Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Skandal Trio Pesohor "Papa Minta Saham"
Inikah negeri yang lekat dengan berbagai skandal, seolah tak pernah bergeser menyelundupkan mentalitas pragmatis kendatipun peradaban dunia.
Oleh : Jamie Raya
TRIBUNNERS - Perbincangan publik mengenai kasus skandal dalam rekaman berbahaya persekongkolan jahat perpanjangan kontrak PT Freeport McMoRan yang di lakukan antara Setya Novanto (SN), Muhammad Reza Chalid (RC) dan Maroef Syamsudin (MS). Secara sadar dan masif, menyita energy khalayak republik akhir-kahir ini.
Ilustrasi skandal “papa minta saham” (mou mafia) yang kian trendi kini, bermula terbongkar dari kicauan yang berujung pelaporan Menteri ESDM Sudirman Said (SS) ke Mahkama Kehoramatan Dewan (MKD) terkait adanya pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden oleh SN dalam perbincangan berbahaya tersebut. Sebelumnya tak ada yang mengira, bahkan masyarakat meneba-nebak siapa tukang catut ini.
Inikah negeri yang lekat dengan berbagai skandal, seolah tak pernah bergeser menyelundupkan mentalitas pragmatis (eksekutor) kendatipun peradaban dunia semakin melaju. Sikap tunarasa orang-orang di pusaran kekuasaan yang hingga akhirnya merembes pada distorsifnya moralitas institusi negara, mereduksi makna pejabat publik menjadi sangat dangkal bagi khalayak penerima dampak.
Sebab tak ayal, objek yang berbicang dalam rekaman tersebut adalah orang-orang besar, hebat, gerbong elite yang menguasai panggung strategis di republik ini. Konon selain SN, RC, dan MS. Yang mecengangkan, ternyata isi rekaman ada 66 kali nama Luhut Binsar Panjaitan (LP), Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM yang disebut ikut nimbrung dalam percakapan tersebut, ruar biasa.
Rangkain pelik persekongkolan para pemburu rente ini, alhasil menurut Rizal Ramli (RR) yang membuai dengan fantasi ngepretnya, bahwa kasus konyol yang disajikan saat ini sesungguhnya tidaklah lain hanyalah drama, sinetronisasi dungu dari perseteruan dua kubu.
Semakin kabur, infotaimen politik yang disampaikan RR, terkesan ambigu, gelap tidak modis menempatkan dirinya sebagaimana layaknya posisi pejabat negara yang seharusnya bersikap lebih netral dan transparan, tidak memperkeruh situasi. Kegaduhan tafsir semakin menjadi-jadi akibat statemen si ngepret ini seakan mengkonfirmasi sekaligus, betapapun dirinya tahu siapa saja yang terkoneksi dalam satu mata rantai jaringan kubu yang terjerat skandal.
Sedikit resensi Ngepret, jurus sableng yang legal dalam seri cerita silat pendekar-pendekar gendeng. Senjata andalan Wiro saat berburu petualangan di dunia pesilatan bersama sang Sinto (guru gilanya yang canggih).
Digandrungi lisensi orang sakti, Wiro baru bisa mewariskan ngepret, doi melewati sederatan terjal iblis. Bahkan si gendeng harus bertarung dengan siluman betina dari telaga Luwu. Itu sebabnya sedari awal dipastikan bukan sekedar timbulkan kegaduhan, badai gurun pun bisa terjadi jika siapapun genit bereksperimen meraung bertarung pakai trik kepala rajawali yang berasal dari lembah tengkorak ini.
Kembali ke LP yang memilih langkah reaktif atas kasus skandal besar yang akhirnya menjadi prahara disebabkanterlanjur dimuatnya pada arena publik ini. LP bahkan lebih cepat tanggap dibanding dari pada siapapun termasuk Presiden dan Wakil Presiden sebagai korban pencemaran nama baiknya dicatut.
Barangkali sikap yang diambil LP tepat sasaran, agar masalah segera dapat dilokalisir, tidak semakin menyebar dan menyeruak kemana-mana sehingga berefek buruk pada stabilitas politik episode baru terutama seteru antara Eksekutive versus Legislative yang memang selama ini terjebak pada anomaly "rival" politik pasang surut. Langkah responsive LP, adalah tindakan hebat menjadi tameng kehormatan Presiden dan Wakil Presiden, karena diakui memang dia adalah salah satu dari sekian representasi halaman istana.
Apa yang terjadi?! Publik dan media massa mungkin terlalu spekulatif atau setidaknya kecolongan. Langkah seribu yang di ambil LP tampaknya tidak seperti yang media dan khalayak duga. LP benar agresif, bukan bertindak layaknya super hero penyelamat negara.
Tetapi reaksi yang menggemparkan pada konferensi persnya LP (terutama), sejatinya seolah-olah LP ingin berusaha memutus penularan dan penyerempetan kemana-mana kasus ini. Lebih Surprise-nya lagi, justru LP (sang mantan jenderal) dengan nada yang menggebu-gebu, tunnes-nya tegas menuding SS bertindak di luar “koridor norma”.
Bahwa tindakan pelaporan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden yang di ambil oleh SS tidaklah atas pengetahuan Presiden. Kesan negative yang ingin digiring LP, publik menangkap sinyalemen seolah-olah si pelapor (SS) bersikap independen melangkahi Presiden dan Wapres. Intonasi “adu domba” semacam itu memancing panas mendidihnya emosi khalayak awam yang menjurus pada SS bisa saja terjadi.
Tetapi tak pelak "untung sebelum buntu" hal tersebut segera langsung dijawab oleh Jusuf Kalla (JK). Wakil Presiden saat di konfirmasi membenarkan SS bahwa sebelum melapor ke KMD, sudah terlebih dulu menghadapnya.
Banyak suara sumbang menanyakan mengapa LP begitu jinak? justru sasaran tembak ngepretnya SS (satu kandang).