Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Keabsahan Kepengurusan Golkar hanya Bisa Ditentukan Putusan Final PTUN
KEABSAHAN kepengurusan Golkar hanya bisa ditentukan oleh putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang berkekuatan hukum tetap.
Editor: Dewi Agustina
Penulis: Petrus Selestinus
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI)
KEABSAHAN kepengurusan Golkar hanya bisa ditentukan oleh putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang berkekuatan hukum tetap. Karena itu islah yang sedang berlangsung antara Golkar kubu Aburizal Bakri (ARB) dan Agung Laksono agar Partai Golkar bisa ikut pemilu tidak memiliki dasar hukum yang kuat terutama tidak memberikan jaminan keabsahan kepada kedua kubu baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama untuk mengikuti Pilkada.
Kendala utama yang dihadapi kubu Agung Laksono adalah putusan sela PTUN Jakarta yang melarang berlakunya SK Pengesahan Kepengurusan Golkar hasil Munas Ancol yang berkekuatan mengikat hingga sengketa pokok perkara di TUN diputus dan putusannya berkekuatan hukum tetap. Karena itu sekali lagi islah Golkar yang dimediasi oleh Jusuf Kalla akan menjadi sia-sia karena KPU akan tetap menuntut keabsahan kepengurusan yang sah dari Menkumham.
Problem utamanya adalah Menkumham sebagai institusi yang memberikan Keputusan Pengesahan Kepengurusan Parpol saat ini digugat dan produknya sendiri digugat atau menjadi obyek sengketa di Pengadilan TUN, karena itu Menteri Hukum dan HAM tidak bisa dimintakan sikapnya untuk menyatakan kepengurusan mana yang berhak mengikuti Pilkada.
Karena itu islah saja tidak cukup, karena itu harus dimintakan putusan sela dari Pengadilan Tinggi TUN Jakarta agar hakim TUN Pengadilan Tinggi Jakarta memberi izin kepada kedua kubu ARB dan Agung Laksono membentuk satu tim kecil untuk menyelenggarakan pilkada atas nama Partai Golkar.
Dengan demikian putusan sela dari Pengadilan Tinggi TUN Jakarta akan menjadi payung hukum, karena memberikan legitimasi kepada Penggugat ARB dan Tergugat Agung Laksono sama-sama membentuk tim atas nama Partai Golkar menyelenggarakan pilkada hingga selesai termasuk kemungkinan menghadapi sengketa pilkada yang akan menuncul nanti.
Putusan sela itu juga akan menjamin para calon Bupati, Gubernur dan Walikota dalam mengikuti pilkada, juga menjamin keabsahan gabungan Parpol dalam mengusung pasangan calon Gubernur, Bupati dan Walikota beserta Wakilnya bersama Partai Golkar.
Jika Partai Golkar baik kubu ARB maupun Agung Laksono bahkan Jusuf Kalla hanya mengandalkan islah dalam bentuk kesepakatan tertulis tentang siapa yang bakal menandatangani surat-surat atau dokumen administrasi pencalonan dalam pilkada tanpa diproteksi dengan Putusan "Sela" Pengadilan Tinggi TUN Jakarta, maka keabsahan dalam mengusung pasangan calon dan keabsahan dalam mengikat Partai Politik lain bergabung dalam mengusung pasangan calon bisa dipersoalkan bahkan mengancam batal atau digugat kembali oleh masyarakat terhadap Partai Golkar dalam pilkada, semata-mata karena Putusan Sela Pengadilan TUN Jakarta telah melarang dengan tegas digunakannya Keputusan Depkumham oleh kubu Agung Laksono dan KPU atau siapapun sepanjang terkait Partai Golkar.
Inilah yang menjadi hambatan yuridis yang membuat Partai Golkar terpasung hak dan kewenangan konstitusionalnya.
Karena itu, sekali lagi Putusan Sela Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta di tingkat banding harus diminta dengan menyertai islah, sehingga menjadi solusi sekaligus sebagai terobosan untuk memberikan legitimasi kepada Partai Golkar dalam mengikuti Pemilukada. Tanpa itu islah hanya menjadi pepesan kosong dan hanya bernilai positif secara politik bahwa ARB dan Agung Laksono beritikad baik ingin menyelamatkan Golkar, tetapi secara teknis yuridis masih terkendala.