinya yang dituding tidak menolong bocah Sudan kelaparan itu, melainkan memotretnya untuk karya jurnalistik.