Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Revolusi Mental Butuh "JOB"
Setiap momen pergantian pemerintahan, sangat manusiawi jika masyarakat selalu berharap banyak akan adanya suatu perubahan yang lebih baik.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Dody Susanto
Direktur Klinik Pancasila
Koran Kompas menurunkan headline “Jokowi-Prabowo Beri Optimisme”, judul yang lain “Pasar kian yakin pada pemerintah baru”, dan “Bersatu membangun bangsa: Pertemuan Jokowi-Prabowo langsung mendongkrak rupiah dan indeks saham gabungan”, tulis Media Indonesia.
Cuplikan berita-berita tersebut mencerminkan keinginan masyarakat (wish) secara umum akan pemerintahan baru yang telah dilantik pada 20 oktober yang lalu.
Setiap momen pergantian pemerintahan, sangat manusiawi jika masyarakat selalu berharap banyak akan adanya suatu perubahan yang lebih baik.
Dalam konteks Revolusi Mental upaya meletakkan “Jiwa besar Optimisme Berkarya” (JOB) sebagai panduan mendorong daya dukung publik lebih aktif dalam proses internalisasi nilai merupakan suatu keniscayaan.
Untuk menjembatani harapan dan kenyataan, perspektif headline Koran nasional diatas tersebut perlu kiranya membuka horizon tentang perlunya JOB khususnya dibidang prediksi ekonomi diletakkan dalam analisis kehati-hatian.
Optimisme dan keinginan (wish) meski merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan, namun dapat pula menjadi backfire (berdampak Sebaliknya) ketika kita tidak memperhatikan beberapa hal krusial lainnya.
Kita sering mendengar bahwa berfikir positive (positif thinking) sangat dianjurkan untuk mencapai tujuan dan kesehatan jiwa.
Buku-buku atau talk show tentang positive thinking bahkan sangan menjamur, seolah-olah ia menjadi jalan surga atau golden ways menuju cita-cita. Maggie Puniewska, kolumnis The Atlantic bahkan pernah menulis tajuk “Optimism is the enemy of action”, mengupas bagaimana positive thinking dapat menghalangi orang mencapai tujuan manakala tidak dibarengi dengan langkah konkrit.
Positive thinking yang kosong akan menurunkan motivasi orang untuk bekerja keras mencapai tujuan, demikian, kata Puniewska. Positive thinking seperti ini hanya katrok (konsep alasan teori ritual omongan kosong).
Gagasan ini sangat counter intuitive atau kontraksi dengan konvensional wisdom. Bahkan orang mungkin akan menentang karena berbeda dengan pandangan umum.
Sehat juga kita merujuk pada Profesor Gabriele Oettingen, Profesor dari New York University yang mencoba menggali lebih dalam apa itu positive thinking dan wish yang sebenarnya.
Bukunya yang berjudul “Rethinking positive Thinking : Inside the Science of Motivation”, Oettingen menjawab mengapa pandangan umum mengenai positive thinking memiliki kekurangan. Hasil penelitian Oettingen selama 20 tahun lebih menemukan meski optimismemembantu kita melupakan musibah atau kegagalan yang kita hadapi, namun optimisme ini dalam jangka panjang dapat membuat kita frustasi manakala kemudian tidak sesuai dengan realita yang dihadapi.
Pada sisi lain optimisme berlebihan juga bisa mereduksi energi kita untuk bekerja keras dalam mencapai tujuan. Menurut Oettingen, bahwa positive thinking saja tidak cukup untuk mencapai tujuan yang kita inginkan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.