Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Soal Penghentian Reklamasi, Ahok Mestinya Paham NKRI Bukan Negara Federal
Gubenur DKI Jakarta, Ahok seharusnya memahami bahwa penghentian itu menjadi wewenang pemerintah pusat.
Editor: Malvyandie Haryadi
PENGIRIM: Jaringan Nasional Indonesia Baru (JNIB)
TRIBUNNERS --- Jaringan Nasional Indonesia Baru (JNIB), salah satu relawan Jokowi pada PilPres 2014 menyatakan, penghentian reklamasi teluk Jakarta secara total oleh Pemerintah Pusat sudah tepat benar.
Gubenur DKI Jakarta, Ahok seharusnya memahami bahwa penghentian itu menjadi wewenang pemerintah pusat.
Wignyo, Ketua Dewan Pendiri JNIB menilai bahwa apa yang dilakukan Pemerintah Pusat melalui Rizal Ramli, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman merupakan langkah yang patut didukung dan sudah final.
Menurut Wignyo, jika Ahok memahami Konstitusi tentu tidak jadi ribut begini, ocehan Ahok tidak perlu. Pasal 18 ayat 7 UUD 1945 bahwa tata cara penyelenggaran pemerintah Daerah diatur dalam UU.
Selanjutnya, pasal 1 ayat 1 dan 5 UU 32 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, bahwa Pemerintah Pusat adalah Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan negara RI dibantu Wakil Presiden dan menteri.
Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden, pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah.
Dengan demikian, Ahok harus paham apa yang dilakukan Rizal Ramli merupakan tanggungjawab dan bentuk supervise Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dibidangnya masing-masing.
Rizal Ramli paham bahwa NKRI ini, bukanlah Negara Federal, melainkan NKRI ini adalah Negara Kesatuan. Hal ini menunjukkan Ahok tak paham bentuk penyelenggaraan NKRI.
Argumentasi Ahok didasarkan pada Kepres No. 52 Tahun 1995 dan izin reklamasi dari Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238.
Secara nyata, menurut Wignyo Kepres 52 Tahun 1995, selain usang, juga melawan pasal 3 dan 4 Pepres Nomor 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau.
Selain itu juga melawan ketentuan UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, dan juga melawan PP No. 26 tahun 2008 tentang penataan ruang.
Sampai sejauh ini DKI Jakarta belum memiliki Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Padahal reklamasi harus memiliki RZWP3K.
JNIB juga mempertanyakan kepada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), mestinya izin lingkungan tidak dapat dilakukan tanpa ada RZWP3K, karena tak lolos uji adminsitrasi berdasarkan peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.8 tahun 2013.
Tanpa ini studi Amdal tidak dapat dilanjutkan. Oleh karena itu, penyelidikan lebih jauh harus ditujukan pada Menteri KLHK, dianggap ceroboh dan bertanggungjawab terhadap tim KPA provinsi.
Reklamasi teluk Jakarta sama sekali tidak berpihak kepada nelayan dan masyarakat sekitar dan generasi akan datang, melainkan hanya berpihak kepada para pengusaha.
Kebodohan Ahok ini dimanfaatkan para pelaku bisnis untuk memperoleh tempat pengembangan murah di Jakarta.
Apa yang diperlihatkan Ahok melawan keputusan pemeritah pusat, menurut Wignyo, merupakan bentuk Arogansi pemimpin setingkat gubernur kepada pemerintah pusat.
Reklamasi pantai mempelihatkan Ahok lebih pro terhadap pelaku bisnis ketimbang rakyat kecil dan generasi yang akan datang.
JNIB akan melakukan upaya apapun melawan kebijakan reklamasi teluk Jakarta dan mendukung upaya pemerintah pusat menghentikan secara total reklamasi di Jakarta.