Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
RUU Terorisme Harus Memuat Strategi Pencegahan
Minggu, 26 Juni 2016, merupakan Peringatan Hari Anti Penyiksaan, dimana Indonesia sudah 18 tahun meratifikasi Konvesi Menentang Penyiksaan dan Perlak
Ditulis oleh : Perkumpulan Konsultan Hukum Menentang Penyiksaan
TRIBUNNERS - Minggu, 26 Juni 2016, merupakan Peringatan Hari Anti Penyiksaan, dimana Indonesia sudah 18 tahun meratifikasi Konvesi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (UNCAT) melalui UU No 5 Tahun 1998.
Konvensi tersebut mewajibkan Indonesia untuk mewujudkan penegakan hukum yang bebas dari penyiksaan dengan langkah-langkah legislatif, administratif dan judisial yang efektif untuk mencegah tindakan penyiksaan.
Perkumpulan Konsultan Hukum Menentang Penyiksaan (PKHMP) menerangkan proses penegakan hukum masih sarat dengan aksi penyiksaan, yang dilakukan oleh aparat penegakan hukum sendiri, baik secara fisik maupun verbal.
Sayangnya, hal itu tidak ditanggapi secara cepat oleh Pemerintah melalui perumusan kebijakan untuk mencegah dan menghapus penyiksaan dalam penegakan hukum.
Temuan dan kajian Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Pusat Bantuan Hukum Indonesia Jakarta dan Lemabaga Bantuan Hukum Masyarakat tahun 2008, 2010, dan 2012 mengungkap penegakan hukum masih diikuti dengan tindakan penyiksaan.
Mayoritas, penyiksaan terjadi di tingkat penyidikan, sehingga pelaku penyiksaan didominasi oleh aparat Kepolisian.
Misalnya, penegakan hukum oleh Densus 88 dalam kasus Siyono yang kental penyiksaan dan kriminalisasi.
Siyono yang dituduh melakukan tindak pidana terorisme meninggal dunia. Masyarakat bergejolak, mengecam tindakan Densus 88 dan mendesak Densus 88 dibubarkan.
Apalagi, menurut Komnas HAM, Siyono merupakan orang yang ke-121 yang tewas setelah ditangkap Densus 88 sejak satuan khusus Polri penanggulangan terorisme itu dibentuk 26 Agustus 2004 .
Penanggulangan terorisme di Indonesia, tidak cukup mengandalkan kemampuan fisik dan operasi, namun diperlukan blue print.
Dalam blue print memuat prevent strategy, untuk mengidentifikasi akar radikalisasi, pencegahan orang masuk jaringan teroris melalui kegiatan yang cerdas dan kritis, bukan ketakutan yang disebarkan langkah-langkah menghadapi serangan kelompok teror secara massif, mekanisme komplain terhadap aparat dan Densus 88 yang salah karena melakukan penyiksaan.
Blue print juga mengatur mekanisme pemulihan bagi korban teroris dan korban salah tangkap. Sehingga, kedepannya arah Densus tidak sebatas pada “pemadam kebakaran”.
Peringatan 18 tahun Indonesia meratifikasi UNCAT, harus menjadi momentum bagi Kepolisian, khususnya Detasemen Khusus atau Densus 88 untuk mewujudkan penegakan hukum yang beradab, dengan melakukan “pembenahan” dari tindak penyiksaan dan salah tangkap.
Hal tersebut menjadi kunci untuk memulihkan kepercayaan masyarakat kepada Porli dan Densus 88. Apabila masyarakat percaya, maka dengan sendirinya masyarakat akan melakukan langkah-langkah pencegahan dalam penanggulangan terorisme di Indonesia.
Oleh karenanya, PKHMP memberi masukan dan nasehat hukum kepada Pemerintah dan DPR agar penyusunan substansi RUU Anti Terorisme harus memperhatikan dan memastikan, tidak bertentangan dengan konvensi internasional seperti Konvensi Menentang Penyiksaan (UNCAT) dan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Memastikan dan menjamin bahwa Densus 88 dalam penegakan hukum bebas dari penyiksaan.
RUU Anti Terorisme harus memuat prevent strategy dan strategi penegakan hukum terhadap aksi terorisme.
RUU Anti Terorisme harus memperjelas pembagian kewenangan dalam penanggulangan teror antara Polri dan TNI, yang selama ini tidak jelas, akibatnya penanggulangan teror kurang efektif.
RUU Anti Terorisme harus memandatkan pembuatan dan penyusunan blue print sebagai panduan nasional dalam penanggulangan terorisme, dan melibatkan publik dalam penyusunannya.
Dan adanya mekanisme pemulihan bagi korban tindak penyiksaan oleh Densus 88 atau aparat dalam penegakan hukum.