Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Keunikan Kampung Pitu di Gunung Kidul
KAMPUNG Pitu adalah sebuah komunitas adat yang masih tetap eksis di tengah gempuran budaya masyarakat yang semakin modern.
Penulis: Adnan Sholihin
Editor: Yulis Sulistyawan
KAMPUNG Pitu adalah sebuah komunitas adat yang masih tetap eksis di tengah gempuran budaya masyarakat yang semakin modern.
Komunitas adat ini berada di dataran tinggi Pegunungan Nglanggeran. Tepatnya di Padukuhan Tlogo, Desa Ngalanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul.
Menurut penuturan sesepuh adat, Mbah Yatno Rejo, komunitas ini sudah ada sejak dahulu.
Beliau sendiri adalah sesepuh adat generasi ke-empat. Diperkirakan keberadaan komunitas ini sudah ada di Padukuhan Tlogo sejak 200-an tahun yang lalu.
Sebelum Kampung Pitu menjadi hunian penduduk, kampung ini adalah hutan belantara. Konon di hutan ini terdapat sebuah pohon langka bernama pohon kinah gadung wulung.
Selain terbilang langka, pohon ini juga menyimpan sebuah pusaka yang menurut cerita memiliki kekuatan besar. Pihak keraton yang mengetahui hal tersebut, langsung mengirim utusan ke Gunung Nglanggeran untuk menjaga, membersihkan daerah sekitar pohon dan merawat pusaka yang berada di dalamnya.
Untuk mendapat orang terbaik, pihak keraton kemudian membuat sayembara untuk menentukan siapa yang akan berangkat ke Gunung Nglanggeran. Bagi siapapun yang sanggup melaksanakan tugas dari keraton, maka akan diberi tanah secukupnya untuk anak dan keturunannya.
Pusaka tersebut menarik banyak orang untuk mendapatkannya. Dari beberapa orang, hanya Eyang Ira Dikrama yang mampu menjalankan perintah dari Keraton.
Setelah Eyang Ira Dikrama berhasil masuk hutan dan mengamankan pusaka yang berada di dalam pohon kinah gadung wulung, selanjutnya pusaka tersebut disimpan di Keraton Yogyakarta.
Akhirnya, setelah itu banyak empu dan orang sakti yang berdatangan ingin tinggal di daerah Tlogo, namun hanya tujuh orang yang kuat hidup.
Sisanya meninggal, karena tidak kuat dengan efek dari benda pusaka tersebut yang masih memiliki kekuatan supranatural yang tinggi.
Jumlah kepala keluarga (KK) yang tinggal di Kampung Pitu dari dahulu hingga sekarang tetap berjumlah tujuh, tidak kurang tidak pula lebih. Apabila dari keturunan mereka sudah menikah dan ingin mendirikan rumah dan KK sendiri, maka harus keluar dari sekitar Padukuhan Tlogo.
Kalaupun tetap ingin tinggal di sekitar Tlogo, maka harus menunggu sampai ada kepala keluarga yang meninggal terlebih dahulu.
Menurut cerita, bila ada seorang warga Kampung Tujuh yang mendirikan bangunan rumah dan jumlah KK lebih dari tujuh, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kepala keluarga sering sakit-sakitan atau tidak betah sehingga ingin pergi dari rumahnya.
Bahkan, bisa saja ada kejadian gaib yang mengganggu kehidupannya, lebih parah lagi bisa mengakibatkan kematian. Keanehan tersebut masih ada sampai sekarang. Hal ini menjadikan kawasan Tlogo terkesan unik dan sakral.
Itulah sejarah singkat, mengapa kampung tersebut disebut Kampung Pitu, karena memang penduduk yang berada di pemukiman ini berjumlah tujuh kepala keluarga (7 KK).
Anehnya jumlah 7 KK itu tidak pernah berkurang dan tidak pula bertambah. Dari dahulu hingga sekarang jumlahnya tetap 7 KK.
Menurut penuturan sesepuh adat, pernah ada masyarakat luar yang mencoba tinggal di Kampung Pitu, namun mereka tidak bertahan lama.
Terlepas dari hal sakral dan mitos tentang Kampung Pitu, hal yang menjadi faktor utama orang di luar kampung tidak bisa bertahan lama di Kampung Pitu adalah faktor geo-ekonomi.
Perkampungan ini terletak di dataran tinggi yang sulit diakses. Jalan menuju ke lokasi terbilang sulit dijangkau.
Kendaraan roda empat bisa dipastikan tidak bisa memasuki perkampungan ini. Jarak antara rumah satu dengan rumah lainnya sangatlah jauh.
Di kampung ini tidak ada toko kelontong ataupun warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari, sehingga untuk memenuhi kebutuhan pokok warga harus keluar kampung dan berjalan berkilo-kilo menuju toko di luar kampung.
Selain memiliki mitos tujuh KK, Kampung Pitu memiliki tradisi adat yang masih bertahan hingga kini.
Tradisi tersebut di antaranya adalah rasulan, tingalan dan bersih makam. Tradisi rasulan bisa dikatakan sama dengan daerah lain di DIY, namun bedanya rasulan di Kampung Pitu dilaksanakan dua kali setahun.
Tradisi selanjutnya adalah tingalan atau ulang tahun. Ulang tahun di Kampung Pitu mirip dengan syukuran, di mana warga yang ulang tahun memotong beberapa ayam, dan mengundang warga lainnya untuk makan bersama.
Yang unik di Kampung Pitu, tidak hanya penduduk lokal yang merayakan ulang tahun, binatang peliharaan, seperti sapi dan kerbau pun merayakan ulang tahun.
Tradisi selanjutnya, yakni bersih makam. Acara ini digelar setahun sekali, beberapa hari menjelang puasa Ramadhan.
Makam yang dibersihkan adalah makam sesepuh dari Kampung Pitu yakni makam Mbah Ira Dikrama, yang merupakan orang pertama yang membuka lahan dan memulai kehidupan di Kampung Pitu.
Kampung Pitu memiliki pantangan kebudayaan. Setidaknya ada tiga pantangan yang harus dihindari, yakni yang pertama, saat melakukan kesenian wayang kulit, dalang dilarang atau tidak boleh membelakangi Gunung Nglanggeran, Yang kedua, cerita wayang tidak boleh menceritakan tentang hal Ongko Wijaya yang disakiti. Yang ketiga, zona bagian utara Gunung Nglanggeran tidak boleh mengadakan kesenian wayang kulit.
Di Kampung Pitu terdapat sebuah sendang atau mata air yang bernama Tlogo Mardhido / guyangan. Konon mata air di sendang tidak pernah kering, meskipun musim kemarau tiba.
Oleh masyarakat sendang ini dijadikan sumber kehidupan dan keperluan sehari-hari, seperti mandi dan konsumsi. Konon sendang ini adalah tempat untuk memandikan jaran sembrani atau kudanya bidadari.
Setiap jaran sembrani yang turun dan menginjakkan kaki di batu besar samping tlogo, kaki tersebut membekas di batu; hanya dengan doa tertentu, batu bekas injakan jaran sembrani bisa terlepas sendiri dari batu yang besar.
Pada hari-hari tertentu sendang ini ramai dikunjungi warga. Beberapa warga yang datang umumnya mereka melakukan ritual maupun tirakatan di tempat ini. Sendang ini dipercaya oleh sebagian warga sebagai tempat yang makbul bila kita memiliki keinginan.