Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Blok Masela, Antara Bemo dan Bus Trans Jakarta
Semua bermula dari pilihannya mengangkut penumpang dari Kota ke Blok M.
Editor: Rachmat Hidayat
Namun, kini Haposan balik badan, jadi pendukung kilang darat alias anshore.
Para pengritik itu adalah kubu Jusuf Kalla (JK), Sudirman Said, dan teman-temannya yang selama ini gigih memperjuangkan kilang apung di laut. Mereka sibuk menebar opini sekaligus stigma, bahwa Haposan tidak konsisten karena sekarang ikut langkah Rizal Ramli sebagai bos barunya.
Padahal, dulu, ketika masih duduk sebagai pejabat SKK Migas, justru Haposan yang mengusulkan plan of development (POD) lapangan Abadi blok Masela dengan skenario kilang mencla-mencle.
Saya sudah menghubungi Haposan untuk perkara ini. Doktor geologi perminyakan lulusan University of Texas itu ternyata punya penjelasan yang masuk akal terkait perubahan sikapnya tadi.
Pastinya, dia bukan sedang mencla-mencle, apalagi hanya karena mengikuti kemauan Rizal Ramli.
Begini penjelasannya. Pertama, kata Haposan, para pengritiknya adalah orang-orang yang tidak paham proses persetujuan POD. Sayangnya, mereka justru berlagak paling mengerti sehingga merasa berhak menyemburkan cemooh sekaligus stigma.
Sejalan dengan Peraturan Tata Kelola (PTK) POD, disebutkan POD yang telah disetujui harus direvisi jika terjadi tiga perubahan. Pertama, volume besaran cadangannya berubah (membesar atau mengecil).
Kedua, terjadi perubahan rencana besaran biaya pengembangan. Ketiga, ada perubahan atas skenario pengembangan. Satu saja dari tiga perubahan itu terjadi, maka POD harus direvisi.
Pada konteks Masela, temuan awal cadangan gas di sana adalah 6-7 trillion cubic feet (tcf). Hasil kajian juga memutuskan memilih membangun kilang offshore. Dengan mengalirkan ke pulau Aru yang berjarak sekitar 600 km.
Maklum, saat itu pulau Aru dianggap paling memungkinkan. Memang ada pulau yang lebih dekat, yaitu pulau Selaru. Namun studi saat
itu menyebutkan ada palung yang dalam sehingga tidak mungkin dilalui pipa bawah laut.
Belakangan terbukti kemiringan palung itu ternyata hanya 2-3 derajat.Alasan berikutnya, dengan cadangan 6-7 tcf, Blok Masela hanya bisa memproduksi gas sebanyak 2,5 mtpa. Itulah sebabnya, pengembangan dengan membangun kilang apung di laut lebih feasible dari pada dibawa ke darat.
Sebagai pejabat yang berwenang di SKK Migas, Haposan menyetujui usulan sekanrio POD kilang laut pada 2010. Asal tahu saja, POD pertama diajukan pada 2008. Namun sekitar tujuh tahun kemudian, Inpex selaku operator mengajukan POD kedua, pada Oktober 2015.
Kali ini disebutkan cadangan yang semula ‘hanya’ 6-7 tcf, ternyata membengkak jadi 28 tcf dengan kapasitas produksi 7,5 mtpa. Artinya, melonjak sekitar 300%.
Nah, berbekal temuan dan data terbaru itulah Haposan kemudian berubah sikap. Sebelumnya dia setuju kilang apung, kini berbalik mendukung pembangunan kilang darat.
Pada titik ini, kita bisa kembali pada tamsil kisah Badu dengan bemonya. Dulu, waktu jadi supir bemo, Badu menyusuri rute Benhil-Tanah Abang. Kini, dengan bus Trans Jakarta, rutenya jadi jauh lebih panjang, Kota-Blok M.