Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kasus RS Sumber Waras Bahayakan Posisi BPK Sebagai Lembaga Tinggi Negara
BPK tidak boleh mendesak Pemprov DKI Jakarta harus mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 191 miliar.
Editor: Malvyandie Haryadi
![Kasus RS Sumber Waras Bahayakan Posisi BPK Sebagai Lembaga Tinggi Negara](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/pertemuan-ketua-kpk-dan-ketua-bpk_20160623_105650.jpg)
PENULIS : Petrus Selestinus, Kordinator TPDI
TRIBUNNERS - Keputusan KPK bahwa tidak ada perbuatan melanggar hukum dan tidak ada kerugian negara dalam pembelian lahan RS Sumber Waras, secara hukum dan moral mengikat BPK RI, Pemprov, KPK, dan pihak-pihak terkait lainnya.
Keputusan KPK itu juga sekaligus mematahkan anggapan beberapa pihak terutama Ketua BPK, Harry Azhar Azis dan mantan Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki bahwa LHP BPK itu bersifat "final dan mengikat".
Oleh karena itu BPK tidak boleh mendesak Pemprov DKI Jakarta harus mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 191 miliar.
Karena indikasi kerugian negara sebesar Rp 191 miliar tersebut, selain telah dinyatakan tidak terbukti, juga tidak terbukti adanya perbuatan melawan hukum.
Unsur kerugian negara dan perbuatan melanggar gukum dalam kaitan dengan audit BPK, tidak dapat dipisahkan, mengingat tidak semua kerugian negara bersumber dari perbuatan melanggar hukum.
Dengan demikian permintaan BPK RI agar Pemprov DKI Jakarta harus segera mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 191 miliar, tidak relevan dan tidak memiliki dasar hukum apapun.
Apalagi, karena kerugian negara yang dimaksud oleh BPK dalam LHP-nya itu telah tidak ditemukan terkait dengan tidak ditemukan unsur perbuatan melanggar hukum, sesuai dengan hasil penyelidikan KPK yang sudah diumumkan oleh KPK di hadapan Komisi III DPR RI.
Di dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 UU No 15 Tahun 2006 Tentang BPK, disitu disebutkan bahwa kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Keputusan KPK yang telah diumumkan di hadapan Komisi III DPR RI beberapa waktu yang lalu juga, merupakan tamparan bagi BPK dan para auditor BPK.
Karena hal itu membuktikan bahwa LHP BPK RI, yang berisi temuan, kesimpulan dan rekomendasi terkait pembelian lahan RS Sumber Waras telah disusun dengan tidak memenuhi standar pemeriksaan keuangan negara.
Sehingga hasil akhirnya tidak mencerminkan produk dari sebuah proses penilaian kebenaran, kepatuhan, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan data/informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan secara independen, obyektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan yang dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagai keputusan BPK.
Dengan kata lain BPK telah melakukan mall administrasi, bekerja tidak independen, dan tidak profesional.
Karena itu selain BPK harus menghentikan langkahnya meminta Pemprov DKI Jakarta, Gubernur Basuki Tjahja Purnama atau Ahok untuk memenuhi rekomendasinya.
Ahok selaku Gubernur DKI Jakarta harus segera setelah menerima surat penghentian penyelidikan dari KPK, menyurati BPK RI untuk menegaskan sikapnya bahwa Pemprov DKI Jakarta tidak berada dalam posisi wajib untuk memenuhi rekomendasi LHP BPK RI dimaksud.
Karena berdasarkan hasil penyelidikan KPK, tidak ditemukan unsur perbuatan melawan hukum, dan tidak ditemukan kerugian negara, dalam kasus pembelian lahan RS Sumber Waras.
Begitu pula BPK RI harus mengubah paradigmanya tentang LHP BPK RI sebagai sebuah keputusan yang bersifat "final dan mengikat", karena pendirian yang demikian selain tidak memiliki dasar hukum, juga hendak menempatkan posisi BPK RI sebagai subordinasi dari Badan Peradilan yang putusannya memiliki sifat "final dan mengikat".
Ini juga membahayakan posisi politik BPK sebagai lembaga tinggi negara, sebab hanya untuk menjegal seorang Ahok BPK harus dijadikan korban atau bumper pihak-pihak tertentu untuk menjadi alat politik.
Karena itu keberadaan pimpinan BPK RI di bawah rezim Harry Azhar Azis, harus ditinjau kembali karena telah mengeluarkan LHP BPK yang tidak sesuai dengan standar pemeriksaan menurut UU BPK RI dan telah melanggar etik profesi sebagai auditor independen.
![Baca WhatsApp Tribunnews](https://asset-1.tstatic.net/img/wa_channel.png)