Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Dicari, Pemimpin yang Bangga Berbahasa Indonesia
Napoleon pun menyatakan dirinya hanya bertengkar dengan tiran pemerintahan Kaisar Austria Francis I
Berkepribadian Dalam Kebudayaan Nasional
Tahun 2013 menjadi saksi sejarah bangsa Indonesia menjadi pusat perhatian dunia. Banyak forum intenasional di selenggarakan di Indonesia. Tentu ini prestasi yang patut diapresiasi. Secara manifes demikian, akan tetapi ada hal tersirat dari balik hajatan-hajatan besar itu yang masih perlu dijadikan permenungan kita sebagai bangsa –yang konon bangsa besar itu-. Sebagai bangsa besar yang telah memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, tentu eksistensinya harus dijaga terlebih oleh para elite nasionalnya sendiri sebagai contoh masyarakat.
Seperti kita rasakan belum lama di tahun 2013 kemarin, World Culture Forum (WCF) 2013 di Bali yang berlangsung pada 24-27 November 2013 dan diikut oleh kurang lebih 40 negara lebih dari seribu peserta dan 17 menteri kebudayaan. Sejatinya pertemuan besar kebudayaan semacam ini pasti mampu menghasilkan posisi tawar Indonesia di dunia. Kita tentu mengapresiasi positif inisiatif pertemuan yang disebutkan atas prakarsa pemerintah Indonesia ini. Dan sudah barang tentu kita sebagai warga negara wajib mencermati perhelatan-perhelatan internasional yang menggunakan anggaran negara tidak sedikit semacam ini dari kacamata kepentingan nasional Indonesia.
Kekuatan kebudayaan dalam pembangunan berkelanjutan menjadi tema besar perhelatan ini. Sebuah ambisi besar pemerintah Indonesia, kita taruh segala hormat pada imajinasi besar semacam ini, namun tentunya ambisi besar semacam itu harus dilandasi prinsip kuat sebagai sebuah bangsa yang berkepribadian nasional. Kita boleh saja membayangkan Napoleon yang mampu menggerakkan kekuatan kebudayaan melintasi dunia dan membangun peradaban tetapi sudah sepantasnya kita juga berkaca kepada kepribadian bangsa sendiri sebagai satu prinsip yang harus dijunjung tinggi.
Kita saksikan dalam sambutan pembukaan WCF 2013 di Bali pada tanggal 25 November 2013 Presiden Susilo Bambang Yudoyono masih menggunakan bahasa Inggris bukan bahasa Indonesia. Hal yang sama pernah dikritik ahli hubungan internasional dari UI, kritik yang terjadi pada tahun 2011 saat itu dimana presiden menyampaikan pidato dengan menggunakan bahasa Inggris dalam pembukaan konferensi tingkat menteri (KTM) ke-16 Gerakan Non Blok (GNB) di Grand Hyatt Hotel Nusa Dua Bali pada waktu itu sebagaimana diberitakan media nasional.
Tak urung penilaian publik di Indonesia saat itu bahwa presiden telah mengabaikan penggunaan bahasa nasional Indonesia yaitu bahasa Indonesia dimana menurut UU 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, khususnya pasal 28 bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.
Selain itu dalam pasal 32 ayat 1 juga disebutkan bahwa, bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia. WCF 2013 pun kali ini diselenggarakan di Indonesia maka tentunya bahasa Indonesia yang baik dan benar pantas dipergunakan, demikian keterangan ahli itu sebagaimana yang telah menjadi diskursus publik pada medio tahun 2013 yang lalu.
Lagi dalam pidato sambutannya di WCF 2013 presiden mengulang apa yang menjadi kritik publik atas penggunaan istilah penyebutan dirinya sebagai tenaga pemasaran atau salesperson.
Kritik atas sambutan presiden ini pun pernah mengemuka di media nasional sebagaimana hasil tracking media yang saya lakukan, dimana saat Indonesia menjadi tuan rumah forum Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) 2013 yang juga di Bali. Pada saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebut dirinya sebagai kepala tenaga pemasaran (chief salesperson) PT Indonesia.
"Sebagai chief salesperson Indonesia Incorporated, saya mengundang Anda semua untuk menangkap peluang bisnis dan investasi di Indonesia," (Minggu (6/10/2013).
Tentu apa yang terjadi menjadikan bahan refleksi kita bersama bangsa Indonesia. Bagaimana kita berimajinasi dan berharap bangsa Indonesia memiliki kekuatan kebudayaan yang besar untuk keberlanjutan pembangunan jika kita sendiri meninggalkan prinsip menghargai kepribadian dalam kebudayaan nasionalnya sendiri.
Dulu pejuang-pejuang lama bersumpah untuk menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia tentu pesan itu masih relevan hingga saat ini. Barangkali bapak Presiden lupa maka tentu sebagai warga negara kita harus mengingatkan dan member catatan untuk masa depan bangsa dan tanah air Indonesia.
Suatu ketika saya tergelitik mendengar pertanyaan tukang ketoprak yang bertanya: “Mas kalau jadi presiden berarti harus bisa bahasa Inggris ya.?” Biar bisa kasih sambutan acara internasional. Saya pun tertegun.
Bukankah di negara-negara Eropa saja sentimen bahasa nasional masing-masing masih cukup tinggi antara Inggris, Perancis, Jerman dan Belanda serta Rusia, lalu kenapa kita seakan mengabaikan eksistensi bahasa sendiri.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.