Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mengenang Mulyana Kusumah, Mengingat Perjuangan Melawan Penindasan
Aktivis sejak sebagai mahasiswa Kriminologi FISIP Universitas Indonesia (UI), namanya dikenal luas sebagai aktivis melawan
Editor: Dewi Agustina
Citizen Journalist oleh Sihol Manullang
MENGENANG Mulyana Wira Kusumah (65) adalah mengingat perjuangan melawan penindasan. Aktivis sejak sebagai mahasiswa Kriminologi FISIP Universitas Indonesia (UI), namanya dikenal luas sebagai aktivis melawan penindasan Orde Baru.
Lahir di Bogor 23 November 1948, Mulyana yang mempunyai analisis tajam dalam soal kriminologi, sebagai dosen UI, bukanlah staf pengajar yang menghabiskan waktu di kampus. Ia lebih banyak aktif di luar, berada dalam barisan rakyat tertindas, sehingga gelar akademisnya hanya doktorandus.
Tetapi, meski bukan doktor, analisis Mulyana lebih tajam dari sebagian kriminolog yang bergelar doktor bahkan guru besar. Daya analisisnya, sama tajamnya dalam soal perjuangan melawan penindasan hukum dan politik.
Mulyana meninggal dunia di Jakarta, Minggu (1/12/2013) pukul 21.30 WIB. Tiga pekan silam, ia dirawat di RS Siloam Kebon Jeruk. Seminggu dirawat, diperbolehkan pulang. Namun tiga hari kemudian kondisi drop, sehingga dirawat lagi di RS Dharmais.
Setelah hampir dua minggu dirawat, kembali ke rumah Kamis (28/11/2013). Kondisinya tak banyak kemajuan, karena penyakitnya sudah komplikasi stroke dan asma. Sejak Minggu siang, kondisinya menurun. Minggu malam, Mulyana berpulang.
Sejak awal 1970-an, ia sudah sering dikejar-kejar intel Orde Baru.
"Bersama sejumlah aktivis, kami pernah menyembunyikan Mulyana. Cincin emas keluarga dijual untuk biaya hidup Mulyana dalam pelarian," ungkap Ali, adik Mulyana.
Aktivitas sekitar perlindungan hukum bagi kaum lemah, membuat Mulyana pernah menjadi Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Kemudian mendirikan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) bersama Hendardi dan Luhut MP Pangaribuan.
Ia juga salah seorang pendiri Komite Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), pernah Koordinator Dewan Penasehat. Mulyana juga pendiri Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), yang kemudian berlanjut menjadi komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Barisan Relawan Jokowi Presiden 2014 (Bara JP), Mulyana juga memberi sokongan moral yang luar biasa. Meski tidak ikut dalam struktur kepengurusan, tetapi ia memberi kebebasan kepada Bara JP untuk mengadakan rapat rutin di kantornya.
Ia tak pernah lelah membagi ilmu, gemar berbagi analisis politik terkini kepada para pengurus Bara JP, juga banyak memberi masukan dalam membangun portal berita www.baranew.co.
Hingga akhir hayat, Mulyana masih tetap berusaha berjuang untuk memperjelas 15 juta daftar pemilih tetap (DPT) yang belum jelas. Di suatu hari Sabtu awal November, ia mengundang sejumlah aktivis untuk berdiskusi, apa yang harus dilakukan atas 15 juta DPT bermasalah.
Diskusi diadakan di kantor Sakti, Jl Percetakan Negara VB/15. Diskusi yang berlangsung dari sore hingga malam, sepakat, pembahasan dilanjutkan esok harinya, yaitu hari Minggu. Pada hari itu, kondisi Mulyana sudah lemah.
Lanjutan diskusi hari Minggu, sesaat setelah diskusi selesai, ia pamitan karena merasa belum fit. Sesampai di rumah, kondisinya bertambah buruk, sehingga malam itu juga ia dirawat di RS Siloam.
Ketika saya berkunjung ke Siloam, Mulyana masih menyempatkan diri mencari tahu perkembangan gugatan Memorandum of Understanding (MoU) antara KPU dengan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), yang diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dimana berkas gugatan disusun oleh Mulyana.
Sekembali dari perawatan di Siloam, suatu hari ia menulis mengirim SMS kepada saya: "Selamat siang Sihol. Saya sudah pulang, observasi dilanjutkan sembari berobat jalan. Saya tentu saja memanfaatkan kebebasan untuk beraktivitas kembali."
SMS itu tak segera saya balas. Saya berpikir, baru sakit lalu langsung beraktivitas yang bisa hingga begadang-begadang, akan menjadi siksaan bagi kesehatan Mas Mul.
"Mas, selamat sembuh. Namun lagu dangdut Bedagang Jangan Begadang, agaknya semakin menarik didendangkan," begitu balasan saya.
Mas Mul tak membalas ulang. Dua hari kemudian, saya mendengar kabar, Mas Mul kembali dirawat, kali ini di RS Dharmais. SMS tadi itulah sms terakhir yang saya terima dari Mulyana W Kusuma.
Mulyana adalah guru banyak orang, senior, mentor, sahabat semua kalangan. Selamat jalan Mas Mul. (sihol manullang)