Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Blok Masela, Antara Bemo dan Bus Trans Jakarta
Semua bermula dari pilihannya mengangkut penumpang dari Kota ke Blok M.
Editor: Rachmat Hidayat
Alasannya, dulu bodi dan kapasitas bemo kecil dan sedikit. Sedangkan wujud bus Trans Jakarta jauh lebih besar dan trayeknya jauh lebih panjang.
Pada konteks ini, saya ingin bertanya kepada JK, Sudirman Said dan kawaan-kawannya, mengapa mengapa kalian tetap ngotot menghendaki kilang apung? Bukankah data dan fakta Masela berkembang seperti sekarang, yaitu cadangan naik dari 6-7 tcf menjadi 28 tcf dan kapasitas produksi membengkak dari 2,5 mtpa ke 7,5 juta mtpa?
Tidakkah kalian bisa berpikir lebih jernih sebagaimana yang telah Haposan lakukan dengan berbalik badan?Bukankah hitung-hitungan teknis yang kalian sodorkan, bahwa kilang apung lebih murah dibandingkan kilang darat, itu seluruhnya bersumber dari Inpex dan Shell?
Mengapa kalian menelan mentah-mentah data pihak asing, yang pasti sarat dengan muatan kepentingan mereka? Bukankah mereka sengaja membesar-besarkan (mark up) biaya kilang darat dan
mengecil-kecilkan kilang laut?
Sebagai pihak luar, bagaimana mungkin orang asing akan berjibaku untuk mensejahterakan bangsa dan rakyat Indonesia? Tidakkah semua kalkulasi ini masuk dalam nalar dan nurani kalian?
Saya tahu, bahwa latar belakang pendidikan dan pengalaman JK-SS sama sekali bukan jauh dari jangkauan soal-soal teknis permigasan.
Namun, dengan berprasangka baik, saya ingin menyampaikan penjelasan Haposan terkait temuan data dan fakta yang berujung pada perubahan sikapnya.
Begini. Dengan temuan cadangan gas Masela yang sekitar 28 tcf, seharusnya gas Masela tidak sekadar dijadikan produk LNG. Pasalnya, untuk mengubah gas menjadi LNG diperlukan tambahan biaya sekitar US$2-3/mmbtu.
Saat LNG akan dimanfaatkan, harus diubah kembali menjadi gas dengan biaya yang juga US$2-3/mmbtu. Artinya, proses dari gas ke LNG dan kembali ke gas memberi tambahan biaya sekitar US$4-6/mmbtu.
Dengan fakta tersebut, akal sehat dan nurani yang bersih seharusnya berpikir bagaimana caranya gas Masela bisa memberi nilai tambah bagi penduduk negeri ini. Kalau kilang
dibangun di laut, maka gas dari Masela hanya diangkut ke luar negeri dalam bentuk LNG.
Dari sini Pemerintah akan menerima sekitar US$2,5 miliar/tahun. Sementara itu penduduk Maluku dan sekitarnya cuma jadi penonton sambil gigit jari.
Sebaliknya, jika kilang dibangun di darat mereka dapat ikut menikmati berkah dari Allah Yang Maha Pemurah kepada bangsa ini. Paling tidak, akan ada banyak multiplier effect buat
mereka.
Dengan mengalirkan gas ke pulau Selaru lewat pipa sepanjang 90 km, sebagian gas itu bisa dimanfaatkan untuk pengembangan wilayah Maluku. Antara lain, mendistribusikan CNG ke pulau-pulau sekitarnya menunjang pembangkit listrik dan industri lainnya.
Indonesia akan punya kota Balikpapan atau Bontang baru.
Aspek multiplier effect inilah yang akan mengakselerasi pembangunan ekonomi Maluku dan sekitarnya.
Akan terjadi penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat sekitar, ada penyerapan tingkat kandungan lokal, transfer teknologi, maupun pembangunan industri petrokimia dan lainnya. Dari sini, negara pun bakal meraup sekitar US$6,5 miliar/tahun.