Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Konferensi Asia Afrika 2015: Harapan Rakyat Atau Hanya Ilusi Pemerintah
BAK terompet sangkakala atau lonceng raksasa, penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) 60 tahun silam, berhasil menggemparkan dunia
Oleh: Rudi HB Daman
BAK terompet sangkakala atau lonceng raksasa, penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) 60 tahun silam, berhasil menggemparkan dunia di tengah memanasnya perang dingin seusai Perang Dunia ke II (PD II).
KAA merupakan forum konsolidasi pertama di dunia yang mempertemukan negara-negara terjajah dan baru merdeka, dengan prinsip dan semangat yang mulia, untuk “Membebaskan diri (negara-negara Asia dan Afrika) dari cengkraman kolonialisme dan melawan Neo-kolonialisme, membangun kedaulatan, menciptakan kesejahteraan dan memerangi kemiskinan, serta membangun Solidaritas dan kerjasama Internasional yang adil dan Setara”.
Forum tersebut (KAA) tentu tidak akan pernah bisa terhapus begitu saja dari sejarahnya. Seusai PD-II di periode awal tahun 1940-an, kemudian berlanjut akibat perang dingin yang masih berlangsung hingga periode 1950-an, rakyat dunia masih belum sepenuhnya bebas dari penjajahan, kemiskinan dan, ancaman perang.
Perang ideologi dan upaya perebutan pengaruh antara blok barat yang dipimpin Imperialisme Amerika Serikat (AS) dan blok timur pimpinan Uni Soviet di masa itu, terus menebar ketakutan bagi rakyat, terutama di negara-negara yang baru merdeka maupun yang masih terjajah di Kawasan Asia dan Afrika.
Atas perkembangan situasi umum dunia tersebut, tepat pada tanggal 19-24 April 1955 KAA untuk kali pertama digelar di Bandung. Dengan semangat melawan kolonialisme dan imperialisme serta untuk mewujudkan “Kemerdekan dan Kedaulatan” semua bangsa, KAA berhasil menerbitkan sebuah deklarasi bersama (Dasa Sila Bandung) sebagai acuan prinsipil dalam membangun hubungan kerjasama Internasional, khususnya kerjasama antarnegara dan kawasan di Asia dan Afrika.
Aspirasi tersebut bahkan berjalan semakin kuat, ditandai dengan lahirnya gerakan non-blok (GNB) pada tahun 1961, yang menegaskan diri untuk tetap membangun dan menjalankan hubungan kerjasama Internasional secara independen dan melawan setiap bentuk intervensi dari pihak manapun.
Namun, seusai perang dingin dan dengan berbagai upaya intervensi dan perluasan pengaruh yang ditebar oleh imperialisme Amerika Serikat (AS) saat itu, muncul pula berbagai perdebatan antaranggota di internal GNB tentang relevansi KAA dan GNB, untuk tetap dijadikan sebagai garis politik negara-negara di Kawasan Asia dan Afrika dalam membangun hubungan diplomatik dan kerjasama Internasional.
Dengan demikian, sejak pertengahan 1970-an, isu-isu ekonomi kemudian mulai menjadi perhatian utama negara-negara anggota GNB. Selanjutnya, GNB dan Kelompok 77 (Group of 77/G-77) mengadakan serangkaian pertemuan, guna membahas masalah-masalah ekonomi dunia dan pembentukan "Tata Ekonomi Dunia Baru" (New International Economic Order).
Bersamaan dengan situasi tersebut, pemerintah-pemerintah "boneka" (puppet regime) ciptaan imperialisme AS di berbagai negeri, terutama di negara-negara kedua kawasan tersebut beramai-ramai mempromosikan ilusi “kerjasama internasional yang adil dan setara antara negeri-negeri Selatan dan Utara”, disertai dengan berbagai celotehan bohongnya yang menyatakan bahwa “Kolonialisme sudah mati”.
“We are often told "Colonialism is dead." Let us not be deceived or even soothed by that. I say to you, colonialism is not yet dead. How can we say it is dead, so long as vast areas of Asia and Africa are un-free.
…And, I beg of you do not think of colonialism only in the classic form which we of Indonesia, and our brothers in different parts of Asia and Africa, knew. Colonialism has also its modern dress, in the form of economic control, intellectual control, and actual physical control by a small but alien community within a nation. It is a skillful and determined enemy, and it appears in many guises. It does not give up its loot easily. Wherever, whenever and however it appears, colonialism is an evil thing and one which must be eradicated from the earth. . . .”
“The U.S. and Europe are able to do monopoly through binding policies, to dominate the world economy and make developing countries become dependent. One way to expand U.S. and European monopoly, through propaganda by establishing sub-regional and multilateral, commonly called the group (G)”.
Artinya bahwa, semangat KAA 1955 hingga GNB 1961, kini dalam perkembangannya telah banyak diselewengkan. Di bawah dominasi dan Intervensi imperialisme pimpinan AS, KAA maupun GNB telah dijadikan sebagai forum konsolidasi dan perluasan pengaruh bagi imperialisme, dengan berbagai ilusi dibalik isu kedaulatan, pembangunan, kesejahteraan, keamanan dan demokrasi palsu, yang dipromosikan melalui pemerintahan-pemerintahan bonekanya di dalam keanggotaan KAA.