Tribunners
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Larangan Film Noah, Sudah Tepatkah?
Film ini berkisah tentang perjuangan Nabi Nuh yang berusaha menyelamatkan keluarga dan hewan-hewan
Editor: Sugiyarto
Oleh: Andi Kristian, Advokat dan Pecinta Film
Lembaga Sensor Film (LSF) memutuskan untuk tidak memberikan tanda lulus sensor terhadap film Noah karya sutradara Darren Aronofsky.
Film ini berkisah tentang perjuangan Nabi Nuh yang berusaha menyelamatkan keluarga dan hewan-hewan di bumi akibat bencana banjir besar.
Film yang dibintangi oleh Russell Crowe ini dinilai memuat konten yang tidak sesuai dengan ajaran kitab suci serta mengandung sentimen kesukuan, keagamaan, asal keturunan dan antar-golongan (SARA) dan dianggap sarat dengan kontroversi dan dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Sebelumnya, sejumlah Negara Timur Tengah juga melarang film tersebut yakni Qatar, Bahrain dan Uni Emirat Arab.
Kontan saja keputusan LSF tersebut memicu pro dan kontra di masyarakat. Pihak pendukung keputusan LSF berargumen bahwa film Noah memang layak dilarang pemutarannya sebab telah menghina ajaran agama tertentu yang ada di Indonesia.
Dalam tradisi agama Islam penggambaran sosok Tuhan, Nabi Muhammad dan nabi-nabi lain adalah haram. Dalam film Noah sosok nabi Nuh digambarkan dengan jelas oleh aktor Russell Crowe.
Selain itu, meskipun rujukannya adalah Alkitab ternyata sosok yang digambarkan dalam film ini menyimpang jauh dari Alkitab. Nuh digambarkan sebagai sosok pemarah dan pembenci yang ingin menghentikan keberlanjutan umat manusia, bahkan ingin membunuh cucunya sendiri.
Jika film tersebut tetap diputar dikhawatirkan akan menuai protes keras masyarakat beragama, baik dari kalangan Islam maupun Kristen.
Sementara itu pihak yang kontra menilai bahwa Noah adalah film hiburan, karya fiksi yang merupakan interpretasi imajinatif dari Alkitab.
Sebuah film yang menunjukkan kehebatan para sinea dalam meramu kisah dalam kitab suci yang didukung oleh kecanggihan efek visual khas Hollywood yang tak perlu dilarang penayangannya.
Film ini jauh dari kecemasan LSF yang menyebut dapat memicu sentimen SARA. Pelarangan pemutaran film Noah juga dianggap sebagai bentuk pengebirian terhadap kreatifitas seniman.
Terlepas dari kedua pendapat di atas, jika dilihat dari sisi hukum, LSF memang diberikan kewenangan untuk memberikan tanda lulus sensor atau tidak atas sebuah film.
LSF sendiri telah diberikan pedoman dalam melakukan penyensoran film yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film.
Dalam PP tersebut dijelaskan bahwa penyensoran dilakukan dengan memeriksa dan meneliti film dari enam segi yaitu keagamaan, pendidikan, sosial budaya, politik dan keamanan, ketertiban umum serta pendidikan.
Dari alasan-alasan yang disampaikan oleh LSF mengenai keputusan larangan pemutaran film Noah, dapat ditarik kesimpulan bahwa segi keagamaan dan ketertiban umum lah yang menjadi dasar pertimbangan keluarnya keputusan tersebut.
Disebutkan dalam PP No. 7 tahun 1994 bahwa dari segi keagamaan, ada tiga unsur dalam film yang dilarang untuk ditampilkan, pertama yang memberikan kesan anti Tuhan dan anti agama dalam segala bentuk dan manifestasinya, kedua yang dapat mengganggu kerukunan hidup antar-umat beragama di Indonesia dan yang terakhir adalah yang mengandung penghinaan atau pelecehan terhadap salah satu agama yang diakui di Indonesia.
Sementara dari segi ketertiban umum, salah satu unsur yang dilarang yaitu yang dapat mendorong sentimen kesukuan, keagamaan, asal keturunan dan antar-golongan (SARA).
Memang untuk menilai sebuah film apakah mengandung unsur-unsur yang dilarang sebagaimana disebutkan dalam PP di atas menjadi domain mutlak LSF yang tentunya tidak terlepas dari penilaian subjektif.
Namun demikian, karena keanggotaan badan ini telah mengakomodasi berbagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan maka keputusan LSF dapat dianggap telah mewakili kepentingan publik.
Namun sayangnya keputusan LSF tersebut tidak konsisten dengan keputusan-keputusan sebelumnya sebab dalam sejarahnya LSF pernah meloloskan film The Ten Commandments (1956) arahan Cecil B. de Mille yang berkisah tentang Nabi Musa dan film The Passion Of Christ (2004) garapan Mel Gibson yang bercerita tentang penyaliban Nabi Isa, kendati mengundang kontroversi film-film tersebut tetap diputar di Indonesia.
Hal ini tentu menjadi salah satu kritikan untuk LSF karena telah menerapkan standar ganda. Selain itu, LSF ternyata seringkali juga meluluskan film-film horor yang mengandung unsur pornografi misalnya saja film yang dibintangi oleh Sasha Grey (bintang film porno dari AS), Maria Ozawa (bintang film porno dari Jepang) dan film-film lain yang berkedok film bergenre horror yang jelas-jelas bertentangan dengan norma kesopanan dan kesusilaan.
Sebenarnya pelarangan film Noah oleh LSF juga diragukan keefektifannya sebab dengan perkembangan teknologi internet saat ini, bukan hal yang mustahil bagi publik untuk menonton film Noah.
Jika film porno saja bisa diunduh dengan mudahnya lewat internet di Indonesia, film Noah pun takkan lebih sulit dicari dibandingkan film biru di internet.
Hal ini dikarenakan banyak tempat di internet yang masih bisa digunakan sebagai fasilitas untuk mendapatkan film-film yang dilarang di putar di Indonesia baik dengan menggunakan cara legal maupun ilegal.
Oleh karena itu, sebaiknya LSF lebih arif dan bijak kedepannya dalam mengeluarkan keputusan terkait boleh atau tidaknya sebuah film ditayangkan di Indonesia.
LSF tak perlu berlebihan dalam memproteksi penonton sebab saat ini publik sudah cerdas dan dewasa, apabila sebuah film dianggap baik tentunya akan ditonton dan sebaliknya jika tidak otomatis akan ditinggalkan. Lebih baik serahkan filter terakhir ditangan penonton.
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com