Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Perbedaan Krisis 1997 dan Ancaman Krisis 2015
Perputaran dana di desa yang sangat tinggi inilah yang menopang perekonomian nasional selama periode Krisis Moneter.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Budiman Sudjatmiko
Anggota Komisi II DPR RI
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bahwa beberapa pekan terakhir nilai tukar rupiah dan IHSG jatuh dengan cukup dalam. Majalah “The Economist” bahkan membandingkannya dengan situasi Krisis Moneter 1997. Analis keuangan, ekonomi, hingga publik di media massa hingga media sosial ramai membicarakan hal ini. Ada banyak analisis yang diberikan, namun sangat disayangkan sejauh ini tidak banyak yang membahasnya dari perspektif desa dan ekonomi pedesaan.
Ada perbedaan mendasar antara Krisis 1997 dengan Krisis 2015. Pada Krisis 1997, nilai tukar melemah namun harga komoditas, dalam valuta asing (Dollar), relatif tetap. Akibat petani yang banyak memproduksi komoditas ekspor, seperti: kopra, kopi, kakao, udang, kayu, dan lain sebagainya, dapat menikmati harga jual yang sangat tinggi.
Perputaran dana di desa yang sangat tinggi inilah yang menopang perekonomian nasional selama periode Krisis Moneter.
Namun pada Krisis 2015 kali ini, melemahnya nilai tukar diikuti dengan jatuhnya harga komoditas ekspor pertanian, perikanan dan pertambangan. Harga beberapa komoditas di pasar internasional turun secara ekstrem, dari periode peak awal 2011, misalnya: karet (- 70%), biji besi (-71%), gula (-60%), batu bara (-55%), sawit (-54%), kopra (-45%), kopi arabika (-42%), dan lain sebagainya. Pelemahan harga komoditas ini semakin cepat dalam setahun terakhir, akibat dipicu oleh penurun harga minyak bumi (-60%). Jatuhnya harga minyak menjalar ke komoditas lain. Akibatnya, pada Krisis 2015 ini desa tidak dapat menopang perekonomian nasional, sebaliknya jutru merasakan dampak yang cukup dalam.
Merujuk pada situasi tersebut, pemerintah harus secara serius memperhatikan dampak krisis ekonomi di desa. Wacana dan kebijakan penanganan krisis hendaknya tidak didominasi oleh perspektif urban semata. Sebab pola Krisis 2015 kali ini berbeda dengan Krisis 1997. Beberapa langkah yang memungkinkan untuk dilakukan diantaranya :
Pertama : menggelontorkan program dan anggaran ke desa secara masif, cepat, tepat sasaran dan minim kebocoran.
Kedua : Memastikan prioritas alokasi anggaran tersebut untuk mendorong usaha-usaha pertanian dan perikanan, guna menjamin ketersediaan pangan domestik selama periode krisis.
Ketiga : Kemkeu, BI dan OJK juga perlu membuat terobosan untuk meningkatkan perputaran uang dan meminimasi dampak krisis di pedesaan. Misalnya dengan mendorong penyaluran kredit secara masif kepada komoditas bersiklus pendek seperti padi, jagung, kedelai, peternakan unggas, ikan tangkapan, dan lain sebagainya.