Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menjaga Keutuhan Negeri
Sekarang kita tidak perlu lagi salah dalam menyikapi pernik benih perusakan bentuk persatuan suku-suku bangsa ini.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Dody Susanto
Direktur Klinik Pancasila
TRIBUNNEWS.COM - Sejarah panjang nilai-nilai kemanusiaan di tanah air terpatri dalam hubungan-hubungan kemaje- mukan yang terbangun dengan semangat tenggang rasa dan saling menghormati. Juga dalam tata pergaulan yang menghargai karya sendiri disandingi peran serta setiap individu dan komponen bangsa. Hal ini sejalan dengan "proyek" pengarusutamaan Hak Asasi Manusia dan bersanding dengan dan tanpa melupakan kepen-tingan kolektif suatu masyarakat yang tak boleh diabaikan. Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia lalu terwujud dalam segala prasyarat dan ciri kebe- radaannya.
Ini suatu "bangunan" Indonesia yang saratdengan etiket pemuliaan terhadap manusia dan memanu- siakan manusia. Alhasil terbentuklah Indonesia berkepribadian luhur yang bersendikan etika tata- krama, serta bertata laku dan bertata sikap sebagai inson kamil pengemban cita peradaban di persada Nusantara.
Kejuangan pahlawan Bangsa dalam menjaga dan mengawal nilai-nilai dasar ke-lndonesiaan sepatutnya diletakkan sebagai pemandu visi dan misi kebangsaan saat ini. Sebagai kerangka peletakan landasan- landasan strategis dalam mengkonsolidasikan energi kebangsaan agar mampu tangguh dan mandiri di tengah terpaan arus Globalisasi. Oleh karenanya, komitmen penghormatan atas Hak Asasi Manusia dan upaya-upaya sistemik mengatasi ketidakadilan di seluruh lapis sosial adalah prasyarat untukdipandang sejajar di pergaulan dunia dan perbekalan meraih kemajuan dan kemandirian bangsa dalam tata dunia.
Jika semangat kepahlawanan dan mental juang dapatterus tertanam di dalam proses mediasi-mediasi anak Bangsa saat merumuskan jalan keluar dan ben- tuk pola integrasi Nasional, niscaya sila kedua ini, "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab," adalah kompas solutif atas setiap penyikapan maraknya ragam irama kepentingan suku, kelompok, golongan agama, dan ras. Yang mana seringkali menegaskan jerih payah pendirian Persatuan Indoneisa yang dilakukan oleh para pendiri bangsa. Jika kemampuan memulihkan kohesifitas kebangsaan ini tumbuh secara partisipatif sejak dulu, maka ruang dan iklim kesadaran Nasionalisme menjadi pintu kehormatan Bangsa.
Sekarang kita tidak perlu lagi salah dalam menyikapi pernik benih perusakan bentuk persatuan suku-suku bangsa ini. Dengan melongok kembali pesan nilai sila kedua, pengarusutamaan HAM dan memuliakan sesama adalah rambu yang akan menuntun dalam memecahkan setiap persoalan kebangsaan. Negeri titipan ilahi ini adalah amanat nyata dari pendiri bangsa, maka untuk keduanya dan karena itu tidaklah mungkin bagi kita generasi yang telah mengenyam kemerdekaannya mencederai rajutan dan anggitan negeri yang indah ini.
Untuk itu Nurani mengamanatkan agar menyema- ngati peng-Galaksi-an (Gerakan Aksi Langsung Amalkan Sejak Dini) sila kedua ini dengan memper- banyak wahana-wahana interaksi sosial yang meng- indahkan HAM dan memuliakan Manusia. Misalnya, Rumah Budi Pekerti, Taman Peradaban, Sekolah Ter- buka semua saratmuatan tentang HakAsasi Manusia yang tetap menyematkan unsur dan nilai Persatuan Indonesia.
Lalu Rekomendasi Aksi-nya dapat dibangun me- lalui beberapa tahapan, yakni: 1). Penguatan dan pemantapan GALAKSI (Gerakan Aksi Langsung Amalkan Sejak Dini) Pancasila di setiap Rumah keluarga secara partisipatif; 2) Memperbanyak ajang wawasan kebangsaan di sekolah-sekolah, ruang terbuka masyarakat melalui forum diskusi dan unjuk prestasi perihal Manusia Utama Indonesia yang gigih menghormati hakorang lain seraya mampu menjalin kebersamaan di atas perbedaan; 3) Memperbanyak ruang-ruang bagi tumbuhnya aktivitas sabatikalpro¬gram sebagai mediasi bertukar gagasan, diseminasi nilai kemanusiaan, dan ajang transformasi silang posisi, profesi dan akademi; 4) Memasyarakatkan tema-tema Gerakan "Manusia Lahir Untuk Memanu- siakan Manusia"; 5) Memasyarakatkan tema-tema Gerakan Kemanusiaan untuk Perdamaian Dunia; 6) Memasyarakatkan tema-tema Gerakan Semesta Hak Asasi Manusia; 7) Memasyarakatkan tema-tema Gerakan Aksi Langsung Atasi Ketidakadilan Sejak Dini (GALAKSI); 8) Gerakan menyongsong Indonesia yang Paripurna, Sentosa dan Mulia.
Dengan mensinergikan amanat Nurani dan Aksi ini ada peluang terbesar Bangsa untuk menyisir dan membangun kembali serakan akal budi, kaki dan tangan organ Jatidiri bangsa ini. Maka langkah hakiki menggapai kejayaan Negeri perlu dimulai.
REFERENSI paling hakiki bagi Pemangku tugas- tugas mengawal Negeri adalah melestarikan semangat Altruisme, Egalitarianisme, dan patriotisme. Ide, gagasan, dan pandangan-pandangan yang ada di dalamnya ialah hanya memproyeksikan masa depan Negeri dan Bangsa, selain itu tidak memberi- ka n ruang untuk tumbuh suburnya semangat mengedepankan kepentingan primordial bersandar pada otoritas dan kehendak pribadi-pribadi. Maka atas dasar tuntutan Tujuan Eksistensial dan Kehendak Perenial bangsa, yang ditingkahi Cita-idealnya yang teremban dalam Pancasila, Kesetiakawanan Sosial dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika adalah Panggilan juang kemanusiaan bagi anak Negeri.
Sejarah peradaba n bangsa-bangsa di dunia menyisakan satu isyarat berharga, bahwa hilang, tumbuh dan lenyapnya suatu Negara Bangsa tergantung pada kemampuan Bangsa tersebut menjaga api dan ruh Kesetiakawanan Sosialnya. Bangsa Jerman berupaya keras meruntuhkan tembok Berlin untuk menyatukan Visi Nation State-nya yang berujung pada penyatuan rasa senasib seperjuangan, terlebih dahulu melalui jalan yang berliku dan memilukan sarat dengan ongkos sosial yang tinggi.
Di belahan dunia lain, kita dapat melihat bagai- mana Negara Uni Soviet (Rusia) dan Yugoslavia me- nyelesaikan persoalan Bangsanya dengan cara-cara "Karakteristik Politik". Di semenanjung Korea, kita da- pat melihat dua Negara sahabat (Korea Utara dan Korea Selatan) berjuang keras untuk mencari kesamaan di atas visi-visi perbedaan politik kedua Negara. Sementara itu, di Benua Afrika menyisakan rekam sejarah peradaban manusia yang berjuang untuk menaiki tangga-tangga kemuliaan kema- nusiaannya, yang ditingkahi buasnya kepentingan- kepentingan Asing untuk menguasai.
Sementara di sisi lain, persada Nusantara dalam payungan Garuda Mas Pancasila menyisakan selempang khatulistiwa yang turut menyadarkan bahwa inilah kekayaan negeri yang segera diselamat- kan dari ancaman pemunahan. Dulu, maka lahirlah Proklamasi untuk mengawali semua kehendak dan cita-cita suci ini, dengan mengawal misi hidup bersama pada hari ini dan di masa mendatang dalam kejayaan dan kemulyaan di haribaan Ibu Pertiwi.
Untuk membangun budaya dan Identitas-pikir Pancasila di sanubari anak Bangsa adalah agenda mendesak diaplikasikan di seluruh jejaring Bangsa dengan semangat keterpanggilan. Pengembangan budaya dan Identitas-pikir Pancasila ini merupakan prioritas pengabdian mengawal cita-cita Proklamasi "Dari Barat Sampai ke Timur", sesuai frame lagu : "Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau, sambung menyambung menjodi satu, itulah Indone¬sia../'. Itulah Negara Kepulauan (Archipelago State) yang membentang dengan 17.640 gugus pulaunya yang kini telah berusia setengah abad lebih. Salah satunya adalah semangat GALAKSI (Gerakan Aksi Langsung Amalkan Sejak Dini) Pancasila yang harus ditumbuhkembangkan sebagai perisai memperkuat Jatidiri Bangsa demi keutuhan NKRI menjaga Batin Negeri.
Manifestos! akan terpatrinya simbol persatuan "Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa" dalam dada anak Bangsa adalah pemicu motivasi untuk bangkit. Sebagaimana bait lagu " Satu Nusa/ Satu Bangsa/ Satu Bahasa kita// Tanah Air/ pasti /a/a/ untuk selama-lamanya// Indonesia Pusaka/ Indonesia Tercinta// Nusa Bangsa/ dan Bahasa/ kita bela bersama//, artinya kapasitas kejuangan anak Bangsa harus menghindar dari memaksakan kehendak sendiri, mengedepankan ego kepentingan pribadi, aus rasa toleransi dan merasa benar sendiri.
Sehingga Rumah Motivasi anak Negeri sarat dengan kemampuan saling menginspirasi. Sebagai¬mana halnya semangat juang dan kebangkitan Tuanku Imam Bonjol, saling lempar-tangkap dengan Pangeran Antasari, Pattimura, Ngurah Rai, Tengku Umar, Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, sampai Pengawal Proklamasi Bung Karno dan Bung Hatta. Semuanya digagas dengan semangat Kesetiakawanan Sosial Nasional.
Amanat perjuangan Nasional dalam segala lini aksi (GALAKSI) Pancasila adalah Cita Nurani anak Negeri untuk menghindar sejauh mungkin da ri penyimpangan kehendak batin Negeri. Dalam Galaksi Pancasila, terutama, derajat keterpanggilan anak Bangsa adalah sesuai dengan amanah sila kedua, "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab," sebagai Semesta Inisiatif Prilaku. Sesungguhnya ini adalah perwujudan nilai dasar dan visi cerdas Found¬ing Fathers dalam memproyeksikan Indonesia masa mendatang dengan Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidupnya. Suatu Indonesia yang sarat dengan etika dan nilia pemuliaan harkatdan martabat manusia dan memanusiakan manusia.
Jika Pancasila adalah Pandangan Hidup berbangsa dan bernegara, Peradaban Manusia Indonesia adalah perwujudan dari kesejahteraan dan keadilan sosial sebagai Cita-idealnya. Hal tersebut dapat tercapai dengan optimalisasi sumber daya sosial yang paripurna untuk kemaslahatan umum. Di negeri seberang Bumi Pertiwi, banyak contoh ketika suatu Negarabangsa berhasil mengkonsolidasikan energi sosialnya menjadi platform interaksi kemasyarakatan, maka hasilnya Negara digdaya dan mulia.
Sila Kelima Pancasila ini membangun suatu penger- tian bahwa Keadilan Sosial dan Kesejahteraan Sosial adalah bagi semua, bukan sebaliknya. Keadilan sosial itu ialah tatanan yang bertujuan terciptanya kesejah¬teraan bagi seluruh lapisan. Pertama, kesejahteraan ini mencakup kecukupan pemenuhan kebutuhan hidup, kedua, kesempatan mengakses (kerja) sumber ekonomi- produksi. Maka bagi yang terkebelakang, yang tertinggal dan yang terpinggirkan tetap dimungkinkan terpenuhinya hak-hak kodrati, hak-hak asasi dan capaian-capaian kemuliaan hidupnya ketika dikembalikan ke bingkai sila keadilan sosial.
Aspek Cita ideal ini mengapa perlu diingatkan terus, sebab tak jarang keterpecahan suatu Negara¬bangsa ialah akibat belum terpenuhinya kesejah¬teraan umum rakyatnya dan tidak terselenggaranya keadilan dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Walhasil, apa yang menyulitkan bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukannya ialah akibat dari tangan sendiri enggan menyorong tindakan konkrit untuk maju dan mandiri dengan kejayaan masa depan. Yang perlu diinsyafi bahwa perubahan suatu kaum untuk maju itu bukan diberikan melalui tangan orang lain, melainkan melalui tangan sendiri yang berjuang dan mematri semangat untuk kemajuan bangsa.
SEPANJANG kesadaran generasi antara generasi, sudah terpatri dinamisasi memori kolektif bangsa bahwa negeri ini merupakan negeri kaya yang tak terpermanai. Inilah yang menghadirkan semangat bekerja keras, ulet dan bersahaja penuh rasa syukur pada diri Jatidiri bangsa ini. Maka tepat sekali menurut Sukarno jika Pancasila diperas nilai-nilai sila-silanya akan hanya menjadi satu sila; satu kekuatan, satu harakah, satu spirit Manusia Indonesia untuk Indonesia satu; yaitu Gotong Royong. Gotong Ro- yong adalah suatu semangat kerja keras, ulet dan penuh kesungguhan dalam mewujudkan Persatuan Indonesia dalam kebersamaan dan persatuan itu sendiri.
Dahulu kala, negeri ini menjadi tujuan pelayaran kapal-kapal dagang bangsa Eropa. Tidak hanya Eropa, bangsa Asia seperti Tiongkok sempat berlabuh pada dermaga-dermaga dagang nusantara. Alasan itulah yang menyebabkan bangsa ini kaya dengan pengetahuan tradisi dan budaya bangsa lain. Bahkan menambah kokoh setiap tradisi dan nilai yang menjadi anutan para pribumi. Semua tradisi dan nilai bukannya hilang, akan tetapi bertambah adiluhung dan wibawa setiap perbawanya. Terbentuklah kemudian Budipekerti luhuryang tersemayam dalam sanubari setiap insan di negeri ini.
Generasi berganti generasipun, nilai-nilai ini sejatinya masih ada (eksis); menetap dalam setiap kesadaran yang terdinamisasi oleh memori kolektif akan rupa kekayaan Bumi Ibu Pertiwi. Dan sejak itu pula bangsa ini berkesempatan untuk tampil dan memegang andil dalam percaturan perubahan Dunia. Siapa yang akan menyangkal akan hal ini? Jika bukan kita, bangsa ini, enggan untuk membangkitkan memori kolektif itu. Atau sekedar payah-layah melihat dan mendengar perubahan zaman diseretglobalisasi, tanpa ada Rasa ingin dan usaha bangkit lagi.
Namun bangsa ini harus bangkit dengan segenap kesadaran barunya serta memori kolektif yang mengandunginya. Kini, dalam era keterbukaan, dinamisasi memori kolektif itu telah memanggil kesadaran baru akan pentingnya keterpanggilan untuk membangun negeri ini lebih maju. Masalah kekinian dari setiap problem bangsa ini menuntut untuk ditempuhkan melalui penyelesaian yang penuh kearifan dan dengan mengedepankan sikap altruisme. Maka lambaran sikapnya tentu berdasarkan memori kolektif akan kekayaan bumi pertiwi yang gemah ripah loh jinawi. Biartak hilang tak lekang, membentur zaman yang terus berubah.
Dalam membangunkan kembali memori kolektif Generasi ini, kembali pula kita tertuntut untuk membangkitkan tradisi menjaga keutuhan negeri melalui dinamisasi memori kolektif negeri akan kekayaan bumi pertiwi yang menaungi lintasan estafet anak negeri; berupa komitmen menjaga keutuhan negeri, membina negeri, membangun komunikasi sesama anak negeri dan mengisi demokrasi seraya mengatur diri mengarungi globalisasi.
Dalam kata 'Generasi' sendiri muncul sebuah akronim Generasi Pancasila. Generasi Pancasila adalah Gerakan Estafet Nasional Eratkan Rasa-ingin Satukan Indonesia berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila dan Budipekerti Manusia Indonesia. Mengingat Rasa ingin yang seyogyanya menjadi semangat pacuan membangun negeri ini, perlu dibangkitkan dan dilecutkan di tengah perubahan perikehidupan manusia di segala bidang. Gerakan Estafet Nasional Eratkan Rasa-ingin Satukan Indone¬sia adalah upaya menyambungkan memori kolektif generasi antar generasi secara nasional sekiranya membentuk Rasa Ingin menyatukan Indonesia.
Rasa ingin ini, kelak, tidak hanya berhenti di "menyatukan Indonesia" saja. Tetapi juga Rasa ingin yang merengkuh sikap mau bertindak, mau bergerak, rela berkorban membangun dan mewujudkan kesejahteraan rakyat yang bertopang pada Sila
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Rasa- ingin Satukan Indonesia adalah peluang terbesar memperkokoh pelibatan Persatuan dan Kesatuan yang menyulut 'Obor' Pancasila meluruskan tatanan. OBOR ialah Optimis Bangun Organ Republik berdasarkan Pancasila; suatu sikap optimis, percaya diri dengan limpahan kekayaan alam dan batin negeri untuk memulihkan dan membangun organ republik yakni Konstitusi, Semangat Nilai Pancasila, Budipekerti Tradisi luhur, dan semangat juang rela berkorban.
IBARAT satu tubuh, negara ini memiliki anatomi. Ibarat satu bangunan, negara ini mempunyai struktur. Dari sinilah, dan kerena itu, negara ini dikenal dan dirasakan sosok dan rupanya. Negara akan kokoh bila fundamen negara itu kuat dan rapih menyokong struktur. Pula, organ-nya harus mampu bergerak leluasa sebisa mungkin memberikan ciri kehidupan atas berjalannya tatanan bernegara. Zaman berganti zaman, periode pemerintahan telah silih berganti. Mari tengok bagaimana bentuk masyarakat kita kini.
Hempasan krisis keuangan (moneter) yang melanda Asia Tenggara (1997) turut menyentuh In¬donesia yang berujung membawa perubahan di segala bidang. Perubahan ini dikenal dengan Reformasi. Dari tonggak perubahan ini, Konstitusi kita mengalami perubahan. System presidensiil dipertegas sejak angin reformasi berhembus. Korupsi diberantas dan dicegah di mana-mana. Pemerintah semakin dituntut untuk transparan dalam segala langkah dan kebijakannya. Seiring dengan itu kran kebebasan semakin terbuka. Beberapa orang dengan beratas nama demokrasi tanpa sengaja tak mengindahkan aturan-aturan tatanan sosial lainnya di jalan. Kebebasan ini lebih jauh telah membawa anomali- anomali kebudayaan yang tak sesuai dengan Pancasila dan kepribadian Orang Timur dan Budipekerti Manusia Indonesia.
Reformasi merupakan kata mujarab untuk melambungkan harapan-harapan akan datangnya tatanan perikehidupan bernegara dan bermasya- rakat yang aman adil dan tertib menyongsong kemajuan. Untuk itu fundamen negera telah dikritisi oleh beberapa pakar untuk dibenahi lebih baik dan akhirnya diubah. Konstitusi UUD NRI tahun 1945 yang selama ini tidaksempatdiamandemen, padahal Pasalnya sendiri menyediakan peluang itu, telah mengalami perubahan demi kehendak baik Reformasi itu. Tetapi masyarakat kita tergagap akan perubahan itu, bahkan ada yang menghendaki untuk kembali lagi. Suatu anomali. Bahkan ada yang tak mengerti. Ini satu permisalan tentang keterbelahan kesadaran masyarakat dalam membangun suatu Organ tatanan masyarakat. Sisi lainnya, masyarakat akibat globalisasi telah terdefinisikan secara jauh menjadi suatu organisme yang "hanya" berkecenderungan membangun sisi material dari peradabannya. Resultansinya, dalam diri mereka hadir kegelisahan dan kekosongan dalam menentukan langkah-langkah strategis dalam menghadapi perubahan. Walaupun ini, tidak sepenuhnya melanda "masyarakat tradisi" kita, seperti di desa-desa itu.
Padahal jika dilihat secara jauh mendalam, hanya Pancasila yang merupakan perasan kearifan yang datang dari kesadaran dan pengalaman hidup para leluhur yang mampu memberikan alternatif nilai dan solusi komprehensif dalam menghadapi perubahan- perubahan ini yang menimbulkan anomali dalam masyarakat kita. Lihat saja Sila Pertama, bukankah kita selalu diajak untuk mengaitkan segala persoalan hidup bernegara dan berbangsa kepada Tuhan Yang Ma ha Kuasa? Sila kedua mengajari kita nilai-nilai kemanusiaan yang mulia baik dalam kehidupan ataupun untuk membangun peradaban. Lalu mengapa kita masih mengindahkan sistem dan nilai asing yang tidak mengenalkan kita pada kedirian kita, kepada jatidiri bangsa terutama nilai kemanusiaan itu yang tersirat dalam Sila Kedua Pancasila? Demikian juga dengan sila-sila lainnya.
Apabila kita benar-benar mempunyai niatan yang tulus dan i'tikad yang kuat untuk Berdikari (berdiri di Kaki sendiri) maka Pancasila telah menyediakan diri untuk menemani, memayungi, dan menghantarkan bangsa ini maju dan berjaya. Tak perlu lagi ada sikap putus asa, gampang menyerah dalam meneruskan cita dan semangat juang '45. Kita tidak perlu lagi menambah ongkos sosial atau ekonomi untuk menciptakan perubah¬an yang positif, jika kita segera kembali ke dalam jatidiri bangsa ini untuk digali, dipahami, dimaknai dan diung- kapkan dengan sebenarnya.
'Obor' Pancasila merupakan satu langkah jitu untuk mengembalikan semangat Generasi Pancasila kembali kepada kediriannya dalam kerangka Negara Republik Indonesia. Bila ada disintegrasi periferal jangan lupa ada apa dengan struktur dan sentrum kesadaran Republik ini. Maka ialah Pancasila meniscayakan diri untuk segara direstorasi dalam segala perikehidupan anak negeri. OBOR Pancasila adalah Optimis Bangun Organ Republik berdasarkan Pancasila. Dalam hal ini kita harus bersatu untuk mengokohkan Persatuan Indonesia.
Dengan Obor Pancasila ini secara analog dan simbolis telah jelas segala bentuk pengertian dan maksud dari sila per- tama sampai keempat tertuang dalam sila kelima. Bahwa tujuan kita berketuhanan ialah untuk mengenal nilai-nilai kemanusiaan sehingga kita mengenal pada diri sendiri (Siapa Manusia itu?) setelah mengenal manusia kita bertujuan untuk berkumpul (Jamaah) bermasyarakat sebagaimana tersirat dalam sila ketiga. Maka jadilah Bangsa ini menghuni Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari sini kita masih bertujuan mengejar dan meraih suatu tatanan ideal dalam bermasyarakat dan bernegara, oleh karenanya silo keempat memberi banyak siratan pesan dan nilai. Lalu semua itu tentu bertujuan seperti yang dimaksud oleh sila kelima. Alhasil berdirinya NKRI adalah untuk membangun suatu Organ Republik yang bisa melin- dungi yang lemah dan menyejahterakan yang papa dalam satu Jamaah; Republik Indonesia. Mari terus ber-Galaksi (Gerakan Aksi Langsung Amalkan Sejak Dini) Pancasila dengan Bangun Pagi bangun negeri dengan Prestasi. Salam