Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Draft Revisi UU KPK Bukti Parpol Mewakili Kepentingan Koruptor
Bagi sebagian anggota DPR dan partai politik memaknai draft revisi UU KPK dalam prolegnas 2016 di DPR sebagai upaya memperkuat kelembagaan KPK.
Editor: Dewi Agustina
Penulis: Petrus Selestinus
Advokat Peradi dan Koordinator TPDI
POLEMIK tentang perlu tidaknya merevisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sudah sampai memasuki zona anti tesis yang menghadapkan DPR dan sebagian partai politik pada argumentasi dan perdebatan apakah revisi itu untuk menguatkan atau melemahkan KPK.
Bagi sebagian anggota DPR dan partai politik memaknai draft revisi UU KPK dalam prolegnas 2016 di DPR sebagai upaya memperkuat kelembagaan KPK.
Sementara perdebatan yang mengemuka di ruang publik oleh publik dikonstatir sebagai draft revisi yang bertujuan untuk memperlemah dan membubarkan KPK.
Kondisi ini memberikan gambaran nyata betapa penyelenggara negara dengan kekuatan politik yang dimiliki sangat berkepentingan dengan rasa nyaman dalam praktek korupsi melalui bubarnya KPK atau setidak-tidaknya bagaimana caranya memperlemah KPK, baik melalui upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK maupun melalui revisi UU KPK, sebagaimana saat ini tengah berlangsung.
Munculnya wacana, baik secara perorangan maupun secara institusi seperti pimpinan parpol, pimpinan fraksi di DPR RI dan anggota DPR yang secara terbuka menyatakan dukungan dan hasratnya untuk merevisi UU KPK.
Bahkan ada yang mau membubarkan KPK dengan embel-embel kalau korupsi sudah berhenti, secara semiotika menggambarkan terdapat keinginan kuat dari pimpinan partai politik dan anggotanya di DPR untuk memperlemah KPK demi memberi rasa nyaman kepada koruptor-koruptor yang tidak lain adalah kader-kader partai politik dan kroninya di eksekutif.
Pernyataan Ketua Umum DPP. PDIP Megawati Soekarnoputri yang tanpa malu-malu menyampaikan hasratnya tentang perlunya pembubaran KPK, jika korupsi sudah berhenti dalam forum resmi seminar hari Konstitusi di MPR pada tanggal 22 Agustus 2015, memberi signal kuat bahwa hasrat politik Megawati Soekarnoputri dengan segala kapasitas yang dimiliki untuk membubarkan KPK itu, masih sangat kuat.
Karena karakter politik PDIP selalu tidak happy dengan keberadaan lembaga anti korupsi, bahkan PDIP berpengalaman dalam membubarkan lembaga anti korupsi yaitu KPKPN, ketika Megawati Soekarnoputri jadi Presiden RI tahun 2001 s/d tahun 2004.
Pernyataan Megawati Soekarnoputri tersebut telah berdampak sangat luas terutama mendorong sejumlah pimpinan partai politik terutama dalam Partai Koalisi Indonesia Hebat (KIH) secara berjamaah menyatakan dukungan terhadap revisi UU KPK dalam prolegnas 2016 sebagaimana saat ini draft RUU Revisi UU KPK tengah dibahas di DPR guna mendapatkan pengesahan menjadi RUU.
Di ruang publik kita menemukan suara publik yang menolak secara tegas isi draft revisi UU KPK yang kemudian mendapat dukungan dari Partai Gerinda, Partai Demokrat, Partai PKS dan Partai Golkar versi Agung Laksono.
Ada 4 (empat) poin utama dalam draft revisi UU KPK untuk dijadikan RUU mengandung pelemahan terhadap KPK.
Ke-4 (empat) poin itu adalah: Pertama perlunya Dewan Pengawas yang berfungsi mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.
Kedua perlunya KPK diberi wewenang mengeluarkan SP3, Ketiga KPK tidak boleh mengangkat sendiri penyidik dan penuntut umum.
Keempat Penyadapan harus mendapat izin terlebih dahulu dari Dewan Pengawas.
Serahkan Pengawasan KPK Kepada Masyarakat
Keberadaan dewan pengawas untuk KPK jelas sebagai sebuah gagasan yang mubazir, karena selama ini belum terbukti KPK sungguh-sungguh menyalahgunakan tugas dan wewenangnya untuk kepentingan lain di luar tujuan pemberantasan korupsi.
Pengawasan terhadap kerja KPK selain melalui penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas, juga oleh masyarakat secara aktif telah menjalankan tugas "peran serta masyarakat" yang sejalan dengan perintah UU, tidak saja untuk mengawasi KPK tetapi juga mengawal KPK ketika terjadi pelemahan atau kriminaisasi dari manapun datangnya.
Karena itu ide tentang perlunya dewan pengawas dengan sejumlah kewenangan tertentu jelas tidak masuk di akal sehat publik, karena sebuah Dewan Pengawas dengan fungsi mengawasi tetapi diberi kewenangan mengatur yang berpotensi disalahgunakan untuk melemahkan dan menghambat bahkan melindungi koruptor (seperti kewenangan memberi ijin penyadapan atau penyitaan dll).
Karena itu pengawasan terhadap KPK serahkan saja kepada masyarakat melalui "peran serta masyarakat" dalam pemberantasan korupsi dan dikontrol secara efektif melalui praperadilan dan gugatan Rehabilitasi dan Konpensasi melalui Pengadilan sesuai ketentuan pasal 63 UU No. 20 Tahun 2002 Tentang KPK.
Begitu pula kewenangan KPK mengeluarkan SP3, hal ini berpotensi disalahgunakan oleh kekuatan lain di luar KPK untuk mengintervensi KPK, lagi pula KPK sudah diberi kewenangan oleh pasal 44 ayat (3) UU KPK untuk menghentikan Penyelidikan dan pasal 32 UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Korupsi berupa mengalihkan proses penyidikan pidana korupsi menjadi perdata kepada Jaksa Pengacara Negara untuk mengajukan gugatan perdata, manakala dalam penyidikan, unsur-unsur pidana tidak terdapat cukup bukti, tetapi negara dirugikan.
Dengan demikian untuk apa memperdebatkan kewenangan KPK untuk mengeluarkan SP3, mengingat di dalam UU No. 20 Tahun 2002 dan UU No. 31 Tahun 1999 sudah diatur secara lengkap?
Ketentuan pasal 63 UU KPK mengatur tentang bagaimana kontrol terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK secara bertentangan dengan UU ini atau dengan hukum yang berlaku, orang yang bersangkutan berhak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau konpensasi terhadap KPK.
Gugatan sebagaimana dimaksud tidak menghalangi hak orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan, dan seterusnya.
Ide atau gagasan untuk merevisi UU KPK sebagaimana tertuang dalam draft RUU revisi UU KPK susungguhnya sudah keluar dari konteks dan substansi penguatan terhadap KPK.
Mengapa, sebab kejahatan korupsi telah dinyatakan sebagai kejahatan yang luar biasa atau extraordinary crime yang menjadi musuh bersama dan KPK sebagai lembaga yang super body.
Yang oleh ketentuan pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menegaskan bahwa: Komisi Pemberantasan Korupsi adalah Lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat Independen dan bebas dari kekuasaan manapun.
Kemudian di dalam penjelasan pasal 3 dimaksud disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "kekuasaan manapun" adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif dan legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
Mengapa pembentuk Undang-undang memberi penguatan berupa Independensi KPK yang begitu kuat, karena pada tahap ini KPK selalu berhadapan dengan kekuatan koruptor yang tidak berdiri sendiri tetapi memiliki kaitan langsung dengan kekuatan pusat kekuasaan (kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi).
Yang dengan kekuatan itu mereka bisa melakukan apa saja terhadap KPK, bisa dilakukan sejak pembentukan Panitia Seleksi Pimpinan KPK, penempatan Penyidik, Penuntut dan Hakim-hakim tipikor, dll.
Karena itu, kekuatan di luar KPK yang mencoba-coba mempengaruhi jalannya proses perkara di KPK termasuk keberadaan Dewan Pengawas KPK brtentangan dengan ketentuan pasal 3 diatas, yang menutup jalan bagi masuknya kekuatan manapun yang mencoba menghambat kinerja KPK.
Usaha untuk mempengaruhi KPK dil luar KPK bukan tidak ada dan bukan pula yang kecil-kecil, melainkan kekuatannya yang luar biasa dan dengan cara apapun juga bisa dilakukan oleh mereka termasuk melalui upaya hukum yang tersedia, yaitu praperadilan.
Jadi sesungguhnya perdebatan mengenai perlu tidaknya merevisi UU KPK, terutama tentang perlunya "Dewan Pengawas" KPK guna mengawasi pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK, sebetulnya merupakan upaya ilegal, yang dimotori oleh DPR dan Partai Politik dalam Koalisi Indonesia Hebat yang bukan menyuarakan kepentingan pemberantasan korupsi akan tetapi lebih kepada mewakili ratapan para koruptor yang merasa tidak nyaman dengan kiprah KPK selama ini.
Padahal berdasarkan bukti empiris tidak banyak pihak yang merasa dirugikan akibat penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK, kemudian menggugat KPK melalui praperadilan, dan nyatanya gugatan yang jumlahnya sedikit itupun mayoritas dimenangkan oleh KPK.
Artinya fungsi pengawasan atau kontrol melalui sarana hukum yang ada berhasil menekan atau membatasi potensi penyalahgunaan wewenang dan tugas oleh KPK.
Sangat kecil kemungkinan terjadi penyalahgunaan wewenang dan tugas KPK, karena penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang dibangun oleh KPK dilakukan secara konsisten, dan bisa dikontrol melalui lembaga praperadilan, peran serta masyarakat dan upaya hukum yang ada yaitu gugatan ke pengadilan berdasarkan ketentuan pasal 63 UU No. 20 Tahun 2002 Tentang KPK.
Dengan demikian salah satu bukti empiris bahkan menjadi indikator bahwa potensi pelanggaran atau penyalahgunaan wewenang dan tugas oleh KPK nyaris tak terdengar.
Hal itu dapat dibuktikan dengan jumlah pihak yang menggugat sangat kecil, angka kekalahan KPK dalam perkara praperadilan sangat-sangat kecil.
Begitu juga dengan adanya fakta bahwa hingga saat ini belum ada satupun korban yang merasa dirugikan akibat penyelidikan, penyidikan, penuntutan oleh KPK menggugat ke Pengadilan.
Apalagi sampai ada putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan KPK bersalah dan harus mengganti rugi dan merehabilitasi nama baik seseorang.
Serahkan pengawasan terhadap KPK kepada masyarakat, sesuai dengan fungsi "peranserta masyarakat" sebagaimana diatur di dalam Bab V, pasal 41 dan 42 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur mengenai peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Begitu pula dengan ketentuan pasal 63 UU KPK yang memberi kesempatan kepada masyarakat atau orang yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan rehabiltasi dan kompensasi baik melalui praperadilan maupun melalui Gugatan Perbuatan Melawan Hukum kepada Pengadilan trhadap KPK.
Dengan demikian kekuatan kontrol dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang KPK sudah cukup diatur dengan sangat bijaksana oleh UU KPK dan UU Tipikor.
Tinggal sekarang bagaimana memaksimalkan peran serta masyarakat, memaksimalkan peran badan peradilan dalam melaksanakan fungsinya dan wewenang kontrolnya terhadap KPK sesuai sesuai ketentuan pasal 63 UU KPK dan peran Jaksa selaku Pengacara Negara dalam melanksanakan fungsi mengejar kerugian negara akibat pengalihan hasil penyidikan KPK yang unsur pidananya tidak terpenuhi, tetapi negara secara nyata dirugikan.