Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Antara Dilema dan Galau Tax Amnesty
Berbicara Andi Lau, tentu kita masih teringat seorang sosok aktor didunia perfilman yang terkenal. Akan tetapi pada topik ini, Andi Lau yang dimaksud
Penulis: Ahmad Jefri Adityas Wibawa
Ahmad Jefri Adityas Wibawa, Mahasiswa Star BPKP Batch 5 A
TRIBUNNERS - Berbicara Andi Lau, tentu kita masih teringat seorang sosok aktor didunia perfilman yang terkenal. Akan tetapi pada topik ini, Andi Lau yang dimaksud adalah sebuah kondisi Antara Dilema dan Galau (Andi Lau) yang sedang dirasakan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rencana Pengampunan Pajak (Tax Amnesty).
Pada Tahun 2016 ini, Direktorat Jenderal Pajak selaku institusi negara yang diamanahi untuk mengumpulkan penerimaan dari sektor pajak diberikan target sebesar 1.350 triliun Rupiah.
Atas kondisi tersebut, Kementerian Keuangan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak akan melaksanakan program tax amnesty agar mampu memperbaiki masalah mendasar dari kekurangan penerimaan pajak dan agar Pemerintah mampu memperbaiki basis data wajib pajak untuk menggali potensi penerimaan pajak.
Tax Amnesty merupakan salah satu usaha yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini untuk memberikan kesempatan kepada wajib pajak yang selama ini tidak patuh untuk melaporkan penghasilannya dan membayar pajak secara sukarela melalui skema pemberian insentif.
Sehingga bisa dikatakan bahwa adanya kondisi memaafkan atau mengampuni dari perspektif pemerintah kepada Wajib pajak atas kesalahan di masa lalu.
Selama ini persepsi mengenai tax amnesty cenderung lebih mengarah pada upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dalam waktu singkat, padahal jika dilihat lebih jauh tax amnesty justru dapat memberikan keuntungan jangka panjang bagi penerimaan pajak.
Pada umumnya suatu negara memberikan tax amnesty untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak di masa yang akan datang, serta dapat menjadi alat bagi negara untuk menarik kembali pajak yang hilang atau belum dibayar dengan mengajak Wajib Pajak yang selama ini belum terdaftar untuk masuk ke dalam jaringan sistem administrasi perpajakan.
Dalam studi teori keadilan terdapat dua hal yang terkenal yakni teori keadilan distributif dan teori keadilan prosedural (retributif).
Terkait teori keadilan distributif hal itu terjadi ketika adanya isu tax amnesty yang dianggap lebih membela pengemplang pajak dan menimbulkan ketidakadilan bagi wajib pajak yang selama ini sudah patuh hal itulah juga menjadikan persepsi yang buruk terhadap tax amnesty.
Sedangkan konsep dasar teori keadilan prosedural (teori keadilan retributif) terjadi ketika sudut pandang uraian keadilan distributif diatas seharusnya dapat dibalik, dalam artian jika pemerintah hanya menunggu semua masyarakat yang patuh dalam membayar pajak, justru akan menjadi lebih tidak adil bagi wajib pajak yang selama ini sudah patuh karena beban pajak tidak terdistribusi secara adil kepada masyarakat.
Artinya, hanya sebagian kecil Wajib Pajak saja yang akan menanggung beban pajak. Atas hal tersebut, program tax amnesty pantas dan perlu untuk dilaksanakan.
Berbicara sejarah penerapan tax amnesty di Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak sudah melakukan beberapa kali program pengampunan pajak.
Pengampunan pajak pertama kali diluncurkan tahun 1964 melalui penetapan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 1964 tentang Peraturan Pengampunan Pajak.
Pengampunan pajak yang diberikan pada tahun 1964 merupakan pengampunan yang menyangkut penghasilan atau akumulasi modal yang diperoleh sebelum tanggal 10 November 1964 yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) dan yang belum dikenakan pajak pendapatan, pajak perseroan maupun pajak kekayaan.
Pengampunan pajak pada saat itu tidak mempersoalkan sumber penghasilan, apakah merupakan hasil korupsi, hasil suap-menyuap, ataupun merupakan penyeludupan pajak yang tidak diungkapkan.
Dua dasawarsa kemudian, kebijakan serupa dikeluarkan melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984.
Pertimbangan utama dalam pelaksanaan pengampunan tahun 1984 adalah karena berubahnya sistem yang dianut dari official assesment menjadi self assesment.
Fakta historis menunjukkan bahwa kedua program tax amnesty tersebut tidak memperoleh “sambutan hangat” dari wajib pajak karena tidak diiringi dengan pengampunan pemerintah di bidang lain selain karena kualitas sistem administasi perpajakan yang masih minimal.
Ketidakberhasilan pengampunan pajak pada 1984, disebabkan pemerintah tidak serius dalam meluncurkan kebijakan tersebut untuk membantu dunia usaha dan mendongkrak penerimaan negara dari sektor pajak.
Pada era reformasi tahun 2008 Indonesia juga telah melakukan soft tax amnesty yang diberi nama Sunset Policy.
Sunset policy pada dasarnya merupakan kebijakan pemberian fasilitas penghapusan sanksi administratif perpajakan berupa bunga.
Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh tujuan untuk menggenjot penerimaan pajak. Selain itu, masih rendahnya tax ratio Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, seperti negara-negara tetangga juga menjadi alasan diberlakukannya kebijakan ini.
Kebijakan sunset policy yang dilakukan tahun 2008 merupakan bentuk ”differential tax amnesty”, yakni dengan membedakan perlakuan pengampunan pajak, dimana terhadap wajib pajak yang belum pernah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) diwajibkan membayar pajak-pajaknya dimasa lalu.
Sedangkan terhadap wajib pajak yang sudah patuh menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dapat memperbaiki pembayaran pajaknya tanpa dikenakan sanksi administrasi berupa bunga.
Adapun prasyarat yang menurut penulis sangat penting untuk dipenuhi dalam membangun sistem yang mendukung pemberlakuan kembali tax amnesty ini serta dalam rangka mewujudkan studi teori keadilan.
Antara lain, guna mendukung prasyarat ini dibutuhkan kajian yang memadai untuk menentukan waktu yang tepat atas pemberlakuan kembali kebijakan tax amnesty, sebelum kebijakan Tax Amnesty diimplementasikan, perlu dipersiapkan terlebih dahulu dasar hukumnya (legal base).
Sosialisasi program tax amnesty harus dilakukan dengan lebih baik dan komprehensif sehingga mampu menjelaskan kepada masyarakat secara jelas dan konkrit mengenai tujuan dan manfaat program tax amnesty.
Jangka waktu pemberlakuan tax amnesty harus ditentukan secara tegas dan konsisten, tidak lagi mengalami perubahan secara insidental seperti halnya dalam Sunset Policy yang diperpanjang selama 2 (dua) bulan pada tahun berikutnya.
Pemerintah harus dapat menjamin bahwa data mengenai harta maupun penghasilan yang diungkapkan oleh wajib pajak yang ikut program tax amnesty diadministrasikan dengan baik dan terjaga kerahasiaannya.
Perbaikan struktural yang harus dilakukan pemerintah pasca program tax amnesty mencakup kebijakan ekonomi yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap usaha wajib pajak.
Penegakan hukum pajak yang lebih tegas setelah masa pengampunan berakhir merupakan hal yang penting guna memastikan efektivitas dan manfaat dari program tax amnesty dalam jangka panjang.
Pembangunan basis data yang handal.
Dukungan sumber daya manusia dan Infrastruktur karena program tax amnesty pada tahun 1964 dan 1984 mengalami kegagalan salah satunya disebabkan oleh masih lemahnya administrasi perpajakan.
Dengan demikian, tax amnesty dapat menjadi suatu jembatan yang akan menghantarkan kita pada babak baru sistem perpajakan yang berkeadilan, sehingga beban pajak tidak hanya dipikul oleh segelintir Wajib Pajak yang selama ini patuh saja.
Oleh karena itu, pemahaman tax amnesty secara komprehensif inilah yang perlu ditanamkan kepada segenap masyarakat Indonesia tercinta ini.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.