Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Penyadapan, Pola Usang Intelijen yang Efektif dan Berkesinambungan
Pemberitaan Sidney Morning Herald dan The Guardian tentang penyadapan yang dilakukan Intelijen Australia terhadap Presiden SBY
Editor: Rachmat Hidayat
Tindak lanjut atas dokumen selevel manifesto ekonomi politik itu adalah terbitnya kajian dari National Intelligence Council bertajuk Global Trends 2030, Alternative Worlds. Beriringan dengan dokumen itu adalah lahirnya dokumen White Paper dari intelijen Australia. Robert D Kaplan menguraikannya dengan baik dalam bukunya Monsoon.
Inti dari semua itu adalah semangat dan tekad Barat, dalam hal ini AS bersama sekutunya, melanjutkan posisi keberadaannya sebagai adi daya global.
Sayangnya sejak Oktober 2008, AS tersungkur karena kalah dalam perang industri manufaktur dengan RRC. Kekalahan ini berdampak pada kalahnya industri keuangan AS sehingga Pemerintah AS menerbitkan talangan 700 miliar dolar AS.
Peperangan berlanjut ke nilai tukar, kemudian menjadi perang ekonomi. Oleh media massa Barat bergengsi hal ini disebut sebagai peperangan antara Corporate Capitalism melawan State Capitalism. Karena RRC tetap bertahan dan ini didukung sahabat RRC, maka peperangan berlanjut ke ICT (Information, Communication, Technology) war. AS menuding RRC menyadap.
Saat yang sama, Pemerintah AS mematai-matai warganya berkaitan dengan isu terorisme. Lalu Edward Snowden berceloteh bahwa AS memang mematai-matai berbagai kalangan dan negara, termasuk Indonesia. Padahal keseimbangan baru belum terbentuk, perang masih berlanjut.
Simpulannya sederhana, penyadapan sebagai bagian kegiatan intelijen dan strategi intelijen itu sendiri dalam rujukan sistem kehidupan saling bersaing merupakan bagian dari kegiatan guna mencapai yang unggulah yang menang (survival of the fitest). Melalui rujukan itu, muncul pertanyaan, layak dan pantaskah menegaskan diri sebagai bangsa yang “mimpi” zero enemy making thousand friends ?
Pertanyaan ini pernah saya ajukan berkali-kali di Sekolah Pendidikan Luar Negeri Kemenlu dan di pendidikan latihan eselon II. Sayangnya, mereka justru menyatakan, we are speechless. Situasi dan kondisi itu memberi pesan kepada kita, penyadapan adalah pola usang yang efektif baik melalui penyusupan orang maupun dengan penggunaan teknologi.
Soalnya adalah dalam gagas one world governance atau global governance yang diperjuangkan AS bersama sekutunya bagaimana kita mempertahankan dan menegakkan harkat martabat bangsa dan negara.
Jika Indonesia dianggap sahabat namun dicurigai baik oleh Australia, AS bahkan oleh negara-negara Asean lainnya yang bersekutu dengan AS, akan kita terus menerus membukakan pintu penyusupan dan intervensi itu ? Hanya pemimpin yang sungguh-sungguh memegang amanat rakyat dan konstitusi yang bisa menjawabnya.