Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kasus Salim Kancil Adalah Tolok Ukur Masa Depan Jawa Timur
Pada 2015 Provinsi Jawa Timur menempati posisi kedua sebagai provinsi penyumbang konflik agraria tertinggi di Indonesia.
Editor: Yudie Thirzano
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Reorganisasi kekuasaan kapitalis di Indonesia pada awal abad 21 pasca jatuhnya Soeharto membawa akibat pada berubahnya model tatakelola kenegaraan dan penguasaan sumberdaya alam.
Perubahan model tata kelola kenegaraan yang dimaksud tercermin pada terjadinya transformasi pengelolaan “negara” yang semula bergaya sentralistik berubah menjadi desentralistik.
Desentralisasi tersebut secara kritis mengantarkan pada analisa bahwa dengan desentralisasi, kapitalisme dapat memangkas ongkos produksi kapital menjadi jauh lebih murah. Mengapa lebih murah? Karena rezim kapitalis Orde Baru dianggap tidak (lagi) efisien; dikelola secara terpusat, tingginya praktik korupsi, dan birokrasi yang rumit.
Selanjutnya, era desentralisasi yang membawa pada ide dan gagasan tumbuhnya otonomi daerah, tak pelak makin menyuburkan dan membuka peluang akumulasi kapital terus berjalan lancar dengan membuka lebar-lebar keran investasi menjadi lebih mudah dan murah.
Bahkan, akumulasi ini kian tersusun rapi dan saling terintegrasi lewat berbagai regulasi yang saling mendukung. Sehingga ruang hidup bagi rakyat kecil pun terus menyempit, sementara ruang akumulasi atau perluasan geografi produksi terus meluas.
Situasi tersebut pada akhirnya memicu konflik agraria yang terus meningkat di seluruh Indonesia, salah satunya Provinsi Jawa Timur. Akibatnya, pada tahun 2015, Provinsi Jawa Timur menempati posisi kedua sebagai provinsi penyumbang konflik agraria tertinggi di Indonesia.
Dalam catatan rencana strategis (Renstra) Dinas ESDM Provinsi Jawa timur 2015-2019, dapat ditemukan bahwa jumlah izin pertambangan yang telah diterbitkan oleh Gubernur sampai dengan tahun 2013 berjumlah sebanyak 356 izin, dan yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota se-Jawa Timur sebanyak 442 izin. Jumlah fantastis inilah yang selanjutnya menjadi salah satu biang masalah lahirnya konflik agraria di seluruh wilayah hulu dan hilir Jawa Timur.
Di antara sekian banyak potret buram konflik agraria yang diakibatkan oleh praktik brutal operasi pertambangan di Jawa Timur, salah satu yang terparah muncul pada peristiwa yang terjadi pada tanggal 26 September 2015 di pesisir Lumajang.
Peristiwa itu menghantarkan dua orang warga menjadi korban, yakni Salim Kancil (meninggal dunia) dan Tosan (terluka parah). Peristiwa ini selanjutnya mengakar dalam ingatan publik sebagai “Pembunuhan Pejuang Agraria
Salim Kancil”. Kini, dalam perjalannannya, penyelesaian kasus pembunuhan Salim Kancil tersebut telah memakan waktu lebih dari delapan bulan. Namun, kepastian hukum atas penyelesaian kasus Salim Kancil belum juga menemui titik terang.
Bahkan, oleh banyak pihak kasus ini dianggap memiliki sejumlah kejanggalan dan akan jauh dari nilai keadilan. “Pertama, sidang berlarut-larut dan seringkali tidak tepat waktu. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menunda sidang tuntutan hingga tiga
kali. Kedua, saksi yang dihadirkan oleh JPU tidak kompeten. Ketiga, kasus ini didudukkan hanya sebagai “kasus kriminal biasa”, sehingga mata rantai mafia pertambangan dan kerusakan lingkungan tidak terbaca. Keempat, masih banyak pihak lain yang belum ditetapkan sebagai tersangka.”
Demikian ungkap Abdul Wachid Habibullah, pengacara publik LBH Surabaya menyebut sejumlah kejanggalan dalam
sidang kasus Salim Kancil ini
Sehingga berdasarkan empat kejanggalan tersebut, Direktur Walhi Jawa Timur,Rere Christanto menegaskan kembali perlunya mendudukkan kasus Salim Kancil sebagai kasus yang harus ditangani secara serius oleh lembaga yuridis di Indonesia. Sehingga, penyelesaian kasus Salim Kancil dapat menjadi tolok ukur ataupun preseden hukum dalam penanganan kasus konflik agraria di Jawa Timur mendatang. Walhi Jawa Timur juga menegaskan bahwa penyelesaian kasus Salim Kancil akan menjadi tolak ukur negara dalam pemulihan krisis bencana ekologis yang terjadi di pesisir selatan Jawa Timur.
“Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Timur telah menggarisbawahi bahwa kawasan selatan Jawa, termasuk Jawa Timur adalah kawasan rawan bencana tsunami. Dengan mengacu pada kenyataan ini, penataan kawasan di pesisir selatan seharusnya ditujukan untuk meminimalisasi dampak kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh bencana.” jelas Rere Christanto.
Rere juga menegaskan bahwa pesisir selatan Jawa selayaknya ditetapkan menjadi kawasan lindung dan konservasi demi mengantisipasi bencana yang mungkin timbul. Pelepasan lahan-lahan pesisir menjadi wilayah usaha pertambangan yang berpotensi merusak keseimbangan ekosistem kawasan adalah tindakan yang kontradiktif terhadap usaha menurunkan
resiko bencana di Indonesia.
Sementara bagi A’ak Abdullah Al-Kudus dari Laskar Hijau yang juga pendamping warga pesisir Lumajang, kasus Salim Kancil akan menjadi sejarah kolektif yang cukup pahit untuk diwariskan. Ia akan menjadi bara yang mengandung daya ledak kembali jika penanganan dan putusan atas kasus Salim Kancil tidak memberikan rasa keadilan, khususnya bagi keluarga korban.
“Sebagaimana pernah diungkapkan bu Tijah, istri almarhum Salim Kancil: hutang beras, ya harus dibayar beras. Sehingga putusan hakim harus bisa memberi rasa keadilan kepada korban dan masyarakat Lumajang.” terang A’ak terkait sidang
putusan akhir kasus Salim Kancil yang akan diselenggarakan kembali pada Kamis, 23 Juni 2016.
Pembiaran terhadap konflik-konflik pertambangan dan bahkan pelanggaran perijinan terhadap wilayah yang mempunyai nilai penting secara ekologis tidak bisa terus didiamkan. Kita tengah menghadapi konsekuensi dari semakin banyaknya wilayah-wilayah lindung yang rusak dengan peningkatan jumlah bencana ekologis yang terjadi setiap tahunnya di Jawa Timur.
Oleh sebab itu, dibutuhkan langkah nyata pemerintah Propinsi Jawa Timur dan segenap jajaran pemerintah daerah untuk menghasilkan kebijakan yang mampu mencegah berulangnya konflik-konflik pertambangan di kawasan pesisir selatan Jawa Timur. Pencabutan wilayah usaha pertambangan dari kawasan pesisir selatan dan penetapan kawasan lindung dan konservasi menjadi syarat mutlak pemulihan kawasan pesisir dan menjadi bagian dari usaha besar penurunan resiko bencana ekologis serta penyelamatan ruang hidup rakyat.
Oleh: Tim Advokasi Keadilan Salim Kancil